tirto.id - Dua wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunjukkan sikap berbeda terhadap Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan larangan menghina presiden tidak perlu masuk dalam RKUHP karena itu adalah bentuk penyakralan presiden. Selain itu, menurut politisi pendiri Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, presiden adalah objek kritik.
"Enggak perlu dimasukkan lagi, manusia itu bukan simbol negara. Simbol negara itu burung garuda, bendera merah putih itu yang enggak boleh dihina," ujar Fahri kepada Tirto di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (2/2).
Sedangkan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menyetujui keberadaan pasal-pasal tersebut. Menurutnya, presiden dan lembaga kepresidenan perlu dijaga martabatnya. Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu setuju dengan keberadaan pasal 264 dalam RKUHP yang mengatur sanksi penjara 5 tahun bagi orang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan sarana teknologi informasi.
"Prinsipnya presiden itu kan adalah figur. Struktur lembaga kepresidenan yang sama-sama harus kita hormati. Presiden itu hasil dari mandatory rakyat hasil pemilihan," ujar Taufik.
Lèse-majesté dan Haatzaai Artikelen
Pangkal perbedaan itu adalah ketentuan dalam RKUHP yang menetapkan sanksi pidana bagi mereka yang menghina presiden. Pasal 262 RKUHP menyebutkan setiap orang yang menyerang diri presiden atau wakil presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Sementara itu, Pasal 263 ayat 1 RKUHP berbunyi, “Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Ketentuan tersebut dikenal juga dengan istilah Lèse-majesté yang lazim digunakan di Eropa untuk merujuk perkara penghina kepala negara, raja atau orang yang berkuasa lainnya.
Selain pasal-pasal Lèse-majesté, RKUHP juga menetapkan sanksi pidana bagi mereka yang menghina pemerintah. Pasal 284 RKUHP berbunyi, “Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama (3) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Sedangkan Pasal 285 menyebutkan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV menanti setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan, gambar atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah.
Karena semangat yang merasuk dalam RKUHP pasal 284 dan 285 adalah larangan untuk menghina pemerintah, pasal-pasal itu pun disebut juga haatzaai artikelen.Haatzaai merupakan kata dalam bahasa Belanda yang berarti kebencian. Sedangkan artikelen berarti pasal.
Sebenarnya, isi pasal-pasal tersebut bukan lagi barang baru dalam ranah hukum di Indonesia. Dulu, Lèse-majesté diatur dalam KUHP pasal 134, 136 bis, dan 135. Sedangkan haatzaai artikelen diatur dalam KUHP pasal 154 dan 155.
Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal-pasal tersebut inkonstitusional lewat putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dan putusan MK No. 6/PUU-V/2007. Alasan MK: pasal itu bertentangan dengan hak kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan berekspresi warga negara.
Namun, pada 2015 pemerintah Indonesia mencoba menghidupkan kembali pasal-pasal tersebut dengan mengajukannya kepada DPR untuk membahasnya dalam RKUHP. Berawal dari pengajuan inilah polemik pasal penghinaan presiden dan pemerintah saat ini terjadi.
Cara Otoritas Kolonial Hindia Belanda Bungkam Suara Pribumi
KUHP merupakan himpunan hukum yang mengatur perbuatan pidana secara materiil di Indonesia. Menurut peneliti hukum dari Universitas Indonesia Heru Susetyo, pasal-pasal KUHP yang berlaku saat ini dirujuk langsung dari kitab hukum pidana kolonial Hindia Belanda Wetboek van Straftrecthvoor Nederlandsch India (WvS).
Pasal Lèse-majesté dan haatzai artikelen yang sempat termaktub dalam KUHP dan masuk dalam RKUHP itu pun merupakan sejumlah pasal yang diadopsi dari WvS.
Ruth T. McVey , dalam Kemunculan Komunisme di Indonesia (2010), mencatat, WvS pasal 155 mengatur sanksi pidana bagi mereka yang menyebarkan, “Tulisan atau gambar yang membangkitkan atau mendorong perasaan, benci, atau jijik terhadap Pemerintah Belanda maupun Hindia Belanda.” Sementara itu, WvS pasal 156 menyebutkan larangan untuk, “Dengan sengaja membangkitkan atau mendorong perasaan marah, benci, atau jijik terhadap kelompok penduduk Hindia Belanda.” (hlm. 495)
Jika dibandingkan, sesungguhnya semangat yang diemban haatzai artikelen baik dalam WvS dan KUHP serupa. Mereka hanya berbeda dalam ranah otoritas mana yang sedang berkuasa. WvS melindungi pemerintah Belanda dan Hindia Belanda, sedangkan KUHP melindungi pemerintah Indonesia.
Nyatanya, haatzaai artikelen ada untuk membungkam aktivitas politik pribumi. Makalah berjudul “Silenced Voices, Muted Expressions: Indonesian Literature Today” yang disusun pendiri Yayasan Lontar, John H. McGlynn, mencatat pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan pasal-pasal tersebut dengan dalih menjaga aktivis dan politisi supaya tidak "menabur kebencian" di antara penduduk pribumi.
