tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold yang diatur Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. MK menghapus ‘pasal sakral’ itu dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.
Perkara tersebut merupakan permohonan dari empat orang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga (Sukijo) Yogyakarta. Mereka adalah Enika Maya Oktaviana, Tsalis Khoirul Fatna, Faisal Nasirul Haq, dan Rizki Maulana Syafei. Pasal ini sudah berkali-kali diuji materi di MK, tapi selalu ditolak.
Enika menjelaskan, pasal sakral itu mensyaratkan kontestan yang bisa maju pemilihan presiden (pilpres) harus diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
"Kami akui Pasal 222 ini open legal policy yang melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi,” kata Enika dalam konferensi pers, di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada Jumat (3/1/2025).
Enika membeberkan perjalanan mereka menggugat pasal sakral yang berawal dari Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK). Komunitas tersebut terbentuk di Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Mereka berfokus dalam kajian diskusi konstitusi dan merespons isu ketatanegaraan.
Pada 2021, anggota komunitas --termasuk Enika--, mengikuti debat konstitusi yang diselenggarakan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia. Mereka sampai di tahap final saat itu. Berbekal materi debat itu, Enika bersama tiga orang rekannya menyusun kajian terkait presidential threshold pada sekitar Februari 2023.
“Langkah ini dilatarbelakangi pula oleh fakta masyarakat dianggap sebagai objek demokrasi. Bukan subjek demokrasi. Karena permohonan terkait legal standing pasti digugurkan oleh MK. Maka kami coba berargumentasi, bahwa kami adalah subjek demokrasi. Maka legal standing kami seharusnya diterima,” jelasnya.
Enika menegaskan bahwa gugatan mereka ke MK murni permohonan personal. Sama sekali tidak mewakili dan bukan pendapat institusi, dalam hal ini UIN Sunan Kalijaga. “Kenapa UIN Sunan Kalijaga menjadi identitas kami, hanya karena kami merupakan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga,” kata dia.
Ia menambahkan, “Kami menekankan, bahwa perjuangan kami akademis. Perjuangan advokasi konstitusional maka kami cerminkan, permohonan kami ajukan setelah pilpres.”
Enika juga mengatakan pemilihan waktu pengajuan permohonan mempertimbangkan pula tekanan politik saat Pilpres 2024. “Kami ingin, kajian oleh MK tidak mendapat pengaruh buruk politik. Jadi benar-benar kajian akademik dan substansi hukum,” kata dia menjelaskan.
Meskipun memiliki tekad, rupanya Enika sempat pesimistis gugatannya dikabulkan oleh MK. Mereka bahkan menilai bahwa draf gugatan yang mereka susun sebanyak 55 halaman itu buruk. “Di sidang pendahuluan dikuliti oleh hakim konstitusi. Kami untuk bisa lanjut sidang pokok permohonan [kemungkinannya] kecil,” ujarnya.
Rasa pesimistis juga dirasakan oleh Faisal. Namun, dia bersikeras untuk melanjutkan gugatan ini karena yakin apa pun putusan yang akan mereka terima bakal berguna. “Kami bisa apa [memenangkan gugatan], saya pribadi apa pun amar putusan pasti ada hal yang bisa berguna bagi pemohon berikutnya kalau gagal. Tapi ternyata dikabulkan,” kata dia.
Namun yang terpenting, kata Faisal, ia telah menyampaikan legal standing. Bagaimana dia merasa dirugikan oleh aturan presidential threshold. “Saya merasakan kerugian, ini merupakan akumulasi kejenuhan. Kemuakan kami sebagai pemilih. Itu menguatkan saya mengambil jalan,” tegas dia.
Tsalis Khoirul Fatna menambahkan, proses sidang berlangsung sebanyak tujuh kali. Bahkan, mereka juga harus melaksanakan sidang saat tengah sibuk Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Ditambah lagi, keempat mahasiswa ini tidak menggunakan kuasa hukum. “Kami mahasiswa belum mampu [bayar kuasa hukum]. Karena sidang bisa online, kami ajukan. Tapi kami sempat beracara langsung di MK mendengarkan ahli. Dua orang dari kami Rizki dan Faisal [hadir] ke MK,” beber Fatna.
Harapan Besar di Balik Uji Materi Ambang Batas 20 Persen
Gugatan yang diajukan oleh Enika, Fatna, Faisal, dan Rizki telah dikabulkan oleh MK. Namun, ada dua hakim yang dissenting opinion atau memiliki pendapat berbeda. Mereka adalah Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.
