tirto.id - Presiden Prabowo Subianto menaikkan upah minimum nasional (UMP) 2025 sebesar 6,5 persen. Kenaikan tersebut mendapat berbagai respons dari berbagai lapisan masyarakat.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai bahwa kenaikan UMP 6,5 persen masih jauh dari kata ideal. Menurutnya, idealnya UMP naik hingga 8,7 persen hingga 10 persen.
“Semakin tinggi upahnya maka permintaan agregat akan dorong pengusaha untuk cari tenaga kerja baru. Prabowo harusnya lebih berani lagi naikan upah minimum antara 8,7 sd 10 persen jika tujuannya mencapai pertumbuhan ekonomi diatas 5 persen pada tahun depan. Apalagi target pertumbuhan 8 persen mau tidak mau upah minimum nya harus naik signifikan,” ujar Bhima kepada Tirto melalui pesan singkat, dikutip Senin (2/11/2024).
Menurut dia, kenaikan UMP 6,5 persen ini belum bisa menutup kebutuhan pekerja lantaran beban yang diberikan pemerintah juga makin berat, antara lain seperti kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
“Semakin tinggi upahnya maka permintaan agregat akan dorong pengusaha untuk cari tenaga kerja baru. Prabowo harusnya lebih berani lagi naikan upah minimum antara 8,7 sd 10 persen jika tujuannya mencapai pertumbuhan ekonomi diatas 5 persen pada tahun depan. Apalagi target pertumbuhan 8 persen mau tidak mau upah minimum nya harus naik signifikan,” ujar Bhima.
Artinya, ketika upah bisa naik maka akan dapat mengimbangi angka inflasi yang diproyeksi 4 tahun ke depan akibat berbagai kebijakan pemerintah, seperti naiknya ppn 12 persen hingga iuran BPJS kesehatan. Maka hal ini masih terdapat sisa upah riil yang dinikmati pekerja.
“Sisa upah riil ini yang dibelanjakan dan memutar ekonomi berakibat pada omzet pelaku usaha yang lebih baik,” ucapnya.
Lebih lanjut, Bhima menilai bahwa kurang adanya bukti mengenai klaim yang mengatakan UMP yang tinggi akan merugikan dunia usaha. Hal ini lantaran jika ump naik 6,5 persen, maka Surplus usaha disimulasikan meningkat 46,2 triliun.
Berdasarkan hitung-hitungan Celios, Bhima menjelaskan bahwa kenaikan UMP 6,5 persen akan dorong kenaikan Output ekonomi sebesar Rp107,1 triliun di 2025. Sementara Konsumsi rumah tangga berpotensi mendapat tambahan Rp43,7 triliun.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W Kamdani, menilai kebijakan kenaikan yang cukup signifikan ini akan berdampak langsung pada biaya tenaga kerja dan struktur biaya operasional perusahaan, khususnya di sektor padat karya.
Menurutnya, dalam situasi ekonomi yang masih menghadapi tekanan domestik dan tantangan global, hal ini berisiko mengurangi daya saing produk Indonesia, baik di pasar domestik maupun internasional.
“Hal ini dikhawatirkan akan dapat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) serta menghambat pertumbuhan lapangan kerja baru,” ujar Shinta dalam keterangan resminya, dikutip Senin (2/12/2024).
Maka dari itu, dia mengatakan pihaknya menunggu penjelasan pemerintah terkait dasar perhitungan yang digunakan untuk menentukan kenaikan sebesar 6,5 persen itu. Penjelasan yang dibutuhkan para pengusaha menurutnya adalah, apakah metodologi perhitungan kenaikan UMP tersebut dalam memperhitungkan variabel produktivitas tenaga kerja, daya saing dunia usaha, dan kondisi ekonomi aktual.
“Metodologi penghitungan tersebut penting, agar kebijakan yang diambil mencerminkan keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan dunia usaha,” ucap Shinta.
“Penjelasan penetapan UMP 2025 ini juga diperlukan bagi dunia usaha untuk mengambil sikap ke depan terhadap ketidakpastian kebijakan pengupahan yang masih terus berlanjut,” imbuhnya.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, memaparkan bagi dunia usaha, kenaikan upah minimum ini bukanlah soal setuju atau tidak setuju, tetapi persoalan mampu atau tidak mampu untuk memenuhi kenaikan tersebut.
“Jika perusahaan tidak mampu menanggung kenaikan biaya tenaga kerja, maka keputusan rasional terhadap penghitungan usaha akan dapat terjadi ke depan, yaitu penundaan investasi baru dan perluasan usaha, efisiensi besar-besaran yang dapat berdampak pada pengurangan tenaga kerja, atau keluarnya usaha dari sektor industri tertentu,” tambah Bob.
Bob juga menyayangkan bahwa masukan dunia usaha tidak didengarkan dalam penetapan kebijakan ini. Menurutnya, Apindo selama ini telah berpartisipasi secara aktif dan intensif dalam diskusi terkait penetapan kebijakan upah minimum.
“Kami telah memberikan masukan yang komprehensif dan berbasis data mengenai fakta ekonomi, daya saing usaha, serta produktivitas tenaga kerja. Namun, masukan dari dunia usaha sebagai aktor utama yang menjalankan kegiatan ekonomi nampaknya belum menjadi bahan pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan,” ujar Bob.
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Anggun P Situmorang