Namun, menurut McGlynn, haatzai artikelen digunakan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk kepentingan yang lebih luas: tidak hanya untuk membenarkan pengawasan terhadap kegiatan politik, tetapi juga untuk memantau dan mengendalikan hampir semua kehidupan intelektual di wilayah penjajah.
“Dengan adanya pasal tersebut, apapun bisa dicetak atau diterbitkan, namun pihak berwenang berhak menuntut, memenjarakan, mengasingkan, dan bahkan mengeksekusi orang yang terkait dengan publikasi yang dianggap berbahaya bagi ketertiban umum,” sebut McGlynn.
David T. Hill dalam The Press in New Order Indonesia mencatat antara 1931 hingga 1936 setidaknya 27 suratkabar takluk pada tindakan pemerintah, termasuk penahanan wartawan (hlm. 26). Sementara itu, McVey mengatakan haatzaai artikelen membatasi kebebasan berbicara dan pers (hlm.456).
“Aturan tersebut banyak ditentang oleh oposisi Indonesia, terutama aturan kedua, yang tidak berlaku pada para jurnalis Belanda di Hindia, walaupun pemerintah sendiri mengeluhan cara kasar yang cenderung digunakan pers berbahasa Belanda untuk mengancam penduduk Pribumi,” sebut McVey (hlm. 498-499).
Pegiat Yayasan Geni Salatiga Otto Adi Yulianto menyebutkan pernah ada usaha untuk memasukkan pasal-pasal haatzaai artikelen dalam WvS ketika dilakukan pembaharuan terhadap KUHP tersebut sekitar tahun 1918. Namun, menurut artikel Otto yang dimuat Suara Merdeka (18 Oktober 1994) dan diarsipkan Library Ohio itu, pasal-pasal ini jarang digunakan dan kemudian dicabut, tetapi tetap digunakan di negara jajahannya, Hindia Belanda.
Jalan Pedang Setelah Merdeka
“Ketika Indonesia merdeka, haatzaai artikelen itu hanya diformulasikan kembali dalam kedok Indonesia, dan tradisi sensor represif terus berlanjut,” sebut McGlynn.
Dalam artikel serupa, McGlynn menyebutkan pemerintah Soeharto memenjarakan lawan politik, kritikus, mahasiswa, dan pembela hak asasi manusia dengan menggunakan pasal haatzaai artikelen.
Namun, tidak lama setelah Suharto lengser pada 1998, banyaknya perkara terkait haatzaai artikelen sempat mengalamai penurunan. Pada 2006. Guru Besar Mardjono Reksodipuro, dalam keterangan yang dia berikan di sidang pleno pengujian pasal 134 dan 136 bis, mengatakan Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak pernah menerapkan haatzaai artikelen.
Fenomena tersebut juga dicatat Human Rights Watch (HRW) dalam laporan berjudul A Return to The New Order? (2003). HRW menyebutkan Habibie dan Gus Dur mengambil pendekatan laissez-faire terhadap kebebasan berekspresi, berasosiasi, dan berkumpul.
“Keduanya mengambil langkah konkret untuk mengatasi pelanggaran di masa lalu. Menjelang akhir masa jabatan Wahid, kebanyakan tahanan politik, yang dipidana di era Soeharto, telah dibebaskan. Yang lebih penting bagi masa depan Indonesia, era uji coba bermotif politik di Indonesia nampaknya telah berakhir,” sebut HRW.
Namun, HRW mencatat perkara terkait pasal haatzaai artikelen juga lese majeste meningkat lagi sejak kuasa presiden Indonesia dipegang Megawati hingga dimatikan MK pada 2006 dan 2007. Pada 2002, Faisal Saifuddin, Ketua SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh) cabang Jakarta dituduh menebarkan kebencian terhadap pemerintah Indonesia dan telah memenuhi KUHP pasal 154, 155, dan 64.
Menurut dakwaan jaksa, tuduhan itu berlaku karena Faisal memimpin demonstrasi di depan kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jakarta pada 9 November 2000 dan juga berpartisipasi dalam demonstrasi lanjutan pada 13 November 2000.
Saat itu massa aksi menyebarkan selebaran yang ditandatangani Faisal. Selebaran tersebut menyebutkan "pemerintah neo-kolonial Indonesa" terlibat kejahatan kemanusiaan dan "menekan hak-hak dasar dan martabat rakyat Aceh". Alhasil, Faisal dihukum penjara selama 1 tahun.
Pada 2003, tuduhan terkait haatzaai artikelen juga jatuh kepada Muhammad Nazar karena mengantungkan spanduk yang berisi tuntutan referendum kemerdekaan Aceh di Banda Aceh.
Supratman, redaktur Harian Rakyat Merdeka pada 2003 silam. Supratman dijerat dengan Pasal 137 Ayat (1) KUHP tentang perbuatan menyiarkan tulisan atau lukisan yang menghina Presiden atau Wakil Presiden. Sedangkan Monang Johannes Tambunan, seorang mahasiswa, pernah didakwa dengan KUHP pasal 134 di era Susilo Bambang Yudhoyono.
Ditinjau dari cara pasal penghinaan presiden dan pemerintah, ia dibuat oleh Belanda, lalu Indonesia mengadopsinya. Ia menjadi sarana ampuh untuk menjatuhkan lawan politik rezim yang berkuasa.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan