Menuju konten utama

Cuma Bikin Ribut Tapi Tak Punya Kekuatan, Haruskah KY Dibubarkan?

Komisi Yudisial sudah konflik berkali-kali dengan instansi hukum lain, terutama Mahkamah Agung. Wacana pembubarannya pun sudah berkali-kali muncul.

Cuma Bikin Ribut Tapi Tak Punya Kekuatan, Haruskah KY Dibubarkan?
Ketua Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari didampingi Wakil Ketua KY Sukma Violetta (kiri) dan Komisioner KY Maradaman Harahap mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Rabu (21/3/2018). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Komisi Yudisial (KY) sebetulnya punya peran penting dalam sistem hukum Indonesia. Dibentuk dengan dasar hukum konstitusi UUD 1945, lembaga yang bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain ini berwenang mengangkat hakim agung, mengawasi hakim, dan mengurusi tetek bengek kode etik hakim.

Meski demikian, toh pengaruh KY agaknya tidak kuat, setidaknya terlihat dari kasus yang baru-baru ini terjadi. Pada 17 September kemarin, sejumlah hakim agung melaporkan salah satu komisioner KY ke Polda Metro Jaya. Musababnya, KY menuduh kalau setiap pengadilan tingkat banding dipungut biaya Rp150 juta buat menyelenggarakan lomba tenis warga pengadilan di Denpasar, Bali.

MA via juru bicaranya Suhadi mengatakan iuran tersebut memang ada, tapi tidak mencapai ratusan juta rupiah. Dengan kata lain, mereka merasa apa yang diungkapkan KY fitnah belaka.

"Itu tidak benar, kami merasa difitnah. Pungutan semacam itu tidak ada sama sekali," kata Suhadi di Polda Metro Jaya, Senin (17/9/2018).

"Konflik" antara MA-KY bukan kali ini saja. Tahun 2017 lalu KY merekomendasikan penjatuhan sanksi kepada 58 orang hakim yang terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim atau KEPPH. Namun toh tidak semua rekomendasi ditindaklanjuti MA dengan berbagai alasan.

Ditarik lebih jauh, konflik serupa pernah terjadi tahun 2015. Ketika itu muncul polemik soal siapa yang berwenang menyeleksi hakim tingkat pertama ke Mahkamah Konstitusi (MK). Baik MA maupun KY punya kewenangan tersebut. Sementara tahun 2011, KY sempat berencana mengajukan MA ke MK karena rekomendasi mereka tak ditanggapi positif.

Lebih lama lagi, pada 2006 KY juga sempat beradu tegang dengan MA setelah beberapa hakim agung diperiksa atas pengaduan masyarakat. Tindakan KY dinilai sebagai ancaman terhadap independensi hakim dalam memutus perkara.

Dari apa yang terjadi selama bertahun-tahun itu, tak heran kalau kemudian muncul suara-suara agar KY dibubarkan saja. Ini lembaga dianggap cuma bikin ribut tapi tak punya kewenangan kuat untuk menjatuhkan sanksi. Pembubaran KY bahkan sempat disampaikan langsung pada 2015 oleh Suwardi, Wakil Ketua MA bidang Nonyudisial.

Tapi, bisakah KY dibubarkan?

Bisa, Tapi Sulit

Terlepas dari pro dan kontranya, pembubaran KY tetap mungkin terjadi, namun tak bisa serta merta.

"Yang harus ada itu Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi itu kan turunan," kata ahli hukum tata negara Refly Harun kepada Tirto. "Jadi bisa saja dibubarkan," tambahnya.

Meski begitu, hal ini jelas bukan perkara gampang. Satu-satunya cara agar KY bisa dibubarkan adalah dengan mengamandemen UU 1945 lewat sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Jika konteksnya adalah KY, maka yang harus diamandemen adalah pasal 24A ayat (3) pasal 24B. Di sana terdapat dasar hukum utama pendirian KY selain UU 18/2011 tentang Perubahan Atas UU 22/2004 tentang KY.

Sidang amandemen UUD hanya dapat terjadi, menurut Pasal 37 UUD, jika diajukan oleh sekurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR dengan disertai pasal yang hendak diubah dan alasan yang jelas.

Sidangnya pun harus dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota MPR.

Masalahnya, seperti yang dikatakan anggota Komisi III DPR RI dari Partai Nasdem, Teuku Taufiqulhadi, sidang MPR hampir mustahil terselenggara jika yang hendak diubah hanya pasal yang sangat spesifik. Dari empat amandemen yang pernah terjadi setelah Orde Baru tumbang, perubahan—termasuk mengganti redaksional/kalimat atau bahkan penambahan pasal—hampir merata pada seluruh bagian UUD.

"Saya rasa sulit lah kalau hanya untuk ini [menghapus KY] kemudian melakukan sidang umum itu," ujarnya kepada Tirto.

Infografik CI Rekomendasi KY Yang ditolak dan di abaikan

Hal yang sama diungkapkan praktisi hukum dari Lokataru Haris Azhar. Menurutnya meski memang kinerja KY kurang maksimal, namun jawaban untuk itu bukan dibubarkan, melainkan diperkuat.

"Sekarang ini masih banyak mafia peradilan," tuturnya, menjelaskan kenapa KY harus terus ada.

Sementara bekas Ketua MK Jimly Asshiddiqie berpendapat KY harus tetap ada karena bagaimanapun hakim agung diawasi lembaga lain. Ia menyebut pelaporan KY oleh hakim ke polisi sebagai preseden yang buruk.

"Saya rasa mestinya sebagai hakim agung semua emosi pribadi bisa dilampiaskan melalui mekanisme bernegara. Masak lapor-lapor? Kan bisa lebih elegan melalui pengacara. Enggak usah datang ke polisi sendiri," ujar Jimly pada Tirto.

"Saya rasa dua-duanya harus mengevaluasi diri lah baik KY maupun MA. Kenapa begitu? Karena kan sudah berkali-kali ada masalah."

Baca juga artikel terkait KOMISI YUDISIAL atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino