Menuju konten utama

Contoh Pelanggaran HAM di Indonesia: Peristiwa Rawagede

Pembantaian Rawagede merupakan salah satu contoh pelanggaran HAM pasca kemerdekaan. Sebanyak 431 penduduk dihabisi oleh militer Belanda di Rawagede.

Contoh Pelanggaran HAM di Indonesia: Peristiwa Rawagede
Ahli waris dari korban Tragedi Rawagede membersihkan makam keluarganya saat peringatan peristiwa Tragedi Rawagede di Desa Balongsari, Karawang, Jawa Barat, Selasa (11/12/2018). ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/ama.

tirto.id - Salah satu contoh kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia yang memperoleh perhatian internasional adalah peristiwa Rawagede. Pada 9 Desember 1947, sebanyak 431 penduduk dihabisi oleh militer Belanda di Rawagede kala itu.

Empat bulan usai Agresi Militer I, masyarakat masih menghadapi kebrutalan militer Belanda yang mengancam kemerdekaan Indonesia. Tragedi pembantaian penduduk di desa yang terletak di antara Karawang dan Bekasi itu dikenal sebagai Peristiwa Rawagede.

Setelah lama tertutupi, pada 1960-an kasus ini kembali diperbincangkan. Usai negosiasi berbelit-belit, akhirnya pada 1995, pemerintah Belanda mengakui bahwa ada pembantaian di Rawagede, kendati juga menegaskan kasusnya tidak bisa dibawa ke pengadilan karena sudah kadaluwarsa.

Barulah pada 2011, pengadilan banding di Den Haag memutuskan pemerintah Belanda bertanggung jawab atas Peristiwa Rawagede. Hal ini disebabkan gugatan keluarga korban yang tak terima atas kasus tersebut.

Selain meminta maaf, pemerintah Belanda juga harus memberi ganti rugi kepada keluarga korban pembantaian tersebut.

Sebagai kompensasi, tercatat enam orang yang menerima ganti rugi, yaitu Cawi, Wanti Sariman, Taslem, Ener, Bijey, dan Ita yang masing-masing mendapat 20.000 euro (atau sekitar Rp243 juta).

Sejarah dan Penyebab Peristiwa Rawagede

Desa Rawagede (kini bernama Balongsari), Karawang merupakan markas pertahanan pejuang Indonesia pada masa Revolusi Fisik. Pada 1947, militer Belanda berhasil menguasai Jawa Barat. Kendati demikian, para pejuang kemerdekaan di daerah itu belum tunduk.

Dalam kondisi kalah persenjataan, mereka mundur ke perdesaan. Bahu-membahu bersama rakyat sipil, para pejuang menghantui tentara Belanda dengan taktik gerilya.

Di antara yang bergerilya adalah kelompok pejuang di bawah kendali kapten tentara Indonesia bernama Lukas Kustaryo, komandan kompi Siliwangi (kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/ Brigade II Divisi Siliwangi).

Sebagaimana dicatat Sukarman dalam Tragedi Berdarah di Rawagede (1996), Kapten Lukas sendiri merupakan “orang incaran” Belanda. Bersama pasukannya, Kapten Lukas meresahkan kompeni, serta berhasil berkali-kali menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Dengan demikian, tak heran jika Kapten Lukas begitu dicari.

Saking merepotkannya, Kapten Lukas dijuluki Begundal Karawang oleh Militer Belanda bertugas di sekitar Karawang-Bekasi. Ia begitu sulit ditemukan sehingga jadi buron, kepalanya dihargai 10.000 Gulden.

Namun, berkat informasi dari mata-mata pribumi dan intel Belanda, diketahuilah lokasi keberadaan Kapten Lukas Kustaryo yakni di Desa Rawagede. Militer Belanda kemudian menyusun rencana menyerang Rawagede demi menemukan komandan kompi Siliwangi tersebut.

Serangan dimulai sejak subuh 17 Desember 1947. Bunyi senapan membuat penduduk kaget bercampur ketakutan. Begitu mereka ke luar rumah, desa sudah dikepung dari arah timur, utara, dan selatan, menyerupai huruf “U”.

Serbuan pada fajar itu dilakukan oleh Batalyon ke-3 dari Resimen Infanteri Ke-9 tentara Belanda dipimpin Mayor Alphonse Jean Henri Wijnen alias Fons. Saksi mata menyatakan, pasukan Belanda sebanyak 300-an orang merangsek ke Desa Rawagede untuk mencari Kapten Lukas Kustaryo.

Menurut catatan Her Suganda dalam Rengasdengklok, Revolusi, dan Peristiwa 16 Agustus 1945 (2009), setiap rumah didatangi, pintunya digedor, dan pemilik yang berada di dalam rumah ditanyai keberadaan Kapten Lukas.

Karena orang yang dicari tidak berhasil ditemukan, penduduk laki-laki dari umur sekitar 14 tahun dikumpulkan di lapangan dalam kelompok-kelompok kecil antara 10-30 orang.

Cara interogasi Militer Belanda mirip dengan Westerling yang melakukan hal serupa di Sulawesi Selatan. Penduduk ditanyai keberadaan Kapten Lukas sambil ditodong senjata. Namun, tak seorang pun yang bisa menjelaskan keberadaan Begundal Karawang itu.

Semua jawaban penduduk tidak membuat puas Militer Belanda. Dalam keadaan takut, para laki-laki dewasa dikumpulkan lagi dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Mereka diperintahkan jongkok membelakangi tentara Belanda yang siap dengan senjatanya.

Kedua tangan setiap orang harus diletakkan di atas kepala masing-masing. Lalu, eksekusi mati pun dilakukan di tempat.

"Semua laki-laki diperintahkan keluar dari rumah, disuruh berbaris. Terus kepala mereka ditembak dengan senapan pasukan Belanda. Hanya wanita dan anak-anak saja yang lolos," ujar Wanti, salah satu janda korban pembantaian Rawagede, ketika diwawancarai Antara, akhir 2011 lalu.

Setelah melakukan eksekusi, tentara Belanda mulai menggeledah daerah-daerah pelosok dengan anjing pelacak.

Rupanya, ada sebagian penduduk yang bersembunyi di kali Rawagede. Mereka berada di antara rerumputan eceng gondok yang tumbuh di sepanjang sungai. Namun, keberadaan mereka tercium anjing pelacak.

Menyadari hal itu, setiap rumpunan eceng gondok di sungai diberondong peluru. Dalam sekejap, puluhan nyawa bergelimpangan. Sejak penyerangan yang dimulai pada pukul 04:00 subuh sampai malam hari, kondisi Rawagede begitu mencekam.

Malam harinya, selepas pembantaian, para perempuan dan warga desa yang tersisa mencari mayat ayah, suami, atau anggota keluarga mereka yang tewas. Dari pengakuan mereka, diketahui ada 431 orang jadi korban tewas.

Kendati demikian, sosok yang Militer Belanda incar sejak awal, yakni Kapten Lukas Kustaryo tak pernah tertangkap. Hingga Belanda hengkang dari Indonesia pada 1949, Lukas tidak pernah tersentuh.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Ahmad Efendi

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Ahmad Efendi
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Abdul Hadi