tirto.id - Pasal makar kembali dipakai untuk mengamankan kekuasaan pemerintah. Pasal tersebut di era Presiden ke-2 RI Soeharto justru sangat jarang digunakan. Sebab rezim Orde Baru tersebut lebih cekatan dengan menggunakan Undang-undang Subversif.
Namun, di era pasca-reformasi, pasal makar menjadi pasal karet dengan tafsir tak terbatas yang bisa begitu liar digunakan. Arsil, Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), menilai sejauh ini pemerintahan dari Megawati Soekarnoputri hingga Presiden Jokowi tetap memanfaatkan pasal makar.
Arsil menguraikan bagaimana pasal makar menggunakan definisi yang salah tapi dipaksakan masuk Kitab Hukum Undang-undang Pidana (KUHP). Kemudian dengan mudah pasal tersebut dimanfaatkan menjaga kekuatan politik. Menurut Arsil, istilah makar dalam pasal-pasal di KUHP Indonesia memendam masalah. Kata makar dipaksakan menjadi arti dari istilah Belanda "anslaag". Padahal kata makar sendiri merupakan istilah serapan dari bahasa Arab.
Hingga kini ada berbagai jenis makar yang tersebar di KUHP. Beberapa di antaranya Pasal 104 KUHP tentang makar keselamatan presiden dan wakil presiden, Pasal 106 KUHP makar wilayah negara, Pasal 107 KUHP makar pemerintahan, Pasal 139a makar wilayah negara sahabat, Pasal 139b makar pemerintahan sahabat, Pasal 140 makar raja atau kepala negara sahabat.
“Istilah makar itu harus diganti dengan 'serangan'. Bisa 'serangan berat', 'serangan bersenjata'. Kata dasarnya harus 'serangan', entah itu berat atau ringan. Harus dengan unsur serangan untuk melawan presiden dan menggulingkan pemerintah,” ungkapnya. Ini penting agar bisa dibedakan dengan sekadar mengkritik pemerintah, sekeras apa pun kritik itu.
Berikut perbincangan reporter Tirto, Dieqy Hasbi Widhana dengan Arsil.
Bagaimana pasal makar yang diambil dari kata "Anslaag" (bahasa Belanda) bisa disalahgunakan sampai sekarang?
Istilah "makar" digunakan dengan salah kaprah. Itu berasal dari bahasa Arab dan kita tidak mengenal istilah itu sehari-hari. Makar itu kemudian menjadi salah satu unsur dari pasal KUHP. Ada beberapa pasal di KUHP yang menggunakan istilah makar.
Makar itu sendiri apa? Kita harus kembali ke KUHP bahasa Belanda. Jadi (istilah) makar ini (muncul untuk) menggantikan (kata) apa sih? Makar itu sebenarnya menggantikan "anslaag". Makar di dalam KBBI (termutakhir) itu ada tiga arti. Satu itu artinya tipu muslihat. Kedua, dengan maksud membunuh atau menyerang. Ketiga, menggulingkan pemerintah. Nah, arti kedua dan ketiga itu sebenarnya didapat dari praktik, penerapan pasal-pasal yang di KUHP. Jadi bukan arti yang sebenarnya.
Sekarang kita mengenal makar itu seakan-akan upaya menggulingkan pemerintah. Padahal bukan itu, kita harus kembali ke istilah aslinya yaitu "anslaag" yang artinya serangan atau violence attack.
Ketika orang menggunakan istilah makar, itu sebenarnya yang di kepalanya adalah kudeta. Jadi sebaiknya gunakan istilah kudeta saja dibanding makar. Lebih baik kudeta.
Sekarang makar itu, kan, diartikan upaya menggulingkan pemerintah. Nah, sementara pasal yang dirujuk, yaitu pasal 107, bunyinya: makar dengan maksud menggulingkan pemerintah yang sah. Jadi ketika makar diartikan sebagai menggulingkan pemerintah, menjadi redundant bunyinya. Upaya penggulingan pemerintah dengan maksud menggulingkan pemerintah. Menjadi tidak jelas bentuk perbuatan yang dilarang akan seperti apa.
Kalau dibalikkan ke (istilah) aslinya, maka bentuknya harus serangan, tidak bisa sekadar rencana. Misalnya kita duduk-duduk terus bilang: 'Wah kita mesti jatuhkan pemerintah, nih. Gimana caranya? Misalnya, dengan cara demo setiap hari di depan istana.' Apakah yang seperti itu bisa dipidana? Ya enggak, kalau kita mengartikan ke istilah aslinya bahwa makar itu serangan. Demonstrasi itu bukan serangan.
