Menuju konten utama

BPK Temukan Potensi Kerugian dari Kontrak Karya Freeport

BPK menemukan adanya potensi hilangnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atas Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia periode 2009-2015 sebesar Rp6,02 triliun.

 BPK Temukan Potensi Kerugian dari Kontrak Karya Freeport
CEO Freeport-McMoran Copper & Gold Inc Richard Adkerson bersama Menteri ESDM Ignasius Jonan bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait divestasi saham di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (29/8). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya potensi hilangnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atas Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia (PTFI) periode 2009-2015 sebesar 445,96 juta dolar AS atau Rp6,02 triliun (asumsi kurs Rp13.500 per dolar AS).

"Seharusnya tarif yang di dalam Kontrak Karya ini segera disesuaikan dengan undang-undang, tetapi baru disesuaikan tahun 2014 sehingga tim menetapkan bahwa terdapat potensi kekurangan penerimaan iuran tetap dan royalti sebesar 445,96 juta dolar AS," ujar Auditor Utama IV BPK Saiful Anwar Nasution saat diskusi di Kantor BPK, Jakarta, Selasa (3/10/2017).

Saiful mengatakan, pemerintah melalui PP Nomor 45/2003 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP Nomor 9/2012, telah menetapkan besaran tarif iuran tetap, royalti dan royalti tambahan. Namun PT FI masih menggunakan tarif yang tercantum dalam KK yang besarannya lebih rendah, serta tidak disesuaikan dengan tarif terbaru menurut peraturan pemerintah tersebut, sehingga mengakibatkan hilangnya potensi PNBP tersebut.

Berdasarkan PP Nomor 9/2012, tarif royalti tembaga ditetapkan sebesar 4 persen, emas 3,75 persen, perak 3,25 persen. Sedangkan dalam kontrak karya, tarif royalti tembaga sebesar 3,75 persen, emas 1 persen, dan perak 1 persen.

"Menurut BPK, royalti itu harus sesuai dengan PP. Tapi itu sudah diperbaiki, hanya memperbaikinya terlambat. Di UU Nomor 4/2009 itu kan segera dengan PP, ini kan tidak," kata Saiful.

BPK menemukan permasalahan utama, salah satunya yaitu pengendalian intern dalam Kontrak Karya PT Freeport Indonesia meliputi pelaksanaan kebijakan yang mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan itu.

Kendati demikian, dia menegaskan temuan BPK itu hanya menunjukkan potensi kerugian negara, bukan kerugian negara.

"Potensi itu bukan betul-betul kerugian secara material. Potensi itu apabila tidak melakukan sesuatu, itu bisa jadi kerugian. Jadi kami rekomendasinya tidak untuk menyetorkan terlebih dahulu, kami rekomendasinya untuk melakukan sesuatu dulu. Bila tidak dilakukan, itu baru disebut kerugian negara," ujarnya.

Temuan lain, BPK merilis adanya permasalahan dalam pengawasan dan pengendalian penjualan barang tambang PT Freeport. UU Nomor 4 Tahun 2009 mewajibkan kepada seluruh kontrak karya untuk membangun smelter paling lambat 5 tahun setelah undang-undang berlaku. Namun, PT Freeport masih belum membangun smelter hingga saat ini. Padahal PT FI bisa mengekspor konsentrat sebanyak 10.122,186 ton pada Januari hingga Juli 2014.

Selain itu, dikatakan Saiful, BPK mendapati bahwa PT Freeport belum mengajukan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) kepada Kementerian Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 pasal 38 menetapkan bahwa kegiatan non-kehutanan dapat dilakukan di hutan produksi dan hutan lindung lewat IPPKH yang diterbitkan Kementerian Kehutanan.

"Pemerintah mengeluarkan Keppres Nomor 41 tahun 2004 tentang penetapan 13 perusahaan tambang yang berada di hutan lindung dan wajib mengurus IPPKH. Namun, dari pemeriksaan BPK, PT Freeport tidak memperoleh izin IPPKH," ujar Saiful.

Kemudian, BPK juga menemukan hasil kelebihan pencairan jaminan reklamasi PT Freeport. Angka kelebihan pencairan jaminan reklamasi PT Freeport mencapai 1,43 juta dolar AS atau sekitar Rp19,431 triliun. Hasil analisis peta reklamasi GIS (Divisi Geo Engineering PT FI) terdapat beberapa blok reklamasi tahun 2005-2015 milik PT Freeport tumpang tindih dan diklaim berlebihan.

Di sisi lain, BPK mendapati bahwa porsi kepemilikan saham pemerintah Indonesia dengan divestasi saham PT Freeport melalui proses negosiasi panjang. Kontrak karya menetapkan divestasi sebesar 51 persen paling lambat 20 tahun setelah kontrak karya ditandatangani atau sekitar tahun 2011.

Namun, BPK menemukan ada sejumlah kebijakan yang meringankan ketentuan divestasi Freeport, yakni kemunculan PP 77 tahun 2014 yang menetapkan divestasi asing dilakukan paling lambat setelah 5 tahun setelah produksi, divestasi minimal 20 persen di tahun ke-6 kemudian 30 persen di tahun ke-10.

Selain itu, kesepakatan antara Dirjen Minerba dan PT Freeport tahun 2014 menyatakan bahwa divestasi menjadi 20 persen dilakukan maksimal 1 tahun setelah PP 77/2014 diundangkan serta divestasi 10 persen dilakukan maksimal 5 tahun.

"Kedua kebijakan ini menurunkan ketentuan yang ditetapkan kontrak karya," kata Saiful.

Pemeriksaan atas KK PT Freeport Indonesia pada 2013-2015 dilakukan pada Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan instansi terkait lainnya.

Pemeriksaan atas KK PT FI pada 2013-2015 untuk menilai kepatuhan PT FI terhadap kewajiban perpajakan, PNBP (royalti dan iuran tetap) serta bea keluar ekspor.

Selain itu, pemeriksaan ini juga menilai kepatuhan PT FI terhadap peraturan yang terkait dengan lingkungan hidup, dan menguji apakah perpanjangan kontrak yang akan dilakukan PT FI dan divestasi saham PT FI telah berjalan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Hasil pemeriksaan atas KK PT FI menyimpulkan bahwa pengelolaan pertambangan mineral pada PTFI belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk menjamin pencapaian prinsip pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Simpulan tersebut didasarkan atas kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam KK PT FI dari aspek penerimaan negara, lingkungan hidup, perpanjangan kontrak karya dan divestasi saham, baik yang terkait dengan pengendalian intern maupun kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan data BPK, hasil pemeriksaan atas KK PT FI pada 2013-2015 mengungkapkan 14 temuan yang memuat 21 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi 11 kelemahan Sistem Pengendalian Intern dan 10 ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai 181,45 ribu dolar AS, atau ekuivalen Rp2,41 miliar.

Baca juga artikel terkait KASUS FREEPORT atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Bisnis
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri