tirto.id - Vaksinasi Measles Rubella (MR) masih tersendat lantaran menuai polemik. Ini memungkinkan penyebaran penyakit tersebut lebih mudah jembar dan pada akhirnya memakan korban.
Di Padang misalnya, pada Agustus lalu dilaporkan delapan anak positif terjangkit campak dan rubella. Di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, dari 40 sampel yang diuji, 37 orang positif menderita rubella.
Laporan bersama Kementerian Kesehatan, Badan Kesehatan Dunia (WHO), dan UNICEF (PDF) menyebut pada 2017 dan 2018, 16 sampai 43 persen dari 11 ribu kasus suspek campak terkonfirmasi berstatus "rubella pasti".
Vaksinasi yang tersendat bukan hanya karena penolakan masyarakat—karena alasan belum ada jaminan halal—tapi juga langsung dari pemerintah daerah.
Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah misalnya, pada Agustus lalu meminta vaksinasi ditunda lantaran belum ada fatwa halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sampai sekarang memang belum ada fatwa halal dari MUI. Organisasi agama ini hanya memberikan fatwa mubah atau boleh digunakan sepanjang belum ada vaksin lain yang bisa dipastikan betul kehalalannya.
Sikap Nova sama seperti Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau. Kesepakatan melanjutkan vaksin atau tidak akan ditentukan dalam rapat bersama antara instansi terkait, juga DPRD setempat.
Dengan fakta banyak penolakan dari daerah, apakah pemerintah pusat bisa mengintervensi?
Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Soni Sumarsono, mengatakan hal tersebut sangat mungkin dilakukan.
"Jangankan intervensi, ambil alih pun juga bisa," ujar mantan plt Gubernur Jakarta itu kepada reporter Tirto, Rabu (12/9/2018).
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dijelaskan kalau masalah kesehatan adalah urusan pemerintahan konruen, yaitu urusan yang tugasnya dibagi antara pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
Masalah penanganan rubella ini memang kewenangan pemerintah pusat yang ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/191/2017 (PDF). Dalam penerapannya bisa meminta bantuan daerah. Daerah, dalam hal ini, hanya berwenang membuat peraturan teknis, tak lebih dari itu.
Dalam pasal 16 ayat (3) UU 23/2014 tersebut dijelaskan kalau pemerintah pusat dapat membatalkan keputusan daerah yang tidak sesuai dengan instruksi pemerintah pusat: "dalam hal kebijakan daerah... yang tidak mempedomani norma, standar, prosedur, dan kriteria... pemerintah pusat membatalkan kebijakan daerah."
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Lisman Manurung, juga berpendapat demikian. Ia menilai jika Peraturan Menteri Kesehatan untuk penyelenggaraan program vaksinasi rubella telah dikeluarkan, seharusnya pemerintah daerah menjalankan instruksi tersebut hingga tuntas.
Ia menilai pemerintah daerah seharusnya tidak menunda kebijakan vaksinasi hanya karena masih adanya polemik soal halal-haram. Lisman juga menyinggung "hak untuk memperoleh hidup sehat" yang tertuang Universal Declaration of Human Rights (UDHR).
"Bayangkan: ini kalau ternyata fatwanya halal, tapi tertunda, berapa banyak yang jadi korban," ujar Lisman kepada reporter Tirto.
Jika hal ini tidak dijalankan, kata Lisman, pejabat pemerintah daerah dapat disebut telah melakukan mala-administrasi. Dalam hal ini, Ombudsman dapat mengeluarkan rekomendasi berdasarkan aduan masyarakat.
"Ada sanksi yang bisa diberikan jika kepala daerah tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman," ungkapnya. Hal ini tertuang dalam Pasal 36 ayat (2) huruf Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Rekomendasi Ombudsman yang tidak dijalankan itu masuk dalam kategori pelanggaran administratif.
Pada Pasal 46 ayat (1) aturan yang sama disebutkan bahwa: "kepala daerah yang melakukan pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf r dijatuhi sanksi administratif berupa mengikuti program pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan."
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino