tirto.id - Mahkamah Konstitusi menolak gugatan perkara nomor 7/PUU-XXI/2023 terkait uji materi Pasal 218 dan 219 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang mengatur ancaman hukuman bagi setiap orang yang menyerang martabat presiden. Keputusan itu dinilai sudah tepat.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisaksi, Abdul Fickar Hadjar mengatakan aturan itu memang bertentangan secara yuridis. Namun, kata dia, belum bisa dibuktikan dampak sosiologis dari aturan tersebut karena belum berlaku.
"Penerapannya belum terbukti. Bahwa penerapan Undang-undang itu kemudian menimbulkan masalah dan masalah itu melanggar hak asasi dan melanggar konstitusi, itu, kan, belum bisa dibuktikan. Karena Undang-undangnya belum operasional," kata Abdul saat dihubungi Tirto, Rabu (1/3/2023).
Abdul mengatakan uji materi undang-undang itu bisa dilakukan terhadap aturan yang sudah berlaku, sehingga bisa dikritisi bagian mana yang dianggap bertentangan dengan masyarakat.
"Ada enggak prinsip-prinsip yang memang melanggar selain bertentangan secara hukum, tetapi juga terhadap sosiologis ada benturan-benturan, ada sesuatu yang kalau diterapkan ini [atutan] di dalam masyarakat akan menimbulkan kerugian bagi sekelompok masyarakat," terangnya.
Oleh karena itu, Abdul menilai agak sulit menggugat aturan yang belum berlaku. "Jadi, kalau belum berlaku sebagai aturan main dalam kehidupan sehari-hari memang agak sulit merumuskan itu tadi. Merumuskan ada pertentangan secara sosiologis," tukas Abdul.
Sejatinya, kata Abdul, hukum pidana mengatur tentang pelanggaran hak asasi manusia. Menurut Abdul, uji materi aturan yang belum diberlakukan dianggap sia-sia. Pasalnya, aspek sosiologis dari aturan tersebut belum berdampak.
Namun, Abdul mengatakan pemohon masih berpeluang menggugat kembali sejumlah pasal yang dinilai janggal itu bila UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP berlaku pada 2 Januari 2026.
"Ketika sudah berlaku artinya sudah berlaku dalam aturan masyarakat. Jadi, nanti pertentangan dengan institusi bisa didukung oleh alasan sosiologisnya. Kalau ini belum kelihatan," tuturnya.
Dalam keterangan Terpisah, Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir menilai keputusan MK itu sudah tepat. Dia menyatakan pasal yang diajukan pemohon belum berlaku.
"Kalau belum berlaku belum bisa dikatakan merugikan kepada pihak-pihak pemohon, sehingga dengan demikian dia tidak bisa diuji di Mahkamah Konstitusi," ucap Mudzakir kepada Tirto, Rabu.
Mudzakir menyatakan syarat uji materi di MK itu harus sudah terbukti secara hukum dalam penegakkannya. Artinya, kata dia, penerapan Undang-undang itu telah merugikan atau menderita kerugian terhadap pemohon.
"Syaratnya harus yang bersangkutan itu menderita karena dirugikan dari penegakan hukum Pasal 218 KUHP dan 219 KUHP," ungkap Mudzakir.
Di sisi lain, lanjut Mudzakir, bila pemohon tidak dirugikan, uji materi aturan itu tak bisa dilakukan. Sebab, pemohon tidak memiliki legal standing.
"Kalau toh setelah tiga tahun kemudian belum juga bisa karena disebabkan tak pernah menjadi korban dari tindak pidana Pasal 218 KUHP dan 219 KUHP tersebut atau tidak. Kalau tidak, dia [pemohon, red] tak punya legal standing," tutup Mudzakir.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Fahreza Rizky