Menurut Rizki, dikabulkannya permohonan yang dia ajukan menjadi angin segar bagi demokrasi di Indonesia. “Putusan yang kami perjuangkan merupakan kemenangan rakyat Indonesia. Pelajaran pentingnya, kami sebagai pemilih kami berkah memilih calon yang sesuai keinginan,” ucapnya.
Enika mengaku menerima dan menghormati dissenting opinion dari Anwar dan Daniel. “Karena bagaimanapun mereka hakim konstitusi, ahli hukum tata negara. Kami hanya mahasiswa, jadi kami menganggapnya itu memperkaya pengetahuan kami tentang hukum tata negara,” kata dia.
Enika pun menyatakan, terkabulnya permohonan mereka bertujuan untuk mengurangi polarisasi politik yang tajam dan memberikan alternatif pilihan. Sebab, menurut mereka, terjadi distorsi representasi dalam kurun waktu lima tahun sejak pemilihan.
Dia mencontohkan, PDIP memperoleh suara 19 persen pada Pemilu 2019, kemudian turun jadi 16 persen saat Pemilu 2024. Bahkan, pasangan calon (paslon) Pilpres 2024 yang diusung PDIP kalah. “Di situ kami kaji ada distorsi representasi, dan kenapa ini jadi concern kami. Presiden-wakil presiden [diusulkan parpol] tidak sesuai dengan preferensi kami,” kata dia.
Enika juga menyebut, dia pribadi ingin presiden atau wakil presiden perempuan dan peduli lingkungan.
Enika berharap, gugatannya yang dikabulkan dapat menumbuhkan kontestasi pilpres yang lebih sehat. Sebab, calon-calon berpotensi memiliki ruang untuk tampil. “Seperti 2004 saat SBY menang pilpres. Parpol memutuskan untuk bergabung dengan Demokrat,” ucapnya.
Faisal menambahkan, kemenangan gugatannya diharap dapat memberikan akses lebih sehat terhadap demokrasi di Indonesia. “Kita punya banyak opsi dan alternatif pilihan presiden. Baru nanti mekanisme kita lihat,” kata dia.
Dikabulkannya gugatan Enika, Faisal, Fatna, dan Rizki mendapat apresiasi dari Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Ali Sodiqin. “Saya mewakili pimpinan berikan apresiasi, hormat, dan bangga terhadap perjuangan mahasiswa untuk melakukan uji materi uji terkait Pasal 222 presidential threshold,” ucapnya.
Kata Ali, hal ini jadi wujud mahasiswanya punya kompetensi menemukan celah dalam mengimplementasikan materi perkuliahan yang mereka pelajari. Sehingga dalam pelaksanaan demokrasi, para mahasiswa mampu menempuh jalur konstitusional.
“Hal ini merupakan manifestasi kepedulian mahasiswa terkait sistem demokrasi di Indonesia. Maka perlu didukung. Kami mewakili fakultas bangga dengan pencapaian ini. Kami bangga karena mereka peduli, kami yakin generasi muda mampu menjaga muruah demokrasi Indonesia,” kata dia.
Bukan Keluarga Politikus
Kukuhnya keempat mahasiswa ini memperjuangkan gugatan menimbulkan tanya. Apakah keempatnya memiliki latar belakang dari keluarga politikus atau hendak turun dalam ranah politik? Keempatnya kompak, menyatakan bahwa mereka tidak memiliki latar belakang dari keluarga yang terjun sebagai politisi. Mereka juga saat ini mengaku belum tertarik jadi politisi.
Enika sedikit bergurau, bahwa dia justru ingin menjadi ‘budak korporat’. “Saya tidak mau menjadi politisi, mohon terima saya sebagai budak korporat,” kata dia bercanda sembari tertawa kecil.
Faisal turut mengaku lebih tertarik menjadi peneliti. “Saya tidak ada latar belakang politik. Saya lebih senang menjadi peneliti,” kata dia bercerita.
Senada, Fatna juga mengatakan tidak memiliki latar belakang keluarga politisi. “Kami satu visi. Orang tua saya malah tidak tahu presidential threshold itu apa. Jadi tidak memproyeksikan ke sana [jadi politisi],” ucapnya.
Rizki menegaskan, bahwa keputusannya menggugat Pasal 222 terkait presidential threshold lebih pada tujuan untuk memberikan kesempatan bagi mereka yang nantinya politisi untuk punya akses menjadi capres dan cawapres.
“Tidak [tertarik jadi politisi], saya melihat latar belakang keluarga tidak ada di politik, saya merupakan yang pertama di keluarga masuk hukum. Putusan ini sesuai harapan, tapi tujuan utama kami untuk memberikan kesempatan bagi mereka yang ingin menjadi politisi punya akses menjadi capres dan cawapres,” tegasnya.
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Abdul Aziz