Menuju konten utama

Beda Sikap Polisi Terhadap Deklarasi Mendukung dan Menentang Jokowi

Data menunjukkan kalau memang aparat lebih sering melarang acara #2019GantiPresiden ketimbang #2019TetapJokowi.

Beda Sikap Polisi Terhadap Deklarasi Mendukung dan Menentang Jokowi
Sejumlah pemuda yang tergabung dalam Barisan Muda Surabaya membentangkan spanduk saat aksi di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (29/4/2018). ANTARA FOTO/Zabur Karuru

tirto.id - Pelarangan gerakan #2019GantiPresiden di sejumlah daerah memunculkan anggapan kalau aparat penegak hukum berlaku tidak netral. Anggapan itu lahir karena kegiatan tersebut kerap dilarang dengan beragam alasan—umumnya demi menjaga keamanan dan ketertiban--, sementara gerakan bertajuk #2019TetapJokowi dan sejenisnya lancar-lancar saja.

Berdasarkan penelusuran tim riset Tirto, sepanjang Juli hingga Agustus 2018 sudah ada lima pelarangan maupun penolakan deklarasi #2019GantiPresiden. Ini terjadi di Kalimantan Barat, Pekanbaru, Batam, Surabaya dan Bandung.

Pada sisi lain, deklarasi #2019TetapJokowi relatif aman dari pelarangan atau penolakan. Pada April-Agustus 2018, sudah tiga kali deklarasi dukungan untuk Jokowi digelar di DKI Jakarta, Surabaya dan Medan. Kegiatan sejenis hanya sempat dilarang polisi di Batam.

Sikap polisi yang cenderung tidak melindungi kegiatan #2019GantiPresiden ditanggapi sinis kader Gerindra. Gerindra adalah partai politik pengusung Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno di Pemilu Presiden 2019.

Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Ferry Juliantono mengkritik sikap aparat. Menurutnya gerakan ini harusnya dijamin pelaksanaannya karena dijamin konstitusi.

"Semua hak politik itu dijamin oleh konstitusi," kata Ferry dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Senin (27/8/2018).

Ferry tak sepenuhnya menyalahkan aparat yang ada di lapangan. Ia menuding sikap tersebut muncul lantaran mereka hanya menjalankan tugas yang diberikan atasan. Ia yakin bahwa sebenarnya ada penegak hukum yang sependapat dengan gerakan #2019GantiPresiden, meski tentu saja tak bisa mengekspresikan kecenderungan politiknya secara terbuka.

"Polisi, para penegak hukum, hanya menjalankan tugas. Di dalam hatinya mereka juga ada yang setuju dan bersimpati pada gerakan ini," tuturnya.

Pelarangan Dianggap Wajar

Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menganggap pelarangan deklarasi #2019GantiPresiden di sejumlah daerah sebagai hal lumrah. Beda dengan Ferry, Hasto menilai gerakan tersebut tidak sesuai konstitusi karena bertujuan mengganti presiden di luar jalur yang diperbolehkan: lewat pemilu.

"Kalau terlalu awal meminta ganti presiden itu tindakan yang inkonstitusional. Untung presidennya Pak Jokowi, kalau dulu mungkin sudah dibentuk Tim Mawar untuk mengeksekusi," tutur Hasto di kawasan Menteng, Jakarta.

Politikus kelahiran DIY itu membela sikap polisi dengan menyebut kalau mereka tidak mempersulit kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Menurutnya, polisi hanya berupaya mencegah terjadinya konflik di masyarakat, dan itulah yang harus diutamakan.

"Pendukung dari Jokowi atau Prabowo bebas berekspresi, tapi dalam ruang lingkup aturan main [...] Sangat tepat [langkah polisi melarang gerakan ganti presiden]," katanya.

Infografik CI 2019 Ganti presiden

#2019GantiPresiden Sama Dengan #2019TetapJokowi

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menganggap kegiatan yang membawa nama #2019GantiPresiden atau #2019TetapJokowi bukan kampanye, sehingga tak bisa dilarang. Masa kampanye dimulai pada 23 September 2018 hingga 14 April 2019, setelah KPU RI menetapkan nomor urut capres-cawapres.

"Kampanye itu metodenya beberapa. Yang terkait pengumpulan massa adalah rapat umum. Rapat kampanye pada umumnya memaparkan visi, misi, dan program peserta pemilu," ujar Komisioner KPU Wahyu Setiawan di kantornya, hari ini (27/8/2018).

Sebaliknya, alih-alih dihindari, menurutnya gerakan ini lebih baik diterima saja. Menurutnya sangat wajar perbedaan pandangan terjadi jelang pemilu dan itu baik sebagai pendidikan politik buat masyarakat.

"Hanya saja ekspresi politik yang memang dilindungi oleh konstitusi juga harus mengikuti prosedur berlaku. Misalnya, untuk melakukan kegiatan tentu saja harus izin kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini Polri," kata Wahyu.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto menanggapi kritikan ini, khususnya dalam kasus pelarangan di Surabaya kemarin (26/8/2019). Ia mengatakan apa yang dilakukan polisi telah tepat menurut hukum yang ada, yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Ia tidak menyangkal tindakan polisi juga berdasarkan masukan dari masyarakat. Namun, Setyo menegaskan kalau pertimbangan terakhir tetap di tangan mereka dengan lagi-lagi bersandar pada aturan yang ada.

"Banyak gelombang penolakan deklarasi tersebut yang dapat mengakibatkan konflik yang merupakan gangguan terhadap ketertiban umum dan memecah persatuan dan kesatuan bangsa," kata Setyo dalam keterangan tertulisnya, kemarin.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino