tirto.id - Pesawat Woyla dibajak gerombolan tak dikenal pada 28 Maret 1981, di tengah penerbangan menuju Medan. Para pembajak membelokkan rute pesawat itu hingga ke Bangkok, Thailand. Pesawat milik maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airways itu mendarat di Bandara Don Mueang sekitar pukul 17.00 waktu Thailand.
Begitu parkir, pimpinan pembajak Mahrizal memaksa Kapten Herman Rante menghubungi otoritas bandara untuk meminta logistik dan bahan bakar. Kontak dari pembajak itu disambut langsung oleh Duta Besar Indonesia untuk Thailand Hasnan Habib. Kepada Hasnan, Mahrizal mengajukan sejumlah tuntutan.
Salah satu tuntutan pembajak itu adalah pembebasan teman-temannya yang ditahan karena penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, pada 11 Maret 1981. Dari tuntutan itulah kemudian aparat mencium siapa dalang di balik pembajakan tersebut.
Tak salah lagi, Mahrizal dan kawan-kawan adalah bagian dari Jamaah Imran yang dikenal kerap bikin ribut di Cimahi dan Bandung.
Munculnya Imam Imran
Imran bin Muhammad Zein adalah pimpinan jemaah itu. Imam Imran, demikian ia biasa disapa di kalangan jemaahnya, belajar Islam di Arab Saudi sejak 1972. Menumpang kapal haji, ia berangkat ke Arab Saudi sebagai imigran gelap.
Di kapal, ia dipekerjakan sebagai pelayan. Sampai di Mekkah, ia sempat berpindah-pindah tempat tinggal. Ia menyambung hidup dengan mengambil kesempatan kerja apa pun. Imran pernah bekerja sebagai pembuat kursi, pelayan toko, pedagang batu dan jam, dan menjadi tenaga keamanan di sebuah perusahaan.
Di kota suci kaum Muslim itu, Imran berguru kepada beberapa ulama. “Di antara deretan nama-nama Syekh tempatnya berguru, Imran sangat terkesan dengan gurunya Syekh Bukhari, Syekh Yasir bin Abdullah, Syekh Muhammad bin Abdul Qadir dan Syekh Abdullah,” tulis Emron Pangkapi dalam Hukuman Mati untuk Imam Imran: Catatan Sebuah Proses Peradilan (1982: 13-14).
Setelah belajar beberapa tahun, Imran sudah tampil berbicara di muka umum. Gayanya yang atraktif dan bersemangat memikat beberapa pemuda Indonesia yang belajar di Arab Saudi. Beberapa di antara mereka itu kemudian menjadi kawan dekatnya. Salah satu yang terdekat adalah Mahrizal. Sekembalinya Imran ke Indonesia, para alumni Arab Saudi itu menjadi kawan-kawan setianya dalam gerakan jemaah yang ia rintis.
Pada Maret 1977, Imran memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan menyempatkan berkeliling ke beberapa kota untuk berdakwah. Setahun setelah pulang, Imran menikah dengan Syahraini Batubara. Dengan sisa uang tabungan dari Arab Saudi dan bantuan dari ayahnya, Imran mulai bekerja kecil-kecilan (hlm. 31-38).
Pada 1978, Imran mulai memfokuskan dakwahnya di daerah Jawa Barat sambil tetap berdagang jam tangan. Ia menetap di Cimahi. Di sinilah Imran kemudian bergaul dengan sebagian kalangan pemuda masjid yang tergabung dalam Himpunan Pemuda Masjid (Hipma).
Pengaruhnya dengan cepat segera meluas di Hipma Cimahi. Sebagian pemuda Hipma Cimahi mendukung dakwah Imran, sebagian yang lain kontra. Akibatnya, massa Hipma terbelah, dan tak jarang perbedaan pandangan ini meruncing dalam pertentangan-pertentangan nyata.
Contohnya seperti yang terjadi pada Agustus 1979 karena masalah jumlah azan dalam salat Jumat. Pendukung Imran berpendapat, azan salat Jumat hanya sekali. Sedangkan yang lain berpendapat dua kali. Suatu saat dalam salat Jumat, kelompok pendukung Imran keluar dari masjid gara-gara azan dua kali.
Peruncingan dua kubu dalam Hipma Cimahi ini sampai menarik perhatian Wali Kota Cimahi. Ketika pertentangan semakin sulit didamaikan, Wali Kota Cimahi mengambil kebijakan untuk membubarkan organisasi ini. Imran, yang namanya sudah terkenal, mengecam tindakan wali kota itu.
