Menuju konten utama

Berita Hoax Menjadi Ancaman Toleransi di Yogyakarta

Kasus intoleransi di Yogyakarta kerap terjadi akibat maraknya penyebaran beria hoax yang dianggap provokatif. Namun, pemerintah justru masih melakukan pembiaran terhadap aksi yang mengancam toleransi di wilayah ini.

Berita Hoax Menjadi Ancaman Toleransi di Yogyakarta
Sejumlah warga mengikuti kirab Nusantara Bersatu di kawasan Malioboro, DI Yogyakarta, Rabu (30/11). Kirab Nusantara Bersatu yang diikuti ribuan anggota TNI, Polri, kelompok lintas agama, dan sejumlah elemen masyarakat Yogyakarta tersebut sebagai upaya meneguhkan persatuan dan kesatuan Indonesia yang berdasar pada kebinekaan, Pancasila dan UUD 1945. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah.

tirto.id - Kasus intoleransi belakangan ini dinilai kian marak terjadi wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejak awal 2016, misalnya, sentimen anti-LGBT bahkan mulai mengemuka dan semakin menguat, dari munculnya demonstrasi menolak LGBT hingga penutupan pondok pesantren waria. Berita palsu atau hoax pun dianggap menjadi pemicu yang mengancam toleransi di Yogyakarta.

“Pesantren waria ini pernah ditutup sama FPI. Ini karena hoax yang terjadi. Pada bulan Januari tahun lalu ada penyebaran kebencian yang sangat laten dan terus-menerus menyerang kaum LGBT,” kata Shinta Ratri, pengelola pondok pesantren (ponpes) waria Al Fatah, dalam diskusi publik “Ancaman Intoleransi dan Hoax terhadap Ketahanan Bangsa” di Kampus UGM Yogyakarta, Rabu (29/3/2017).

Penutupan pesantren tersebut bermula dari pemberitaan media online terkait LGBT yang cenderung provokatif. Shinta menuturkan, masyarakat setempat padahal telah menerima dengan baik kehadiran ponpes waria tersebut. Namun, sentimen negatif mulai muncul sejak adanya berita hoax dari media online.

“Judulnya saja sudah menggiring opini publik. Menurut saya, hoax dan media sosial ini perang opini dan perang kepentingan. Dalam berita itu tertera 'LGBT Merajalela'. Siapa orang yang tidak akan membenci [kaum] LGBT jika judulnya saja sudah begitu?” terangnya.

Menurut Shinta, oknum intoleran tersebut akan bergerak jika terdapat lima hal yang provokatif. Di antaranya, bila terdapat aliran sesat: Ahmadiyah atau syiah; ada pengerusakan ukhuwah islamiyah seperti misalnya pelecahan agama; ada LGBT; komunisme; dan kristenisasi.

“Lima hal inilah yang kemudian menggerakkan aktor intoleransi. Ketika ini dijual di media sosial dan dibuat berita hoax, akan laris sekali. Kemudian masyarakat yang mudah tersulut kemarahan, yang tidak bijaksana, akan mengikuti hoax tadi,” jelas Shinta.

Sementara itu, kemunculan berita hoax ini memang diyakini memiliki kepentingan di baliknya, baik politis maupun bisnis. Hal ini disepakati Soni Triantoro selaku editor media online Hipwee. Menurutnya, hoax memiliki unsur kesengajaan, yakni sengaja membohongi untuk kepentingan tertentu.

“Dalam berita hoax, yang disasar itu emosi. Hoax menciptakan kondisi dimana kebenaran itu dibentuk berdasarkan emosi seseorang. Akhirnya, banyak berita yang di-share karena judulnya sangat provokatif, sampai bisa membuat pembacanya emosi, marah,” jelas Soni.

Di era digital sekarang ini, Soni menjelaskan, semua orang bisa menyampaikan dan menerima informasi. Dengan begitu, pers tidak lagi bisa memastikan bahwa arus informasi dapat sampai ke pembaca lewat pintu yang dia baca. Namun, di tengah budaya digital dan maraknya penyebaran berita hoax, pers dapat menjadi lembaga autentifikasi. Artinya, pers diimbau menjadi pembukti sebuah fakta.

“Misalnya, jika kita membuka media sosial, ada satu berita yang provokatif. Jika orang tidak waras dia akan langsung share, tapi jika mereka waras akan membaca beritanya dan membandingkan berita serupa di media massa lainnya,” papar Soni.

Karenanya, Shinta menegaskan, untuk menanggapi isu provokatif diperlukan kebijaksanaan pembaca. “Ketika membaca berita hoax, lebih baik tidak dipakai. Pembaca dituntut untuk cerdas di era keterbukaan informasi saat ini,” jelasnya.

Berita hoax yang sudah telanjur menguat ini rupanya tidak hanya viral di media sosial tetapi juga merambah ke ranah sosial masyarakat. Shinta menjelaskan, sebelum aksi penutupan ponpes waria, kelompok intoleran tersebut membuat spanduk di pojok-pojok kota yang isinya menyalahkan kaum LGBT sebagai makhluk yang berdosa.

Akhirnya ketika kelompok intoleran mendatangi ponpes, Shinta dan kawan-kawan waria lainnya tidak bisa apa-apa. Sebab, oknum tersebut tidak mau diajak berunding. Bahkan aparat keamanan tidak bisa berbuat apa-apa terhadap oknum intoleran tadi.

Menurut Soni, relasi aparat terhadap kasus intoleransi memang selalu berakhir pada pembiaran. Meskipun aparat menegaskan kinerja yang lebih profesional, ketika berhadapan dengan kasus intoleransi pendekatan yang mereka lakukan bukan pada hukum, tapi keamanan.

“Yang penting aman aja, entah hukum ditegakkan atau tidak. Dalam kasus LGBT itu, ada hukum primordial atau agama yang berlaku di situ,” ungkapnya.

Menanggapi aksi intoleransi tersebut, pemerintah mengakui diperlukan adanya ruang dialog antarkelompok yang berkepentingan. Bayu Haryono, staf ahli mewakili Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, menyebutkan pemerintag daerah sendiri memiliki forum komunikasi.

“Kalau ada persoalan, meski tidak selesai pada forum itu, paling tidak bisa berbagi peran mengatasi persoalan itu. Kalau menurut saya, pendekatannya cenderung pakai proses untuk memahamkan,” jelasnya.

Bahkan, Bayu menekankan, ancaman intoleransi dan hoax ini tidak akan menjadi persoalan yang cukup serius bagi bangsa dan kebhinekaan jika pemerintah bersikap netral, tidak cenderung berpihak pada satu kelompok tertentu.

“Netralitas penegak hukum, itu kunci utama mengatasi persoalan intoleransi. Jika tidak, akan membahayakan kebhinekaan. Pemerintah itu pembuat regulasi dan penegak peraturan. Diharapkan menjadi solusi dan berdiri pada semua pihak. Maka, pemerintah sudah semestinya netral,” tandasnya.

Baca juga artikel terkait BERITA HOAX atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari