tirto.id - Ombudsman RI (ORI) Perwakilan Yogyakarta menyerahkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) kepada SMPN 8 Yogyakarta atas laporan salah satu siswi yang keberatan dengan aturan penggunaan busana muslim berupa jilbab di sekolah.
Ketua ORI Perwakilan Yogyakarta, Budi Masturi mengatakan, salah satu dari LAHP dari laporan yang diterima pada September 2018 itu menyimpulkan, ada guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN 8 Yogyakarta telah melakukan tindakan tidak patut.
"Karena secara tersirat [ada guru] mewajibkan siswi menggunakan busana khas muslimah selama mengikuti pelajaran pendidikan agama [Islam] di kelasnya," kata Budi di Kantor ORI Yogyakarta, Kamis (7/2/2019).
Budi juga mengungkapkan, tidak ditemukan cukup bukti, adanya keterkaitan antara penggunaan busana muslimah dengan pertimbangan pemberian nilai mata pelajaran PAI kepada siswi tersebut.
Di sisi lain, kata dia, ORI justru menemukan kekeliruan dalam pemberlakukan tata tertib di sekolah tersebut soal penggunaan busana khas muslimah di sekolah.
Menurut dia, kepala sekolah tidak cermat dalam menyusun tata tertib, karena melewatkan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat 1 Peraturan Walikota (Perwal) Nomor 57 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusun Tata Tertib Sekolah.
"Tata tertib sekolah [SMPN 8 Yogya] setelah kita teliti tidak sesuai dengan Perwal. Karena dalam Perwal itu menggunakan diksi 'dapat menggunakan pakaian khas muslimah', itu artinya pilihan. Tapi di tata tertib kalimat itu tidak dicantumkan dan isinya langsung pada definisi pakaian khas muslimah," kata dia.
Meskipun tidak ada kata ‘wajib’ menggunakan pakaian khas muslimah. Namun, kata Budi, tata tertib yang disepakati oleh siswa dan orang tua siswa itu kemudian menjadi norma yang harus diikuti.
"Karena kata 'dapat' sudah tidak ada, seolah inilah yang harus diikuti jadi norma wajib yang tersembunyi [...] Kalau tidak diikuti berarti melanggar tata tertib. Itu yang kemudian bisa disalahartikan dalam praktiknya, kemudian guru bisa mewajibkan dan sebagainya," kata Budi.
Sebelumnya, pernah muncul persoalan aturan jilbab di SMPN 5 Kota Yogyakarta pada 2017. Kemudian kembali dipersoalkan aturan serupa pada 2018. Perwakilan SMPN 8 Yogya saat awal kasus mencuat telah membantah mewajibkan siswi mengenakan jilbab.
Menurut dia, penggunakan jilbab atau pakaian muslim merupakan ekspresi seseorang dalam beragama. Sehingga, lanjut dia, pengelola sekolah, terutama sekolah negeri harus menghormati keputusan siswi yang memilih untuk menggunakan jilbab yang syar'i atau tidak memakai jilbab.
Terkait tata tertib sekolah yang tidak sesuai Perwal, ORI menyebut ada ketidakcermatan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, karena sekolah semestinya mengkonsultasikan tata tertib ke dinas.
Selain itu, kata dia, diduga Dinas Pendidikan juga tidak mengawasi, sehingga hal serupa berpotensi terulang di sekolah lain.
ORI Yogyakarta, kata dia, merekomendasikan agar tata tertib SMPN 8 Yogya agar direvisi. Dinas Pendidikan, lanjut dia, juga perlu mengevaluasi secara menyeluruh terkait tata tertib yang tak sesuai Perwal.
"Mereka sadar [tata tertib tidak sesuai Perwal]. Dan [saat menerima LAHP] responnya sangat baik. Dinas siap melakukan evaluasi terhadap semua dan sekolah tentu akan melakukan revisi," kata dia.
Wakil Kepala Sekolah Bagian Kesiswaan SMPN 8 Yogyakarta, Nanang Syahid Wahyudi mengatakan telah menerima LAHP dari ORI.
"Tadi [ORI] menyerahkan hasilnya, belum membaca [LAHP] tadi langsung dibawa Bu Kepala [Sekolah] langsung pergi layat," kata dia.
Hingga berita ini diturunkan, reporter Tirto telah menghubungi Kepala Sekolah SMPN 8 Yogyakarta, Retno, melalui telepon, untuk meminta tanggapan terkait keputusan ORI, namun tidak ada jawaban. Pesan singkat yang dikirimkan juga tak berbalas.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Zakki Amali