tirto.id - Musim hujan telah tiba. Sejumlah daerah kembali dilanda banjir. Jauh dari masa lampau, tepatnya pada era klasik Hindu-Buddha di Nusantara, banjir sudah tercatat dalam sejumlah prasasti.
Seturut buku Prasasti dan Raja-Raja Nusantara (2015, hlm. 26), salah satu sebab dibuat atau dikeluarkannya prasasti memang berkaitan erat dengan bencana alam, termasuk banjir.
"Sebab-sebab prasasti dikeluarkan banyak alasannya, karena tanah dibeli raja atau pejabat tinggi kerajaan untuk pemeliharaan bangunan suci, [juga] karena bencana alam (banjir dan letusan gunung) yang mengakibatkan kerusakan lingkungan di sekitarnya," tulis penyusun buku tersebut.
Ada tiga prasasti yang isinya berkaitan dengan usaha pengendalian banjir, yakni Prasasti Tugu, Prasasti Sukabumi atau Harinjing, dan Prasasti Kamalagyan.
Prasasti Tugu
Sejauh ini catatan mengenai banjir yang paling tua tercatat dalam Prasasti Tugu yang berasal dari masa Kerajaan Tarumanagara. Prasasti ini terbuat dari batu andesit dengan tinggi 130 cm, diameter 80 cm, beraksara Pallawa, dan berbahasa Sanskerta.
Prasasti Tugu merupakan salah satu dari tujuh prasasti yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Purnawarman yang memerintah dari tahun 395 hingga 434 M. Selain Prasasti Tugu, enam prasasti lain adalah Prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi I, Muara Cianten, Pasir Jambu, Cidanghiang, dan Pasir Awi.
Tidak ditemukan informasi yang jelas tentang tahun penemuan Prasasti Tugu. Namun dalam salah satu rapat Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen awal Maret 1879, keberadaan prasasti ini sedikit dibahas.
Dalam Notulen van de Algemeene en Directie-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Deel XVII (1879), ditulis bahwa ada gagasan dari salah seorang anggota rapat yang bernama J.A. van der Chijs.
Ia memberi saran agar batu bertulis yang ditemukan di Kampung Batu Tumbu dekat Bekasi dipindahkan ke museum milik Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Namun, gagasan itu tidak langsung ditindaklanjuti lebih jauh oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Baru pada tahun 1911 batu bertulis yang kemudian dikenal dengan Prasasti Tugu ini akhirnya dipindahkan ke museum.
Secara umum, Prasasti Tugu berisi mengenai pembuatan dua sungai, yakni Chandrabaga dan Gomati, yang diperintahkan oleh Raja Purnawarman.
Mumuh Muhsin dalam makalahnya "Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Tatar Sunda dari Masa Tarumanagara s.d. Masa Kolonial Belanda", yang disampaikan dalam Kursus Sejarah Sunda, 19 Februari s.d. 24 Maret 2007, menyebut dua alasan di balik pembuatan sungai tersebut.
Alasan pertama diduga untuk mengatasi banjir. Kedua, untuk mengairi lahan pertanian penduduk.
Prasasti Sukabumi atau Prasasti Harinjing
Beralih ke masa Mataram Kuno, terdapat satu prasasti yang berisi mengenai upaya rekayasa pengairan untuk mengatasi banjir, yaitu Prasasti Sukabumi atau Prasasti Harinjing. Prasasti ini ditemukan di Kediri, tepatnya di perkebunan kopi kolonial Sukabumi yang kini masuk wilayah Desa Kampungbaru, Kecamatan Kepung, pada 1916.
"Sekitar 17 tahun yang lalu, Tuan W. Pet yang saat itu menjabat sebagai administrator Perusahaan kopi Sukabumi di Pare (Keresidenan Kediri) menarik perhatian saya terkait temuan batu bertulis di dekat Kampung Baru yang olehnya dibawa ke halaman kantor administrator," tulis Pieter Vincent van Stein Callenfels dalam De Inscriptie van Soekaboemi (1934).
Prasasti ini terbuat dari batu andesit dengan panjang 75 cm, lebar 26 cm, dan tinggi 117 cm. Aksara dan bahasa yang digoreskan pada prasasti ini adalah Jawa Kuno. Sama seperti Prasasti Tugu, Prasasti Harinjing kini tersimpan di Museum Nasional Indonesia.
Prasasti ini terdiri dari tiga bagian yang dikeluarkan pada tahun yang berbeda, yaitu Prasasti Harinjing A di bagian depan (804 M), sedangkan Prasasti Harinjing B (921 M) dan Harinjing C (927 M) berada di bagian belakang.
Pada Prasasti A tercantum penjelasan mengenai penetapan anugerah sima (tanah bebas pajak) Culanggi dari maharaja Mataram Kuno kepada Bhagawanta Bhari. Pemberian status sima ini berkenaan dengan jasa Bhagawanta Bhari membuat saluran buatan yang dikenal dengan nama Kali Serinjing.
Tujuan kali ini dibuat hampir mirip dengan alasan pembuatan Saluran Candrabhaga dan Gomati. Dalam laporannya, tim ekspedisi dari Radar Kediri menulis bahwa Kali Serinjing tak hanya berfungsi sebagai sarana pengairan, tapi juga upaya untuk penanggulangan banjir Sungai Brantas yang mengalir melewati Kediri.
Prasasti Kamalagyan
Memasuki masa Kerajaan Kahuripan yang didirikan pada 1019 M, terdapat satu tinggalan prasasti yang juga menjelaskan mengenai rekayasa pengairan Sungai Brantas, yaitu Prasasti Kamalagyan.
Prasasti ini terbuat dari batu andesit dengan ukuran panjang 115 cm, tebal 28 cm, dan tinggi 215 cm. Aksara dan bahasa yang digunakan adalah Jawa Kuno. Berbeda dengan dua prasasti sebelumnya yang tersimpan di Museum Nasional Indonesia, Prasasti Kamalagyan saat ini dapat ditemui di Krian, Kabupaten Sidoarjo.
Prasasti Kamalagyan dikeluarkan pada 1037 M, saat Kerajaan Kahuripan berada di bawah pemerintahan Raja Airlangga yang berkuasa pada 1019 hingga 1043 M. Dikeluarkannya prasasti ini terkait erat dengan pembuatan bendungan pada masa pemerintahan Raja Airlangga, yakni Waringin Sapta.
Raja Airlangga bersama penduduk membangun bendungan itu untuk menyelamatkan beberapa desa dan sima yang kerap dilanda banjir dari aliran Sungai Brantas.
Menurut Boechari dalam "Perbanditan di Jawa Kuno" yang terdapat dalam buku Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti (2012), banjir yang melanda beberapa desa dan sima itu menimbulkan kerugian karena merendam banyak sawah dan mengurangi pajak kerajaan.
Setelah bendungan dibangun, keadaan jadi lebih kondusif karena para penduduk tidak lagi khawatir tempat tinggal dan sawahnya terendam banjir. Sukacita juga dirasakan oleh orang-orang yang beraktivitas di sekitar pelabuhan.
"Senanglah hati para nakhoda dan para pedagang dari pulau lain yang bertemu di [Pelabuhan] Hujung Galuh,” tambah Boechari.
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Irfan Teguh Pribadi