Itu masalahnya karena salah penafsiran "aanslag"? Dulu menafsirkan "anslaag" dalam bahasa Indonesia menjadi makar mengacu pada apa?
Istilah makar menggantikan "anslaag" itu terjadi mulai 1920. Itu diambil dari Balai Pustaka. Kita enggak tahu apakah arti makar dulu pada tahun segitu memang setara dengan "anslaag" atau tidak. Tapi sekarang sudah tidak setara. Seharusnya istilah (anslaag) dikembalikan lagi menjadi serangan. Melakukan penyerangan.
Jadi untuk bisa dipidana karena kudeta, harus ada suatu bentuk serangan (ini baru sesuai dengan makna "aanslag"). Kemudian kita bisa berdebat soal bentuk serangan itu harus seperti apa. Apakah memakai senjata, melakukan penyerbuan segerombolan orang.
Apakah syarat terpenuhinya tuduhan penggulingan pemerintahan itu berupa pemakaian senjata?
Intinya adalah bisa dengan atau tanpa senjata, tapi harus ada paksaan, force. Kalau di KUHP Jerman, yang setara dengan pasal 107 KUHP itu setara dengan pasal 81 KUHP Jerman. KUHP Jerman memakai istilah force, kekuatan. Jadi untuk bisa dipidana dengan melakukan upaya penggulingan pemerintah harus ada kekuatan yang nyata, baik serangan memakai senjata maupun tidak. Begitu juga makar untuk membunuh, pasal 104 KUHP itu harus ada serangan. Tanpa serangan gak bisa.
Tapi apa yang dimaksud dengan menyiapkan massa berkekuatan nyata? Harus menggandeng militer agar bisa terpenuhi unsur perlawanan setara dengan pemerintah?
Bisa iya, bisa tidak. Misal gini ilustrasinya, ada ribuan orang digerakkan untuk menyerbu Istana Presiden. Maka itu suatu bentuk kekuatan, suatu bentuk ancaman yang nyata kepada presiden. Misalnya, untuk memaksa turun atau melakukan sesuatu. Intinya ada kekuatan yang besar untuk membuat kekacauan. Sehingga memaksa pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Jadi gak harus memakai senjata.
Bagaimana pola penerapan pasal makar untuk melindungi kekuasaan pemerintahan selama ini?
Banyak penerapan yang salah karena memakai istilah makar di kasus kelompok-kelompok separatis. Banyak orang yang ditangkap. Contoh yang kemarin (1 Desember), orang Papua demo minta kemerdekaan, yang mereka lakukan adalah demonstrasi bawa bendera, apakah itu serangan? Bukan, itu demonstrasi. Orang-orang Papua terlepas memiliki kehendak untuk melepaskan diri dari Indonesia, ketika yang mereka lakukan hanya upacara memperingati hari kemerdekaan mereka, mengibarkan bendera bintang kejora ditangkap. Apakah itu bentuk serangan? Enggak.
Lantas bagaimana seharusnya memisahkan upaya menyampaikan pendapat atau berekspresi, dengan upaya melakukan serangan atau "aanslag"?
Harus ada serangan. Kan kita tahu, ketika tujuan dari demo itu untuk membuat kerusuhan, dengan demo sekedar demo. Kan kita tahu yang mana kemudian jahat dan yang tidak. Mana yang untuk kebebasan berekspresi, mana yang untuk lebih dari itu.
Tujuan dari demonstrasi dan rencana demonstrasi untuk rusuh, itu bukan demonstrasi. Kalau dalam demonstrasi timbul kerusuhan karena bentrok, itu lain soal. Tapi kalau bentrok itu sudah direncanakan, maka itu bisa ditafsirkan sebagai bentuk serangan. Karena sudah direncanakan dan bukan lagi demonstrasi.
Jika mengambil contoh penggunaan pasal makar di pemerintahan Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jokowi, bagaimana mereka menggunakan pasal karet yang salah istilah ini?
Menurut saya ketiganya sama. Kalau penggunaan pasal makar, Soeharto sangat sedikit. Kenapa begitu, karena dulu punya undang-undang Subversif. Nah undang-undang Subversif itu rumusannya sangat lentur. Upaya untuk merongrong dan segala macam. Kemudian unsur merongrong menjadi sangat luas, jadi tidak harus berupa serangan, lebih luas dibanding pasal-pasal di KUHP. Sehingga orang rapat-rapat, pertemuan saja bisa ditangkap. Itu yang digunakan Orde Baru.
