Menuju konten utama

Bisakah Amnesti Pajak Menutup Defisit APBN?

Dana tebusan amnesti pajak hingga Rabu (28/9/2016) siang baru mencapai Rp54,3 triliun atau sekitar 32,9 persen dari target Rp165 triliun. Padahal, dana tebusan ini diharapkan bisa menambal defisit APBN-P 2016. Bagaimana cara pemerintah menyiasati defisit ini?

Bisakah Amnesti Pajak Menutup Defisit APBN?
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi keterangan pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

tirto.id - Saat program amnesti pajak diberlakukan sejak awal Juli lalu, banyak suara sumbang yang meragukan target ini akan tercapai. Salah satunya adalah ekonom yang juga pernah menjabat sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia 1999-2004, Anwar Nasution.

Ia menilai amnesti pajak tidak akan mendorong pengembalian kembali kekayaan maupun dana milik orang Indonesia yang diparkir di luar negeri atau repatriasi. Hal ini, dikarenakan penyebab utama diaspora modal ke luar negeri bukan semata-mata karena tingginya pajak penghasilan di Indonesia, melainkan karena buruknya sistem politik dan hukum di tanah air.

"Sistem hukum nasional tersebut tidak mampu melindungi hak milik individu maupun memaksakan kontrak perjanjian," ujarnya seperti dikutip Antara Juli lalu.

Selain itu, buruknya produk maupun pelayanan lembaga keuangan nasional juga menjadi penyebab orang Indonesia lebih senang menyimpan asetnya di luar negeri.

Persoalan tersebut dinilai dapat menghambat pelaksanaan amnesti pajak. Padahal, dalam program ini, pemerintah memperkirakan wajib pajak yang mendaftar kebijakan pengampunan pajak dan akan mendeklarasikan asetnya di luar negeri mencapai hingga Rp4.000 triliun, dengan kemungkinan dana repatriasi yang masuk mencapai kisaran Rp1.000 triliun. Pemerintah juga mematok dana tebusan dari program ini Rp165 triliun.

Namun, tiga bulan awal program ini berjalan, seolah-olah apa yang diragukan oleh banyak pihak benar adanya. Misalnya, pada Selasa (26/7/2016) dana yang dideklarasikan baru sekitar Rp989 miliar, dan penerimaan uang tebusan dari program amnesti pajak baru mencapai Rp23,7 miliar dari target Rp165 triliun yang diinginkan.

Situasi ini tentu membuat pusing pemerintah, karena kalau pelaksanaan amnesti pajak ini gagal, maka target penerimaan negara dari pajak yang dipatok sebesar Rp1.360 triliun pada APBN 2016 terancam tidak tercapai. Apalagi target ini telah memperhitungkan tambahan pemasukan dari program amnesti pajak ini.

Memasuki awal September, program ini juga belum menunjukkan angka yang menggembirakan. Data yang dilansir pajak.go.id per 7 September 2016 menunjukkan, uang tebusan amnesti pajak baru mencapai Rp5,37 triliun. Sedangkan harta yang dilaporkan mencapai Rp251 triliun. Harta tersebut berasal dari deklarasi dalam negeri sebesar Rp196 triliun, deklarasi luar negeri Rp40,9 triliun, dan dan repatriasi sebesar Rp14 triliun.

Data tersebut mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan berpikir keras bagaimana cara menaikkan capaian dan mensukseskan amnesti pajak ini, termasuk menggalakkan sosialisasi. Tak tanggung-tanggung, Presiden Joko Widodo sejak awal langsung “turun gunung” mensosialisasikan program ini.

Memasuki pertengahan September, program ini baru menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan. Misalnya, data yang dilansir pajak.go.id per 22 September 2016 menunjukkan jumlah deklarasi harta amnesti pajak sudah mencapai Rp1.459 triliun, yang meliputi deklarasi dalam negeri Rp976 triliun, deklarasi luar negeri Rp405 triliun, dan dana repatriasi Rp77,9 triliun. Sementara penerimaan uang tebusan yang dibayarkan peserta pengampunan pajak ini baru mencapai Rp35,1 triliun.

Namun, data yang dilansir pajak.go.id dalam tiga hari terakhir ini cukup membuat pemerintah bisa menghela napas lega, karena dana deklarasi dalam program amnesti pajak meningkat signifikan.

Misalnya, data per Senin, 26 September menunjukkan, total deklarasi harta tercatat Rp1.869 triliun, terdiri dari deklarasi harta dalam negeri sebesar Rp1.275 triliun, deklarasi harta luar negeri tercatat sebesar Rp498 triliun, dana repatriasi sebesar Rp96,3 triliun, dan tebusan amnesti pajak mencapai Rp44,4 triliun.

