tirto.id - Baru enam detik PM Israel, Benjamin Netanyahu, berdiri di atas mimbar, nyaris seluruh delegasi negara yang ikut Sidang ke-80 Majelis Umum PBB melakukan aksi walk out. Namun, Netanyahu bergeming dan tetap menyampaikan pidato dengan narasi agresif yang menyudutkan pimpinan Hamas, Yahya Sinwar, sebagai otak di balik serangan ke Israel pada 7 Oktober 2023.
Tak cukup mengingatkan momen serangan itu, Netanyahu memamerkan pin berisi kode QR yang menempel di sebelah kanan jasnya. Dia meminta delegasi tersisa di ruangan itu untuk memindainya. Dia mengklaim segala alasan kenapa Israel harus menyerang Palestina pada dua tahun lalu termuat dalam konten pada kode QR itu.
Serangan Hamas kala itu menewaskan 1.200 orang dan mereka juga menyandera 250 orang. Israel lalu membalasnya dengan membombardir Gaza dan melakukan genosida. Menurut pemberitaan kantor berita Anadolu, serangan brutal Israel itu mengakibatkan sedikitnya 65.502 nyawa melayang per pekan akhir September 2025.
Netanyahu menjustifikasi serangan kepada Hamas sebagai langkah untuk menstabilkan kembali wilayahnya dan kawasan Timur Tengah secara umum. Dia mengklaim serangan yang dilakukan gerakan militan Houthi dan Hizbullah berkelindan dengan eskalasi perang Palestina-Israel.
Menurutnya, kerja sama antara Israel dan negara-negara Arab maupun muslim akan dapat dibangun bila gerakan militan di Timteng diberantas.
“Kemenangan atas Hamas akan memungkinan perdamaian dengan negara-negara di seluruh dunia Arab dan muslim,” kata Netanyahu saat pidato di Majelis Umum PBB, Jumat (26/9/2025).
Setelah mengutarakan narasi dan klaim tersebut, Netanyahu turut menyinggung soal isi pidato Presiden Prabowo Subianto di forum tertinggi PBB itu dua hari sebelumnya.

“Saya juga mencatat, dan yakin kalian pun begitu, kata-kata penyemangat yang disampaikan di sini oleh Presiden Indonesia dengan populasi muslim terbesar di dunia,” ungkapnya.
“Itu pertanda baik tentang apa yang mungkin terjadi. Ke depan, para pemimpin negara Arab dan muslim tahu bahwa bekerja sama dengan Israel akan memberikan mereka terobosan teknologi dalam kedokteran dan sains, pertanian, air, pertahanan, kecerdasan buatan, dan lainnya,” kata Netanyahu.
Sebagai informasi, pidato Presiden Prabowo dua hari sebelum Netanyahu itu di antaranya membahas solusi dua negara sebagai resolusi atas perang Palestina-Israel. Prabowo menekankan rakyat Palestina hari ini terancam kematian di tangan militer Israel dan karena kelaparan.
“Apakah tidak ada jawaban atas jeritan mereka,” tanya retoris Prabowo, dikutip dari siaran YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (24/9/2025).
Prabowo mengakui tercetusnya tawaran solusi dua negara berdasarkan inisiatif negara-negara maju, yang mengedepankan cara humanis, alih-alih penggunaan kekerasan. Menurutnya, solusi dua negara adalah solusi diplomasi satu-satunya untuk menyelesaikan masalah Palestina-Israel.
“Indonesia mendukung penuh solusi dua negara di Palestina. Kita harus memastikan Palestina yang merdeka,” ujarnya.
Sebagai gantinya, Prabowo berpikir pengakuan Israel sebagai hal tak terelekan.
“Kita juga harus mengakui, kita harus menghormati dan kita juga harus menjamin keselamatan dan keamanan Israel. Hanya dengan itu, kita dapat memiliki perdamaian sejati,” kata Prabowo.
Dua hari setelah Netanyahu memuji pidato Prabowo tersebut, muncul papan iklan raksasa dan tayangan videotron yang memuat wajah Prabowo di beberapa titik di Tel Aviv, ibu kota Israel. Tayangan iklan tersebut menampakkan Prabowo bersama sederet pimpinan negara lain, mulai Donald Trump, Raja Abdullah II dari Yordania, Mahmoud Abbas, Putra Mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman Al-Saud, Emir Qatar Syeikh Tamim bin Hamad al Thani, Presiden Mesir Abdul Fattah As-Sisi, dan tentunya Benjamin Netanyahu
Tayangan iklan kampanye itu disponsori oleh Abraham Shield, sebuah koalisi Israel yang mengklaim dibentuk untuk keamanan regional. Mereka mengunggah kampanye ini di akun X @abrahamshield. Kelompok itu mendorong rencana Trump untuk mengakhiri perang di Gaza dan memperluas Perjanjian Abraham yang diklaim AS dan sekutunya sebagai konsensus perdamaian tanpa Hamas.
Dimanfaatkan Netanyahu untuk Berkelit dari Isolasi Internasional
Dosen hubungan internasional Universitas Indonesia (UI), Agung Nurwijoyo, menekankan ada pergeseran cara penyampaian sikap atau pesan antara pemerintah Indonesia sebelumnya dan Prabowo terkait diplomasi masalah Palestina-Israel. Menurutnya, di masa Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, sikap Indonesia jelas berseberangan dengan Israel.
