tirto.id - Tahun 1964, untuk pertama kalinya Indonesia menerapkan amnesti pajak. Waktu itu, negeri ini masih dipimpin Soekarno. Penetapan Presiden No. 5 tahun 1964 dijadikan dasar penetapan pengampunan. Namun tak berhasil.
Gerakan 30 September pada tahun 1965 yang mengganggu dunia politik juga berimbas pada tidak kondusifnya perekonomian untuk menjalankan amnesti pajak.
Tahun 1984, amnesti pajak kembali diberlakukan. Waktu itu, pimpinan kekuasaan sudah jatuh ke tangan Soeharto. Keputusan Presiden No. 26 tahun 1984 menjadi dasarnya. Tetap saja, kebijakan itu kembali gagal. Adanya perubahan sistem pungutan pajak dari official-assessment menjadi self-assesment dianggap menjadi penyebab kegagalan.
Official-assessment adalah sistem pungutan yang besaran pajak terutang ditentukan oleh pemerintah. Sementara self-assesment ditentukan oleh wajib pajak. Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi menganggap perubahan itu menjadi salah satu alasan para wajib pajak tidak melaporkan asetnya dengan benar kepada negara.
Menurut Analis dari Sucorinvest, gagalnya dua amnesti pajak itu dikarenakan kurangnya reformasi di sistem administrasi pajak, data yang miskin, dan penegakan hukum yang lemah.
Tahun ini, pengampunan pajak kembali diberlakukan. Ken mengklaim sistemnya jauh lebih baik dari dua kebijakan sebelumnya. Dasarnya pun lebih kuat, yakni undang-undang. Tujuan utama amnesti pajak kali ini adalah menarik kekayaan warga Indonesia di luar negeri ke tanah air.
Sejak 1 Juli lalu, program amnesti pajak sudah dimulai. Mereka yang selama ini mangkir membayar pajak dan tak melaporkan kekayaannya dengan benar diberi ampun. Sanksi administrasi, pemeriksaan pajak, dan sanksi pidana yang belum diterbitkan ketetapannya pun ditiadakan. Syaratnya, harta kekayaan itu harus dideklarasikan dengan benar dan kemudian membayar uang tebusan.
Uang tebusan ini besarnya hanya 2 persen dari total harta yang sudah dikurangi jumlah utang. Ini untuk harta di dalam negeri. Untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi, besaran uang tebusannya empat persen.
Amnesti pajak ini tak cuma untuk korporasi. Konglomerat-konglomerat yang selama ini memarkir uangnya di luar negeri juga bisa ikut memanfaatkan.
Sebelum Undang-undang tentang Pengampunan Pajak disahkan, Sucorinvest pernah merilis laporan. Para analis mewawancarai individu-individu berpenghasilan tinggi atau konglomerat dengan angka kekayaan bersih Rp100 miliar hingga lebih dari Rp1 triliun. Konsultan pajak yang menjadi penasehat pajak para konglomerat juga ikut diwawancarai.
“Sebagian besar konglomerat menyambut baik adanya amnesti pajak dan tak ada masalah dengan mendeklarasikan aset mereka. Akan tetapi, mereka memilih akan tetap menyimpan asetnya di perusahaan offshore dibandingkan membawanya kembali ke Indonesia,” tulis laporan itu.
Prediksi ini tampak benar, sejak Juli hingga 28 September, total dana repatriasi hanya Rp142,69 triliun. Padahal dana luar negeri yang dideklarasikan mencapai Rp795,13 triliun.
Para konglomerat ini berpikir bahwa menyimpan aset mereka di luar negeri memberi keamanan, fleksibelitas, dan juga tarif pajak yang rendah. Cara itu juga dianggap lebih baik untuk memproteksi informasi finansial dibandingkan dengan meletakkannya di dalam negeri.
Meskipun amnesti pajak memberikan insentif 50 persen uang tebusan bagi dana yang direpatriasi, mereka lebih memilih membayar sepenuhnya, yakni 4 persen dari total dana bersih. Padahal jika dikembalikan ke dalam negeri, uang tebusan yang dibayarkan hanya 2 persen.
Sementara itu, para konsultan pajak yang diwawancarai oleh Sucorinvest percaya bahwa ini adalah kesempatan terakhir bagi kliennya untuk mendapat imunitas. Sebab kantor pajak sudah memperbaiki infrastruktur mereka untuk terus melacak para penghindar pajak. “Sangat disarankan bagi ara klien untuk mendeklarasikan hartanya sekarang daripada ditangkap kemudian hari,” tambah laporan itu.
Permintaan Perpanjangan Tarif Ringan
Belum lama ini, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo membuat petisi di change.org. Ia meminta adanya perpanjangan periode pertama program amnesti pajak dengan tebusan 2 persen.
Menurutnya, sosialisasi amnesti pajak yang tidak maksimal membuat pemahaman masyarakat sangat minim soal pengampunan pajak ini. Oleh sebab itu, periode dengan uang tebusan paling murah perlu diperpanjang dari batas waktu yang sebelumnya sudah ditetapkan hingga 30 September ini.
Kalangan pengusaha pun ikut bersuara. Melalui Kamar Dagang dan Industri (Kadin), mereka mengajukan dua opsi usulan. Pertama, adanya perpanjangan masa periode pertama hingga akhir tahun. Jika usulan ini sulit dikabulkan, mereka meminta pemerintah melonggarkan syarat dan ketentuan periode pertama. Jadi, masyarakat bisa mendaftar pada periode pertama, tetapi proses administrasi boleh menyusul di periode selanjutnya.
Sri Mulyani sempat menyatakan mempertimbangkan usulan ini. Tetapi kemudian menolaknya. Para pengusaha ini tak mundur. Mereka menyampaikan aspirasinya kepada Presiden Joko Widodo pada Kamis pekan lalu.
Pada akhirnya, Pemerintah memilih opsi yang kedua. Jadi pendaftaran tetap sampai 30 September. Namun, kelengkapan administrasi boleh menyusul hingga akhir Desember tahun ini.
Apabila wajib pajak sudah mendaftar untuk amnesti pajak pada periode pertama namun hingga akhir tahun tak kunjung melengkapi administrasinya, maka besaran uang tebusan akan mengikuti periode di mana administrasi itu dilengkapi.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Maulida Sri Handayani