“Kebencian Imran terhadap penguasa bertambah-tambah lagi, ketika suatu kali ia mendapat informasi adanya usaha-usaha untuk melindas ummat Islam. Kesempatan ini digunakannya untuk membangkitkan semangat pemuda Islam terutama yang pelarian dari perpecahan Hipma,” tulis Emron Pangkapi (hlm. 39).
Kejadian ini mendorong Imran untuk mendirikan jemaah seperti saat di Arab Saudi. Ia cukup percaya diri karena mendapat dukungan dari beberapa pemuka agama yang sepaham dengannya. Imran tambah yakin karena kawan dekatnya, Mahrizal, telah pulang ke Indonesia dan siap membantunya.
Tetapi sebelum jemaah itu terbentuk, pada medio Agustus 1980, Imran berkonsultasi dengan K.H. Buya Sutan Mansyur, seorang ulama asal Jakarta yang dihormati. Jemaah itu akhirnya dibentuk sekitar akhir Agustus 1980 dalam sebuah pertemuan di rumah H. Adang Suherman di Cimahi.
Pertemuan itu dihadiri pengikut dan pendukung Imran, antara lain Mahrizal, Zulfikar, Salman, Achmad Yani Wahid, Gunawan Tambunan, Azhar Zulkarnain, Edy Kusmayadi, Edy Ruswendy, Bahtiar Ibrahim, Amar, Yusuf, dan Syamsu Rizal.
“Pertemuan malam itu diisi acara tunggal mengangkat Imran sebagai Imam. Mereka menyatakan diri anggota jamaah Imran yang akan patuh dan setia kepada imam selagi tidak bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah Rasul,” catat Emron (hlm. 41-42).
Semakin Radikal karena Direpresi
Jemaah Imran segera mendapatkan publikasi yang luas. Masyarakat membincangkannya karena militansi kelompok ini. Tak hanya berseru menentang praktik-praktik keislaman yang dinilai "bidah dan khurafat," jemaah Imran tak ragu menyerang kebijakan pemerintah yang dinilai "menindas Islam."
Majalah Tempo (16/8/1980) melaporkan, pada 4 Agustus 1980, jemaah Imran mengadakan kaderisasi terbuka di Masjid Istiqomah, Bandung. Di tengah-tengah kegiatan, tiba-tiba jemaah ini diringkus polisi. Sebanyak 44 anggotanya ditahan.
“Ceramah dan pembicara di situ—dan ternyata bukan hanya sekali itu—terdengar panas dan menjadi ajang caci-maki terhadap para ulama maupun pemerintah,” ujar Syamsuddin, seorang pengurus Yayasan Masjid Istiqomah, sebagaimana dikutip Tempo.
Akibat penahanan ini, reaksi keras muncul dari internal jemaah Imran. Mereka menjadi cenderung ekstrem dan lebih agresif. Jemaah Imran bahkan sempat mendatangi kediaman Ketua Majelis Ulama Kodya Bandung Yunus Nataatmadja, Ketua MUI Jawa Barat K.H. E.Z. Muttaqien, dan bahkan kepada pentolan Dewan Dakwah Islamiyah, Moh. Natsir. Kepada tokoh-tokoh ini, mereka menuntut pembebasan rekan-rekannya.
Usai peristiwa pembajakan Woyla, pemerintah melakukan penyelidikan dan memburu orang-orang yang terkait dengan jemaah Imran. Dalam laporannya kepada DPR tertangal 13 Mei 1981, Kopkamtib menjelaskan bahwa tujuan besar jemaah Imran adalah “mendirikan negara Islam dengan rencana menggulingkan Pemerintahan SUHARTO”.
Dalam laporan itu, Kopkamtib juga menuding jemaah Imran di balik beberapa aksi teror dan kerusuhan sepanjang 1980 hingga 1981. Di antara aksi-aksi ini, yang berhasil terendus Kopkamtib, adalah pembakaran bendera Uni Soviet di Bandung (Januari 1980), percobaan pembakaran Hotel Hilton di Jakarta (November 1980), hingga percobaan pembunuhan terhadap Dr. Syamsudin (Februari 1981).
Aksi jemaah Imran yang paling menyita perhatian publik terjadi sekitar dua minggu sebelum pembajakan pesawat Woyla. Dipimpin Salman Hafidz, beberapa anggota jemaah menyerbu Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo. Penyerbuan ini menyebabkan tiga polisi tewas dan seorang luka-luka. Beberapa pucuk senjata juga hilang.
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan