Menuju konten utama

Bahlil Ungkap Tidak Semua Negara Senang Lihat ASEAN Maju

Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia menuturkan tidak semua negara mendukung perkembangan ASEAN. Hal itu terlihat dari Indonesia yang digugat ke WTO.

Bahlil Ungkap Tidak Semua Negara Senang Lihat ASEAN Maju
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia memberikan sambutan saat menghadiri rapat pertemuan kedua "Trade, Industry, and Investment Working Group (TIIWG) Presidensi G20 di Solo, Jawa Tengah, Rabu (6/7/2022). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/foc.

tirto.id - Menteri Investasi/BKPM, Bahlil Lahadalia mengklaim tidak semua negara mendukung perkembangan negara-negara di ASEAN. Dia mencontohkan terkait transformasi ekonomi yang ditargetkan Indonesia melalui hilirisasi sumber daya alam, terutama mineral malah digugat ke WTO (World Trade Organization).

Uni Eropa (UE) pada November 2019 lalu resmi mengajukan gugatan kepada WTO perihal pembatasan Indonesia pada ekspor nikel, bijih besi, dan kromium yang digunakan sebagai bahan baku industri baja nirkarat (stainless steel) Eropa. Dalam gugatannya, UE menilai bahwa Indonesia telah melanggar komitmen anggota WTO untuk memberikan akses seluasnya bagi perdagangan internasional, termasuk di antaranya produk nikel mentah.

"Ini contoh kecil, tapi tidak menutup kemungkinan untuk terjadi pada negara-negara lain,” ungkap Bahlil saat menghadiri Sidang ke-25 Dewan Kawasan Investasi ASEAN (AIA Council) di Kamboja siang tadi waktu setempat, dikutip Kamis (15/9/2022).

Bahlil lantas mengajak ASEAN untuk merumuskan prioritas bersama dan saling menguatkan dengan pendekatan pada keunggulan komparatif di masing-masing negara. Dia juga menekankan pentingnya kekompakan di antara negara anggota ASEAN untuk menciptakan posisi tawar (bargaining power) yang kuat dalam tataran global.

"Sebab saya punya keyakinan bahwa kita kuat, tapi kita masih belum fokus pada masing-masing dalam memberikan penguatan kepada sesama negara ASEAN," bebernya.

Lebih lanjut, Mantan Ketua Hipmi itu mengungkapkan bahwa pengembangan hilirisasi industri berbasis sumber daya alam yang menjadi fokus pemerintah Indonesia. Karena hal ini membuahkan hasil positif dalam neraca perdagangan Indonesia.

Pada 2017 lalu, defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Cina mencapai 18 miliar dolar AS dan di 2021 masih tercatat defisit sebesar 2,5 miliar dolar AS. Akan tetapi, pada semester I 2022 ini, neraca perdagangan Indonesia dengan Cina sudah dalam posisi surplus sebesar 1 miliar dolar AS dan secara keseluruhan neraca perdagangan Indonesia juga tercatat surplus sebesar 15,55 miliar dolar AS.

“Ini merupakan dampak nyata dari hilirisasi sumber daya alam yang terus didorong pemerintah saat ini. Kita harus tetap on the track. Semaksimal mungkin kita perjuangkan,” ujar bahlil.

Saat ini, Indonesia sedang menunggu hasil akhir dari proses penyelesaian sengketa dagang yang dilayangkan oleh Uni Eropa dalam sidang WTO terkait larangan ekspor bijih nikel. Gugatan tersebut sedang dalam proses panel sengketa awal dan masih menunggu keputusan final dari WTO.

Pelarangan ekspor bijih nikel ini telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sejak 1 Januari 2020 lalu, dan diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral Dan Batubara.

Baca juga artikel terkait WTO atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin