tirto.id - Rempah-rempah—sebutlah di antaranya cengkeh, pala, dan lada—adalah komoditas Nusantara yang sangat laku di pasar internasional di masa lalu. Ia serupa magnet yang menarik penjelajah Eropa datang ke Kepulauan di Bawah Angin. Portugis, Belanda, Spanyol, dan Inggris kemudian berlomba untuk menguasai daerah-daerah penghasil rempah-rempah di Nusantara.
Bengkulu adalah salah satunya. Sejak sekira abad ke-17, Bengkulu sudah dikenal sebagai salah satu daerah penghasil lada. Di masa yang sama, Kesultanan Banten memang lebih dikenal sebagai bandar lada besar. Namun, predikat itu didapat Banten berkat pasokan lada dari Bengkulu.
“Banten sendiri tidak begitu banyak menghasilkan lada, tetapi Banten merupakan bandar lada terbesar dan dikenal di kalangan Eropa. Lada-ladanya ada yang didatangkan dari Bengkulu, Silebar, dan Lampung,” tulis Sutrisno Kustoyo, dkk dalam Sejarah Daerah Bengkulu (1978, hlm. 76).
Inggris di Bengkulu
Inggris memulai eksistensinya di Bengkulu sekira 1680-an, setelah terusir dari Banten. Pasalnya, EIC Inggris kalah bersaing dengan VOC Belanda dalam perdagangan lada.
“Orang-orang Eropa yang berdagang di Banten diusir, orang-orang Inggris mengundurkan diri ke Bengkulu,” tulis M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2022, hlm. 176).
Bengkulu dipilih sebagai tujuan usai Inggris menjajaki beberapa daerah di pesisir Sumatra dan sekitarnya. Bengkulu bukanlah daerah tak bertuan kala itu. Di sana, telah eksis beberapa kerajaan, di antaranya Kerajaan Silebar, Kerajaan Sungai Hitam, Kerajaan Sungai Serut, dan Kerajaan Sungai Lemau.
Pada 1685, beberapa penguasa lokal Bengkulu mengajak EIC berunding dan membentuk suatu perjanjian. Para penguasa lokal menawarkan izin untuk membangun markas di sekitar wilayah Bengkulu. Sebagai gantinya, EIC diharuskan melindungi wilayah Bengkulu dari agresivitas VOC.
EIC tentu saja menyambut tawaran itu dan segera perjanjian kongsi pun dibuat pada pertengahan Juli 1685.
“Penguasa Bengkulu menandatangani perjanjian yang memberikan keleluasaan bagi EIC untuk membangun benteng dan gudang termasuk mengontrol para penghasil lada di sana,” ungkap Daya Negeri Wijaya dalam tulisannya “Thomas Stamford Raffles di Bengkulu: Politisi atau Ilmuwan” yang terbit dalam jurnal Paramita (Vol. 27, No. 1, 2017).
EIC kemudian membangun benteng pertamanya di Bengkulu yang dinamai York pada 1701. Selain berfungsi sebagai sarana pertahanan, Benteng York juga digunakan sebagai kantor dagang EIC.
“Mereka datang untuk monopoli perdagangan lada, seraya memperkuat pertahanan dan keamanan dalam rangka persaingan dan tantangan dari serikat dagang lain, terutama VOC,” terang A.B Lapian dan Soewadji Sjafei dalam Sejarah Sosial Daerah Kota Bengkulu (1984, 71).
Benteng York menjadi saksi satu peristiwa pembunuhan Pangeran Natadirja dari Kerajaan Silebar (dulunya disebut Jenggalu) pada 1710.
“Inggris mengundang Pangeran Jenggalu ke Benteng York. Sesampainya di benteng pangeran ditangkap dan dibunuh, sedangkan saudaranya ditahan,” tulis Achmanuddin Dalip dkk. dalam Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu (1984, hlm. 21).
Tujuan Inggris menyingkirkan Pangeran Natadirja adalah untuk memperlancar ambisinya di Bengkulu. Kala itu, EIC menganggap Kerajaan Silebar dan Pangeran Natadirja sebagai penghalang. Peristiwa ini kemudian menjadi salah satu latar belakang perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Bengkulu di kemudian hari.
Benteng Marlborough
EIC menggunakan Benteng York dalam jangka waktu yang tidak lama. Gara-garanya adalah kondisi lingkungan sekitar benteng yang mereka anggap sudah tidak layak.
“Karena lingkungan benteng yang tidak sehat, maka benteng tersebut ditinggalkan oleh Inggris. Kemudian dibangun benteng baru yang berjarak 2 mil dari Benteng York,” tulis Aryandini Novita dan Darmansyah dalam “Perkembangan Arsitektur Kota Bengkulu Masa Kolonial” yang terbit dalam Berita Penelitian Arkeologi (No. 10, 2004).
Benteng baru itu kemudian diberi nama Marlborough. Pembangunannya sendiri dimulai pada 1714 di bawah arahan Joseph Callet. Benteng Marlborough dibangun di tepi pantai menghadap Samudera Hindia.
Djoko Marihandono dalam tulisannya “Perubahan Peran dan Fungsi Benteng dalam Tata Ruang Kota” yang terbit dalam jurnal Wacana (Vol. 10, 2008) menyebut bahwa EIC punya dua pertimbangan dalam memilih lokasi benteng itu.
Pertama, benteng baru mesti dibangun di lokasi yang memudahkan kapal-kapal untuk merapat. Sebelumnya di Benteng York, kapal semakin sulit merapat ke dermaga karena kondisi sungai yang ada di dekatnya mengalami pengendapan lumpur.
Kedua, titik lokasinya mesti strategis. Benteng Marlborough dibangun di dataran yang lebih tinggi daripada daerah sekitarnya untuk alasan ini. Lokasinya yang tinggi amat memudahkan untuk memantau daerah sekitarnya.
Benteng Marlborough dibangun dengan batu karang dan di sekelilingnya dibangun parit sebagai sarana pertahanan benteng. Antara parit dan benteng dihubungkan dengan tiga jembatan untuk memperlancar lalu lintas keluar dan masuk. Apabila ada kondisi mendesak, jembatan-jembatan ini dapat diangkat agar musuh tidak dapat memasuki wilayah benteng.
“Arah pertahanan utama benteng ini adalah menghadap ke laut, dengan asumsi bahwa musuh utama akan datang dari laut dengan armadanya. Ini berarti bahwa para perancang benteng tersebut menduga bahwa lawan utama mereka adalah kekuatan yang memiliki armada laut besar, yakni VOC atau armada Prancis dari India,” tulis Djoko Marihandono.
Pembangunan Benteng Marlborough baru dapat diselesaikan pada 1719. Lamanya durasi pembangunan benteng disebabkan oleh adanya konflik yang terjadi antara EIC dan rakyat Bengkulu. Konflik ini sempat membuat orang-orang Inggris meninggalkan Bengkulu menuju utara. Alhasil, pembangunan Benteng Marlborough sempat terlantar.
“Mendengar orang-orang Inggris meninggalkan Bengkulu, orang-orang Belanda mengirimkan wakilnya menemui penguasa Kerajaan Silebar. Kedatangan wakil orang-orang Belanda menimbulkan kekhawatiran hingga akhirnya orang-orang Inggris kembali dipanggil ke Bengkulu dengan syarat bersedia melindungi mereka dari orang-orang Belanda,” jelas Djoko Marihandono, Harto Juwono, dan Triana Wulandari dalam Sejarah Benteng Inggris di Indonesia (2010, hlm. 197).
Setelah kembali, EIC lantas melanjutkan pembangunan Benteng Marlborough hingga selesai. Benteng Marlborough lebih luas dan lebih besar daripada Benteng York. Di dalamnya, juga dibangun pemukiman bagi orang-orang Inggris.
Jika dilihat dari atas, denah benteng ini menyerupai siluet kura-kura dengan empat bastion di sisi-sisinya. Sebagai basis pertahanan, benteng ini punya persenjataan lengkap berikut dengan gudang amunisi. Selama abad ke-18, benteng ini pun terus mengalami penguatan.
Namun, nilai strategis militer Benteng Marlborough memudar begitu memasuki abad ke-19. Pasalnya, EIC mulai mengalihkan pusat kemiliterannya untuk Asia Tenggara ke Penang dan kemudian hanya menjadikan benteng ini sebagai gudang komoditas.
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi