tirto.id - Partai Golkar kembali mengalami bersinggungan dengan masalah korupsi. Kali ini, dua kader mereka, Alex Noerdin dan Azis Syamsuddin tersangkut kasus korupsi.
Alex kini tersandung dua kasus korupsi. Pada kasus pertama, Alex Noerdin ditetapkan sebagai tersangka pembelian gas bumi oleh Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumatera Selatan tahun 2010-2019. Hal tersebut diumumkan Kejaksaan Agung, Kamis (16/9/2021).
Dalam kasus ini, Alex diduga ikut merugikan keuangan negara sebesar 30.194.452.79 dolar AS atau Rp 430.834.067.529 (kurs 14.268). Kejagung juga menduga ada kerugian negara senilai 63.750 dolar AS dan Rp2,13 miliar, setoran modal yang tidak seharusnya dibayarkan oleh PDPDE Sumsel.
Akibat penetapan status tersangka dalam kasus PDPDE, Alex langsung diberhentikan dari posisi dia sebagai Wakil Ketua Komisi VII. Politikus Partai Golkar ini lantas digantikan oleh Maman Abdurrahman.
Pada Rabu (22/9/2021), Kejaksaan Agung kembali menetapkan mantan Gubernur Sumatera Selatan itu sebagai tersangka. Alex diduga terlibat korupsi dalam pemberian dana hibah dari APBD Sumsel tahun 2015 dan 2017 kepada Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang. Ia diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp130 miliar.
Sementara itu, koleganya, Azis Syamsuddin tersandung kasus Lampung Tengah. Keterlibatan Azis terungkap dalam dakwaan eks penyidik KPK AKP Stepanus Robin. Robin didakwa menerima uang lebih dari Rp11 miliar demi mengurus sejumlah perkara di KPK.
Di dalam dakwaan, Azis bersama kolega partai di Partai Golkar Aliza Gunado memberikan uang Rp 3 miliar dan 36 ribu dolar AS ke Robin. Uang tersebut diduga untuk mengurus perkara Dana Alokasi Khusus Lampung Tengah yang diduga bersinggungan dengan nama Azis dan Aliza.
Dalam perkembangan terkini, pada Sabtu (25/9/2021) dini hari, KPK menahan Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin (AZ) setelah diumumkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait dengan penanganan perkara korupsi yang ditangani oleh KPK di Kabupaten Lampung Tengah.
Dalam konstruksi perkara, KPK menduga Azis memberikan suap kepada mantan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju (SRP) senilai Rp3,1 miliar.
Atas kasusnya tersebut, tersangka Azis disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sikap Partai Golkar atas Kasus Korupsi Alex Noerdin & Azis Syamsuddin
Partai Golkar pun merespons soal penangkapan kedua kader mereka. Sekretaris Fraksi Partai Golkar Adies Kadir mengaku partai tidak akan langsung memecat Alex Noerdin. Meski kaget dengan penetapan status tersangka Alex, Golkar mengaku siap memberikan pendampingan hukum kepada Alex. Mereka pun belum memecat Alex.
"Cukup mengagetkan kami di Golkar. Kami ingin mendalami lebih dalam dulu sejauh apa kasus tersebut sebelum ambil langkah lebih lanjut," ujar Adies kepada wartawan, Kamis (16/9/2021).
Di waktu terpisah, Adies juga merespons soal kabar penetapan tersangka Azis Syamsuddin. Kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jumat (24/9/2021), Adies mengaku partai Golkar menghormati proses hukum kepada Azis meski belum jelas menjadi tersangka atau tidak. Mereka menunggu perkembangan kasus tersebut.
"Partai Golkar menghormati segala proses hukum, baik yang dilakukan KPK, jadi kami menunggu, kami juga mencermati situasi perkembangan karena sampai saat ini kan belum resmi dari KPK, jadi kami masih mencermati situasi sampai saat ini," kata Adies, Jumat (24/9/2021).
Adies mengaku mereka hanya bisa memantau perkembangan kasus Azis. Golkar pun tidak akan mengintervensi proses hukum Azis. Namun, ia mengingatkan ada perbuatan berbasis partai, tetapi juga individu.
“Partai Golkar dengan ini memberitahukan bahwa Saudara Azis Syamsuddin telah menyampaikan surat pengunduran dirinya sebagai Wakil Ketua DPR RI periode 2019-2024 kepada DPP Partai Golkar dan Ketua Umum DPP Partai Golkar,” kata Ketua Bidang Hukum DPP Partai Golkar, Adies Kadir dalam konferensi pers secara daring, Sabtu (25/9/2021).
Setelah menerima surat tersebut, Kadir menyampaikan Partai Golkar dalam waktu dekat akan mengumumkan pengganti Azis Syamsuddin untuk posisi Wakil Ketua DPR RI.
Masih Kuatnya Korupsi di Parpol
Peneliti Transparency Internasional Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko mengingatkan kasus kedua kader partai Golkar menandakan masih kuatnya korupsi di tubuh parpol. Menurut Wawan, korupsi terjadi karena partai tidak menerapkan sistem integritas seperti keterbukaan pendanaan parpol hingga deklarasi konflik kepentingan.
"Artinya bahwa ya kita harus melihat itu dalam kerangka yang lebih besar, partai itu penting ketika dia mempunyai pejabat publik untuk didorong punya sistem integritas. Pelaporan dan akuntabilitas keuangan parpolnya, transparansi perencanaan partainya, terus kinerja pejabat partai yang juga menjadi pejabat publik. Nah, itu harus akuntabel, harus punya sistem integritas," kata Wawan kepada Tirto, Jumat.
Wawan mengingatkan, korupsi terjadi karena sejumlah faktor. Pertama, kader partai memegang kekuasaan. Tanpa kekuasaan, kata Wawan, seseorang tidak akan korupsi. Oleh karena itu, perlu lembaga pengontrol agar menyeimbangkan keadaan sehingga bisa mencegah korupsi.
"Jangan matikan kontrol dengan matikan penyeimbang. Itu tidak akan menyelesaikan masalah karena tetap aja ada korupsi di dalamnya," kata Wawan.
Kedua adalah masalah kepentingan partai. Ia tidak memungkiri bahwa parpol butuh dana untuk beraktivitas. Oleh karena itu, transparansi anggaran dan rangkaian kegiatan perlu dilakukan agar bisa diketahui kebutuhan partai.
"Mesin parpol berat biayanya, tapi gimana pun juga harus dibuka. Gak bisa gak dibuka. Jadi kita bisa tahu kebutuhannya berapa. Ini kekuasaan dan kepentingan, itu yang publik juga harus tahu," jelas Wawan.
Serupa, peneliti politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha juga memandang kejadian Golkar sebagai upaya perbaikan partai dalam menindak koruptor.
"Parpol manapun mestinya melakukan langkah tegas terhadap kadernya yang terjerat kasus korupsi. Ini untuk menunjukkan komitmen parpol tersebut dalam pemberantasan korupsi," kata Egi kepada Tirto, Jumat.
Egi mengatakan, penyebab parpol korup tidak tunggal. Ia mengatakan, anggota dan pengurus parpol menjadi korup bisa demi mencari keuntungan atau memenuhi kebutuhan parpol dalam setiap pemilu. Dalam pandangan Egi, Golkar masih belum melakukan perbaikan dalam upaya pemberantasan korupsi meski kader Golkar sudah banyak masuk bui akibat tersandung korupsi.
"Kalau melihat masih ada kader atau anggotanya yang masih terjerat kasus korupsi, sepertinya mereka belum melakukan itu. Jikapun sudah, perlu ada pembenahan yang serius, karena secara hasil masih belum memuaskan," kata Egi.