“Di era sebelum Prabowo, bahasa tolak normalisasi terhadap Israel dan mendukung kemerdekaan Palestina menjadi sesuatu yang tegas. Kalau Prabowo, mengedepankan asas kondisionalitas, yakni mengakui Israel dengan syarat Israel mengakui kemerdekaan Palestina. Dan ini [pernyataan dari Prabowo] dimanfaatkan Israel,” kata Agung kepada Tirto, Senin (29/9/2025).
Ihwal Netanyahu yang mengamplifikasi pernyatan Prabowo, Agung berpendapat itu sengaja dilakukan karena posisi Israel yang terjepit dalam dunia internasional. Dalam kondisi itu, bagi Netanyahu, sesedikit apa pun justifikasi terkait masalah Israel-Palestina harus dimanfaatkan.
“Israel hari ini di dunia internasional dalam tekanan yang nuansanya isolasionisme. Dunia internasional sedang bertransformasi dalam mengambil perannya masing-masing memberikan tekanan ke Israel,” kata Agung.
Isolasi terhadap Israel itu, misalnya, terlihat dari langkah tegas Spanyol mengembargo total senjata Israel. Aktor nonnegara, seperti FIFA, juga diisukan bakal mengeluarkan Israel dari keanggotaannya setelah muncul desakan dari sejumlah federasi sepak bola.
Menurut Agung, pemerintah perlu mengklarifikasi soal pidato Presiden Prabowo di PBB yang dicatut Israel itu. Sebab, proposal solusi dua negara berpotensi besar tidak digubris Israel dan pemerintah semestinya mengetahui itu.
Terlebih, Deklarasi New York yang menjadi salah satu dasar proposal solusi dua negara tidak menyinggung soal genosida yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina.
“Kalau benar bentuk strategi diplomasi, ya pemerintah jelaskan itu ke publik. Kalau ini bukan bagian proses kompromistis dengan Israel atau negara Barat. Indonesia seharusnya bisa lebih tegas dalam politik luar negerinya. Kalau ini jadi strategi agar Indonesia membuka ruang lebih dekat dengan negara Barat, itu harus diperlihatkan dalam diplomasi berkelanjutan terkait resolusi Palestina-Israel, baik secara bilateral maupun multilateral,” ujar Agung.

Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Virdika Rizky Utama, amplifikasi Netanyahu terhadap pidato Prabowo bukanlah bentuk apresiasi, melainkan jebakan naratif demi kepentingan Israel.
Netanyahu dalam penilaiannya tengah membingkai Indonesia yang punya sejarah dukungan terhadap Palestina kini mulai “masuk akal” dalam logika Israel.
Selain itu, Netanyahu ditengarai memilih pidato Prabowo untuk diamplifikasi karena aspek simboliknya sebagai pemimpin negara dengan populasi muslim terbesar—bukan karena isi pidatonya.
“Ini berbahaya karena menggeser posisi Indonesia dari solidaritas penuh terhadap pembebasan Palestina ke arah kompromi yang dikendalikan. Saya pikir kemerdekaan 100 persen Palestina dengan hak kembali, kontrol atas Yerusalem, dan penghapusan pendudukan tidak kompatibel dengan versi two-state yang dijual Israel,” kata Virdika kepada Tirto, Senin (29/9/2025).
Virdika juga mengatakan bahwa Prabowo memang menyatakan dukungan terhadap solusi dua negara di forum PBB, tapi konteksnya adalah seruan untuk rekonsiliasi dan penghentian kekerasan. Akan tetapi, Netanyahu memanfaatkan kutipan itu untuk menunjukkan bahwa bahkan negara-negara berpenduduk muslim terbesar seperti Indonesia mulai melunak.
Israel, menurut Virdika, menginginkan solusi dua negara yang mengunci Palestina dalam kantong administratif tanpa kedaulatan, tanpa hak kembali, dan tanpa kontrol atas Yerusalem. Sedangkan, Indonesia mendukung solusi yang berbasis pada perbatasan wilayah pra-1967, pengakuan atas hak pengungsi, dan penghentian pendudukan.
Oleh karena itu, dia menilai klarifikasi dari Prabowo ataupun Menteri Luar Negeri RI atas pidato yang diamplifikasi Netanyahu itu menjadi mendesak. Virdika menegaskan bahwa memilih diam dalam konteks ini bukan netral, tapi bisa dibaca sebagai konfirmasi.
“Klarifikasi ini bukan soal teknis diplomatik, tapi soal posisi politik dan reputasi Indonesia di mata dunia Arab dan gerakan solidaritas global. Prabowo harus tegas bahwa dukungan Indonesia terhadap solusi dua negara berbasis pada perbatasan 1967, penghentian pendudukan, dan hak kembali,” ujar dia.
Lebih lanjut, Virdika bilang jika Prabowo tak lekas lakukan klarifikasi—yang berarti terjadi pembiaran terhadap manipulasi narasi, ini bisa merusak posisi diplomatik Indonesia di mata dunia Arab dan Global South.
“Kalau tidak, framing Netanyahu akan menjadi narasi dominan, dan Indonesia akan kehilangan posisi strategisnya sebagai suara moral dalam isu Palestina,” tuturnya.
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