Kemudian pasca 1999 undang-undang Subversif itu dicabut. Akhirnya kita kembali ke KUHP. Tapi penerapan pasal-pasal makar ini (dilakukan dengan kelenturan) seperti penerapan undang-undang Subversif. Kenapa itu terjadi di semua rezim pemerintahan, ya karena istilah makar itu sendiri. Menjadi tidak jelas apa sih yang dimaksud makar.
Tanya saja dengan ahli pidana, apa yang dimaksud makar. Pasti sebagian akan bilang, makar itu penggulingan pemerintah. Sebagian lagi akan bilang makar itu upaya penggulingan pemerintah. Sangat jarang pakar pidana kita mengartikan makar itu sebagai serangan.
Di era SBY banyak orang Papua yang ditangkapi karena pengibaran bendera Bintang Kejora, karena merayakan hari kemerdekaan mereka. Apakah itu suatu ancaman yang sedemikian serius sehingga perlu dipidana? Enggak. Saya tulis di blog saya, tulisan pertama soal makar justru soal kasus-kasus di Papua, Maluku Selatan. Itu yang ditangkap adalah orang-orang yang sekadar melakukan upacara pengibaran bendera.
Kalau kita kembali ke hakikat pasal-pasal keamanan negara dalam rumusan asli bahasa Belanda, kemudian kita terjemahkan ke bahasa Indonesia, perbuatan-perbuatan itu tidak cukup untuk bisa dikatakan sebagai sebuah serangan. Sehingga tidak mempunyai unsur pasal 104, 106, 107.
Jadi ini terlepas dari rezim pemerintahan yang ada. Kesalahan-kesalahan itu terjadi bukan sekadar karena pemerintah itu represif, tapi karena kesalahan dalam memaknai atau mengartikan "anslaag".
Apa seharusnya DPR menghapus seluruh pasal makar atau mengubah definisinya agar jelas batasan-batasan perlakuan yang bisa dikenakan pasal makar?
Istilah makar itu harus diganti dengan "serangan". Bisa serangan berat, serangan bersenjata. Kata dasarnya harus "serangan", entah itu berat atau ringan. Harus dengan unsur serangan untuk melawan Presiden dan menggulingkan pemerintah. Jadi pasal-pasalnya tetap sama karena itu ada di negara manapun. Tapi unsur maknanya diganti dengan istilah yang lebih pas dengan "anslaag".
Sejauh ini, pada saat seperti apa pemerintah menggunakan pasal ini? Di saat terancam, takut gaduh atau kekuasaannya takut dikeroposi?
Sekarang enggak. Kalau di Jakarta, iya. Tapi coba lihat hari Kamis kemarin, orang-orang Papua ditangkapi. Karena menuntut kemerdekaan. Nah sehari setelah itu, entah ada berapa ratus ribu massa demo juga tapi enggak diapa-apain. Orang demo dengan membawa bendera Slank enggak diapa-apain, padahal enggak ada bedanya bendera Slank dengan bendera Bintang Kejora. Yang beda adalah ketika kehendak itu dilakukan dengan cara-cara kekerasan.
Apa yang terjadi jika istilah "anslaag" menjadi makar tak segera diubah? Persitiwa diskriminatif dan kekerasan HAM apa yang akan terus berulang?
Ketika pasal ini tidak diluruskan akan bisa ditafsirkan macam-macam. Yang paling kena dampaknya bukan orang Jakarta. Ini akan lebih banyak dikenakan kelompok-kelompok di Papua dan Maluku yang pada akhirnya justru membuat gerakan itu semakin besar.
Pasalnya makar sebenarnya tidak melanggar, di negara manapun ada pasal itu. Karena tidak mungkin ada negara yang ingin dikudeta. Belanda juga menggunakan hal itu tapi dengan istilah "anslaag". Yang jadi masalah kata "serangan" yang lebih dekat dengan "anslaag" diganti dengan makar, jadinya tidak jelas (multitafsir atau pasal karet). Jadi sangat lentur, sangat. Kalau hukum pidana tidak boleh diartikan sangat lentur, tidak boleh dua arti, harus penafsiran tunggal.
Menjadi masalah ketika kita menerjemahkan pasal (anslaag) itu ke bahasa Indonesia. Pemerintah tidak pernah mengeluarkan terjemahan resmi untuk KUHP. Istilah makar harus dibuang. Kalaupun dipakai, diperuntukkan sebagai bentuk penggulingkan pemerintah dengan kekerasan.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Zen RS