Komitmen Korupsi Tidak Diperhatikan Pemilih?
Egi menyayangkan publik masih belum menggunakan pertimbangan partai dengan kader korup untuk tidak memilih satu partai. Padahal, hal tersebut penting untuk mencegah korupsi.
"Mestinya begitu. Tapi menurut saya ada beberapa faktor yg membuat hal itu tidak terjadi. Seperti masyarakat kita yg masih permisif dengan praktik korupsi, atau patronase dan klientelisme yang begitu kuat. Sehingga mereka abai jika ada kasus korupsi yang menyangkut parpol ataupun individu," kata Egi.
Serupa, Wawan juga menilai bahwa persepsi partai korup seharusnya bisa mempengaruhi persepsi publik untuk memilih partai. Ia mengingatkan bagaimana Partai Demokrat hancur setelah banyak kader partai besutan SBY itu korupsi. Namun hal itu, kata Wawan lebih pada figur daripada partai.
"Kalau pengalaman kita melihat Demokrat iya ya, pasti akan berpengaruh, tapi enggak signifikan. yang paling signifikan bukan saat partainya, tetapi yang paling signifikan adalah misalnya pemilihan gubernur, pemilihan walkot, pemilihan anggota DPRD, jadi bukan ke partainya," kata Wawan.
Ia lantas juga mencontohkan bagaimana PDIP yang juga punya kader yang tersandung korupsi, tetapi publik tetap memilih partai banteng moncong putih itu. Di sisi lain, ada kultur pemilih lebih melihat pada figur daripada partai.
"Kan sekarang masyarakat juga lebih pinter memilih. Enggak peduli partainya kalau orang itu bagus ya dipilih,misalnya banyak champion-champion yang gak peduli partai apa," kata Wawan.
Dosen Politik Universitas Padjajaran Kunto A. Wibowo menjawab alasan korupsi tidak menjadi pertimbangan publik dalam keterpilihan. Ia menilai, permasalahan keterpilihan karena faktor korupsi justru tidak menjadi pertimbangan pemilih. Pertimbangan korupsi hanya mengarah di kota besar dengan pendidikan tinggi.
"Jadi semakin jauh dari Jakarta, pemilih akan semakin merasa isu korupsi semakin gak penting karena ada beberapa faktor. Pertama, mereka menganggap bahwa korupsi adalah hal yang biasa," kata Kunto, Jumat.
Kunto mengaku, dirinya pernah menggelar Focus Group Discussion soal korelasi keterpilihan partai dengan korupsi. Hasilnya, publik sudah menganggap lazim korupsi. Namun publik justru tidak akan memilih satu parpol jika yang tersandung kasus korupsi adalah ketua umum partai. Ia mencontohkan kasus Romahurmuzy, eks Ketua Umum PPP yang tersandung korupsi.
"Jadi dari situ ketika Alex Noerdin, kemudian Azis Syamsuddin itu kemarin menjadi tersangka kasus korupsi menurut saya dari sisi politik bagi Golkar masih tetap aman asal Golkar tetap menjaga mesin politiknya di akar rumput dan kalau kepemimpinan Airlangga selama ia terbukti bersih tidak terkait dengan kasus korupsi itu maka popularitasnya juga akan selamat," kata Kunto.
Di sisi lain, Kunto menilai Golkar akan berbeda dengan Partai Demokrat yang hancur akibat korupsi. Golkar sudah makan asam garam soal gonjang-ganjing korupsi di internal partai beringin sehingga tidak berpengaruh signifikan dalam pemilihan. Hal tersebut dibuktikan dengan penangkapan Setya Novanto, eks Ketua Umum Partai Golkar yang terjadi jelang Pemilu 2019. Toh Partai Golkar tetap memantapkan diri sebagai partai kelas atas.
"Jadi menurut saya selama bukan ketum yang kena saya pikir itu enggak akan berpengaruh banyak pada elektabilitas partai," kata Kunto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri