tirto.id - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran menyatakan kenaikan harga beras saat ini disebabkan oleh pengaruh musiman, terutama pola panen. Hal itu di mana produksi turun di bawah kebutuhan konsumsi beras.
Akibatnya, kata Hasran, stok beras di gudang-gudang baik swasta maupun Bulog habis. Momentum ini dimanfaatkan petani untuk menaikkan harga gabah dan beras di daerah.
Menurut Hasran, praktik oligopoli juga turut menyebabkan naiknya harga beras. Ia menduga segelintir pedagang besar melakukan manipulasi harga saat stok beras nasional menipis.
Para pedagang besar memiliki pengaruh keuangan serta kontrol atas stok dan distribusi beras di tingkat petani dan pabrik.
"Karena beras merupakan komoditas dengan permintaan yang inelastis, konsumen akan terus membeli berapa pun harga jualnya. Hal ini yang kemudian mendorong pedagang besar untuk menaikkan harga," kata Hasran di Jakarta, Sabtu (11/2/2023).
Selain itu, Penerapan Harga Pokok Penjualan (HPP) dinilai mengekang strategi Bulog dalam menyerap beras petani. HPP yang seringkali berada di bawah harga pasar membuat petani enggan menjual berasnya ke Bulog.
“Pemerintah perlu mengevaluasi besaran HPP dengan memperhatikan faktor-faktor dalam proses produksi dan distribusi," katanya.
Saat ini, aturan HPP gabah/beras masih mengacu kepada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020. Aturan itu menetapkan Harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani Rp4.200 per kilogram, GKP di tingkat penggilingan Rp4.250 per kilogram, Gabah Kering Giling (GKG) di tingkat penggilingan Rp5.250 per kilogram dan Beras Medium di Gudang Bulog Rp8.300 per kilogram.
Hasran mengatakan serapan beras yang memadai diperlukan untuk mengantisipasi peningkatan permintaan jelang bulan Ramadan dan Idulfitri.
Indeks Bulanan Rumah Tangga (Indeks Bu RT) CIPS menunjukkan pada Januari 2023, harga rata-rata GKP di tingkat petani adalah Rp 5.837 per kilogram atau naik 16,52 persen. Kemudian rata-rata harga GKP di tingkat pengupas Rp5.973 per kilogram atau naik 16,72 persen dibandingkan harga padi mutu sejenis pada Januari 2022.
Sementara itu, rata-rata harga GKG di tingkat petani mencapai Rp6.501 per kilogram atau naik 20,63 persen.
Hasran menambahkan impor beras di waktu yang tepat dapat berpengaruh pada kestabilan harga beras di pasar. Harga akan relatif lebih stabil dan tidak mengalami lonjakan yang signifikan.
Panen yang sedang berlangsung pun harus dimaksimalkan dengan sebaik mungkin, terutama bagi daerah-daerah penghasil beras di Indonesia. Hasran menekankan perlunya informasi yang jelas mengenai jumlah produksi beras masing-masing daerah. Ia bilang tidak ada satu pun daerah yang dapat memenuhi kebutuhan beras wilayahnya sendiri.
CIPS merekomendasikan beberapa hal terkait penanganan fluktuasi harga beras. Hal pertama adalah urgensi untuk memiliki data yang sama, akurat dan pasti terkait jumlah produksi beras nasional, cadangan beras pemerintah (CBP), dan cadangan beras nasional. Hasran menekankan, data ini tidak boleh dimanipulasi supaya bisa menjadi dasar pengambilan kebijakan yang terbaik.
Selanjutnya Badan Pangan Nasional melalui Bulog perlu mengoptimalkan serapan CBP antara Februari dan Juli 2023. Jumlah beras yang mesti diserap mencapai 3 juta ton. Setelah musim panen, pemerintah harus melepas berasnya secara bertahap ke pasar melalui operasi pasar.
Selain itu, CIPS mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan opsi impor dan kelayakan pembukaan jalur impor. Impor yang terlambat dilakukan pada 2022 lalu membuat harga beras sulit untuk dikendalikan.
CIPS juga meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan HET (Harga eceran tertinggi) karena perbedaan antara HET dengan harga pasar riil sangat besar. Jika pedagang kecil terpaksa menjual beras dengan harga HET, kemungkinan besar mereka akan merugi.
CIPS selanjutnya merekomendasikan Bulog untuk merancang sistem distribusi yang lebih pendek, agar beras CBP dapat sampai ke pedagang grosir dan konsumen akhir dengan harga yang terjangkau.
Hasran mewanti-wanti jangan sampai beras CBP yang didistribusikan melalui operasi pasar dinikmati oleh perusahaan besar yang menjual kembali beras tersebut dengan harga yang lebih tinggi.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Gilang Ramadhan