Dana deklarasi amnesti pajak ini tembus menjadi Rp2.475 triliun pada Selasa (27/9/2016), yang terdiri dari deklarasi dalam negeri sebanyak Rp1.694,78 triliun, deklarasi luar negeri mencapai Rp654,30 triliun, dan dana repatriasi tercatat Rp126,71 triliun. Sementara untuk uang tebusan yang telah diterima Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan dalam program ini sudah mencapai Rp53,4 trilliun.

Kenaikan yang signifikan ini dikarenakan para pengusaha “kakap” yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia melaporkan hartanya secara serempak ke Ditjen Pajak, sehingga jumlah dana amnesti pajak langsung melonjak pesat.

Sebagai informasi, para pengusaha ini menyambangi kantor Ditjen Pajak, pada Selasa (27/9/2016) siang yang tujuannya adalah menyerahkan Surat Pernyataan Harta (SPH) dalam rangka mengikuti program pengampunan pajak. Mereka antara lain, Ketua Umum Kadin, Rosan P Roeslani, Anindya Bakrie, MS Hidayat, Bambang Soesatyo, hingga Sandiaga Uno.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati merespons positif pelaporan harta serentak oleh para pengusaha ini. Sri Mulyani mengaku senang karena dengan pelaporan harta tersebut, maka jumlah uang tebusan yang masuk ke kas negara juga ikut bertambah. “Saya menyambut baik dan gembira,” ujarnya.

Capaian dana deklarasi amnesti ini membuat pemerintah semakin optimistis dapat menambal penuh defisit APBN 2016, apalagi besaran dananya terus naik. Hingga Rabu (28/9/2016) siang, dana deklarasi program ini sudah mencapai Rp2.514 triliun.

Dana tersebut berasal dari dana deklarasi dalam negeri Rp1.720 triliun, dana deklarasi luar negeri Rp666 triliun, dan repatriasi sebesar Rp128 triliun. Sementara uang tebusan sudah mencapai Rp54,3 triliun. Namun, jumlah ini lagi-lagi masih jauh dari target pemerintah yang mematok uang tebusan sebesar Rp165 triliun.

Melihat fakta ini, harapan untuk menjadikan amnesti pajak sebagai salah satu cara menambal penuh defisit APBN 2016 masih jauh dari harapan. Kemungkinan besar program ini baru dapat diandalkan dan terasa dampaknya pada APBN 2017 mendatang.

Lalu, bagaimana cara pemerintah menutup defisit APBN-P 2016 dan akan ada kekurangan penerimaan (shortfall) yang diprediksi mencapai Rp219 triliun?

Menutup Defisit Anggaran

Sri Mulyani, sejak diangkat sebagai menteri keuangan oleh Presiden Joko Widodo telah mengambil beberapa langkah penting. Misalnya, untuk menutupi defisit dalam APBN ini, ia telah melakukan berbagai upaya. Salah satunya menata ulang APBN-P 2016, termasuk di dalamnya memangkas anggaran dan menggenjot penerimaan pajak.

Seperti diketahui, pemerintah telah memotong anggaran sebesar Rp133,8 triliun dengan mengurangi belanja tak perlu. Pemerintah memangkas belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp65 triliun, dan transfer ke daerah sebesar Rp68,8 triliun.

Sri Mulyani sengaja memotong belanja setelah melihat target APBN-P 2016 terlalu ambisius, padahal kenyataannya realisasi penerimaan negara hingga semester II jeblok, yaitu Rp634,7 triliun atau 35,5 persen dari target APBN-P 2016 yang dipatok Rp1.786,2 triliun.

Bahkan, realisasi penerimaan pajak hingga September ini baru mencapai Rp729 triliun atau sekitar 55 persen dari target penerimaan pajak (tidak termasuk tanpa bea cukai) yang ada dalam APBN-P 2016. Realisasi penerimaan pajak Rp729 triliun ini terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas Rp 431,7 triliun, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM) sebesar Rp 252,5 triliun, PPh Migas Rp 24,5 triliun dan sisanya merupakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Sementara penerimaan uang tebusan dari program amnesti pajak masih belum dapat diandalkan untuk menutup defisit tersebut. Hal ini dapat dilihat di laman pajak.go.id, di mana realisasi penerimaan uang tebusan dari program amnesti pajak berdasarkan Surat Pernyataan Harta (SPH) hingga Rabu (28/9/2016) siang masih Rp54,3 triliun atau sekitar 32,9 persen dari target.

Karena itu, pemerintah terus berupaya agar target penerimaan amnesti pajak dapat tercapai. Salah satunya dengan melakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait pengaturan investasi dana repatriasi serta relaksasi aturan pelaksanaan amnesti pajak.

Dalam konteks ini, Sri Mulyani merilis dua PMK terkait Special Purpose Vehicle (SPV) dan perpanjangan administrasi amnesti pajak. Kedua PMK tersebut merupakan PMK Nomor 141 Tahun 2016 tentang perpanjangan administrasi yang merevisi PMK Nomor 118 Tahun 2016 dan PMK Nomor 142 Tahun 2016 tentang SPV yang merevisi PMK Nomor 127 Tahun 2016.

Dalam PMK 141 ini, nantinya wajib pajak dapat mengikuti program amnesti pajak sampai akhir 2016 dengan menyampaikan Surat Pernyataan Harta (SPH) terlebih dulu dan membayar uang tebusan terlebih dulu ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) hingga akhir periode pertama di September 2016.

Selain itu, administrasi pendukung lainnya terkait bukti kepemilikan harta wajib pajak bisa diserahkan hingga akhir tahun 2016. Sedangkan jika ada tambahan harta yang baru dilaporkan ke dalam SPH setelah periode pertama amnesti pajak harus tetap membayar uang tebusan sesuai periode pelaporan.

Sementara untuk PMK Nomor 142 Tahun 2016 yang mengatur tentang SPV atau perusahaan cangkang, para pemilik SPV di luar negeri tidak harus membubarkan SPV miliknya di luar negeri dan hanya perlu membayar uang deklarasi sebesar 4 persen pada periode pertama.

Raport Merah Penerimaan Pajak

Salah satu penyebab defisit APBN selama ini adalah target pajak yang tidak pernah tercapai. Hal ini dikarenakan target penerimaan pajak yang terkesan ambisius, padahal realisasinya selalu tidak tercapai.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan, selama kurun waktu 2010-2015, target penerimaan pajak tidak pernah tercapai. Misalnya, pada tahun 2010 target penerimaan ajak dipatok sebesar Rp661 triliun, namun realisasinya hanya Rp650 triliun. Sementara tahun 2011, penerimaan pajak ditarget sebesar Rp879 triliun dan terealisasi hanya Rp873 triliun. Target tinggi pajak juga terjadi pada 2012 dan 2013, yaitu Rp885 triliun dan Rp995 triliun, padahal yang tercapai hanya Rp835 triliun dan Rp916 triliun.

Sementara pada 2015, pemerintah mematok penerimaan Rp1.294 triliun atau 29 persen dari realisasi 2014. Namun, realisasi penerimaan pajak 2015 hanya Rp1.060 triliun, jauh dari target. Untuk total penerimaan perpajakan yang mencakup pajak, bea dan cukai dan penerimaan lainnya, totalnya Rp1.235,8 triliun, setara 83 persen dari target dalam APBN-P 2015.

Bagaimana dengan target dan realisasi pajak pada 2016? Statusnya tidak jauh-jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dalam APBN-P 2016, pemerintah menargetkan penerimaan pajak mencapai Rp1.360 triliun, namun realisasi penerimaan pajak hingga September ini baru mencapai Rp729 triliun atau sekitar 55 persen dari target penerimaan pajak yang ada dalam APBN-P 2016.

Perlu Upaya Intensifikasi

Salah satu faktor penting yang harus dilakukan dalam mengelola defisit anggaran adalah dengan menjaga penerimaan pajak dan melakukan antisipasi apabila pendapatan dari sektor tersebut tidak tercapai secara maksimal.

Melakukan penambahan utang bisa menjadi opsi lainnya, namun hal itu bukan merupakan pilihan yang populis mengingat neraca keseimbangan primer terus meningkat setiap tahunnya karena pemerintah masih membayar bunga utang dengan penerbitan obligasi.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengusulkan, pilihan terbaik untuk mengantisipasi pelebaran defisit anggaran adalah dengan mendorong penerimaan negara melalui upaya ekstensifikasi maupun intensifikasi agar potensi pajak bisa tergali dengan maksimal.

Menurut Prastowo, perlu dilakukan upaya ekstensifikasi untuk mencari wajib pajak orang pribadi maupun badan baru serta tindakan intensifikasi dengan melakukan penguatan kelembagaan institusi pajak, revisi Undang-Undang Perbankan serta meningkatkan koordinasi dengan para penegak hukum.

"Pemerintah tentu tak cukup hanya mengandalkan tax amnesty untuk menyelamatkan anggaran dari ancaman shortfall pajak yang menghantui," ujarnya seperti dikutip Antara.

Selain itu, ia juga menyarankan agar pemerintah juga melakukan efisiensi dalam pelaksanaan penganggaran belanja bagi kementerian atau lembaga negara supaya pagu yang ada benar-benar bermanfaat bagi program pengentasan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan.

Dengan melakukan disiplin terhadap pelaksanaan APBN, maka defisit anggaran diharapkan bisa terus terjaga sesuai proyeksi dan tambahan pembiayaan benar-benar bermanfaat untuk pelaksanaan berbagai program pemerintah. Namun, akan lebih ideal apabila upaya tersebut sejalan dengan perbaikan kinerja dalam sektor penerimaan perpajakan, agar hasil dari pembangunan bisa dinikmati oleh semua pihak, tidak hanya golongan tertentu saja.

Baca juga artikel terkait AMNESTI PAJAK atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti