Menuju konten utama

Bisakah Gerakan #2019GantiPresiden Dicap Makar?

Gerakan ini tidak menggunakan kekerasan untuk menyerang pemerintahan yang sah.

Bisakah Gerakan #2019GantiPresiden Dicap Makar?
Massa pendukung tanda pagar #2019GantiPresiden membentangkan spanduk raksasa saat deklarasi akbar gerakan #2019GantiPresiden di kawasan Silang Monas, Jakarta, Minggu (6/5/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Ahmad Aminuddin, koordinator Koalisi Elemen Bela NKRI, mengatakan gerakan #2019GantiPresiden tidak lain "upaya makar". Hal ini diungkapkan Ahmad di Surabaya, Minggu (26/8/2018) kemarin.

Bersama kelompoknya, Ahmad mendemo Ahmad Dhani di luar Hotel Majapahit, Surabaya, sedari pagi. Dhani rencananya mendeklarasikan gerakan #2019GantiPresiden, seperti yang pernah dia lakukan beberapa kali di berbagai kota.

Acara deklarasi itu akhirnya batal selain karena Dhani tak bisa keluar hotel, juga disebabkan massa yang hendak berdeklarasi dan berkumpul di sekitar Tugu Pahlawan, Surabaya, dibubarkan polisi dengan alasan tak mengantongi izin.

Tudingan yang sama diutarakan Mochtar Pabottingi, bekas peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bidang perkembangan politik nasional. Lewat Twitter ia mengatakan #2019GantiPresiden termasuk makar karena "memaksakan digantikannya seorang presiden di luar proses demokrasi sebagaimana mestinya".

Ia juga menyebut gerakan ini "konyol dan pandir sekaligus" serta merupakan "wacana politik terburuk sepanjang kemerdekaan."

Kata "makar" sebetulnya bukan istilah baru dalam politik Indonesia terkini. Dua tahun lalu, beberapa tokoh di balik gerakan #2019GantiPresiden juga dituduh makar menjelang aksi bela Islam III, salah satunya Ahmad Dhani.

Akan tetapi, apakah memang istilah makar ini tepat dilekatkan kepada gerakan #2019GantiPresiden?

Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, menyebut stempel makar tidak tepat sama sekali dilekatkan pada kelompok #2019GantiPresiden.

Menurut Arsil, pelabelan ini merupakan bentuk salah kaprah yang kerap muncul karena ketidakpahaman seseorang terhadap etimologi atau asal-usul kata makar.

Makar, dalam KUHP Indonesia yang cikal-bakalnya berbahasa Belanda, sebenarnya disebut dengan istilah "anslaag" yang berarti serangan atau violence attack. Arsil mengaku tak tahu persis sejak kapan kata "makar"—yang diserap dari bahasa Arab itu—menggantikan "anslaag" dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makar memiliki tiga pengertian: (1) tipu muslihat; (2) dengan maksud membunuh atau menyerang; (3) menggulingkan pemerintah.

"Yang kedua dan ketiga itu praktik dari penerapan pasal-pasal di KUHP," kata Arsil kepada Tirto.

Dalam KUHP, terdapat banyak jenis makar dan tersebar di beberapa pasal yang semuanya sangat lentur alias multitafsir.

Pasal-pasal yang menyebut pidana makar antara lain, "Pasal 104 KUHP tentang makar keselamatan presiden dan wakil presiden, Pasal 106 KUHP makar wilayah negara, Pasal 107 KUHP makar terhadap pemerintahan, Pasal 139a KUHP makar terhadap wilayah negara sahabat, dan Pasal 139b KUHP makar pemerintahan sahabat."

Benang merah dari beberapa pengertian di pasal-pasal itu adalah: penggunaan kekerasan. Tak bisa suatu gerakan, sekeras apa pun kritiknya kepada pemerintahan yang sah, disebut makar selama mereka tidak menggunakan kekerasan.

"Gerakan #2019GantiPresiden tidak bisa dikategorikan sebagai makar," kata Arsil.

Makar beda dengan kudeta (dari bahasa Perancis, coup d'État), meski mengandung beberapa pengertian yang sama. Kudeta, menurutnya, merupakan istilah politik yang tidak dipakai dalam hukum dan tidak mesti menggunakan kekerasan fisik.

"Bahasa hukum ini kaku, enggak boleh karet. Jadi yang dimaksud dengan kudeta apa? Yang jelas praktik konkretnya itu kalau makar harus dalam bentuk serangan," jelasnya.

Dalam wawancara dengan Tirto pada kesempatan lain, Arsil memberikan ilustrasi begini: disebut makar jika ada ribuan orang digerakkan untuk menyerbu Istana, bisa menggunakan senjata, bisa juga tidak. Namun tak bisa disebut makar kelompok orang yang ingin pemerintahan diganti—meski tidak lewat pemilu—dengan cara, misalnya, mendemo Istana setiap hari.

Pun tak bisa disebut makar kelompok demonstran yang ingin memerdekakan diri dari Indonesia, misalnya orang-orang Papua, meski mereka membawa bendera Bintang Kejora sekali pun.

"Makar itu serangan. Demonstrasi bukan [makar]," tegasnya.

Infografik CI Gerombolan #2019GantiPresiden

Pendapat serupa juga disampaikan pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainul Arifin Mochtar. Ia mengatakan, gerakan #2019GantiPresiden tak memenuhi kualifikasi jika hendak digolongkan ke dalam gerakan makar.

Selain tidak adanya tindak kekerasan, kelompok ini juga tidak membahayakan stabilitas nasional.

Lantaran pidana makar dikategorikan ke dalam kejahatan terhadap keamanan negara, tutur Zainul, rumusan delik ini adalah "penggantian pemerintahan dengan cara yang tidak sah, yang tidak berdasarkan saluran yang ditetapkan dalam Undang-undang." Sementara yang terlihat sejauh ini, gerakan #2019GantiPresiden tak lebih sebagai kampanye agar masyarakat memilih presiden yang berbeda dari yang sekarang—meski mereka tidak eksplisit menyebut Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, lawan Jokowi yang petahana—dalam pemilu mendatang.

"Karena dalam makar itu ada penggunaan excessive power, kekuatan yang dipaksakan. Kalau #2019GantiPresiden ini menurut saya tidak sampai sana," tuturnya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Politik
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino