tirto.id - Aturan mengenakan jilbab di sekolah negeri di Yogyakarta kembali dipersoalkan. Setelah sempat muncul di SMPN 5 Kota Yogyakarta tahun lalu, kali ini isu yang sama muncul di SMPN 8 Yogyakarta.
Salah satu orangtua murid mengadu ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan Yogyakarta bahwa sekolah membuat aturan yang mewajibkan tiap siswi muslim berjilbab. Dia merasa aturan ini tidak tepat.
Ombudsman Yogyakarta bergerak cepat. Senin (10/9/2018) kemarin, mereka meminta klarifikasi pada pimpinan salah satu sekolah unggulan di DIY ini.
Pihak sekolah membantah tuduhan itu. Asisten Ombudsman RI Perwakilan Yogyakarta Jaka Susila mengklaim pimpinan SMPN 8 Yogyakarta tidak pernah mewajibkan muridnya memakai jilbab. Selama ini cuma ada imbauan agar siswi muslimah memakai jilbab saat kelas Pelajaran Agama Islam (PAI) saja.
“Ada beda persepsi antara wali murid dan pihak sekolah. Orang tua menilai, itu [memakai jilbab] diwajibkan,” kata Jaka.
Jaka menjelaskan, ketentuan seragam di SMPN 8 Yogyakarta diatur dalam Surat Keputusan (SK) Kepala Sekolah. SK itu mengatur soal jenis seragam, salah satunya seragam khas muslimah yang dilengkapi atribut jilbab. Di SK itu, pemakaian jilbab memang tidak diberi keterangan wajib.
Pembuatan SK itu, kata Jaka, didasarkan pada Peraturan Wali Kota Yogyakarta Nomor 57 tahun 2011 tentang Pedoman Tata Tertib Sekolah. Di sana disebutkan kalau setiap lembaga pendidikan dasar diizinkan membuat aturan mengenai seragam siswa.
“Pada peraturan wali kota juga ada ketentuan seragam khas muslimah dapat dikenakan oleh murid sesuai keyakinan agamanya. Jadi ada kata 'dapat', tidak mewajibkan,” ujar Jaka.
Ombudsman masih mengkaji kesesuaian antara SK Kepala Sekolah SMPN 8 Yogya dengan Perwal Yogyakarta Nomor 57 tahun 2011. Selain itu, Ombudsman akan mencermati kesesuaian antara apa yang tertulis dengan penerapan di lapangan.
“Kami baru proses pengumpulan data, secepatnya kami akan mengambil kesimpulan,” ujar Jaka.
Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan SMPN 8 Yogyakarta, Nanang Sahid Wahyudi, membenarkan keterangan Jaka.
“Ada miskomunikasi, ini membuat guru mata pelajaran [Agama Islam] berbeda pendapat dengan wali murid,” ujarnya. “Selama ini, [siswi] diberi keleluasaan untuk pakai jilbab atau tidak,” katanya.
Nanang menduga wali murid bisa sampai mengadu ke ombudsman karena tidak puas dengan penjelasan pihak sekolah.
Sekolah belum memanggil siswi itu untuk memastikan kemungkinan imbauan guru agama Islam yang memicu persoalan ini. Ia beralasan siswi itu belum dipanggil karena pihak sekolah khawatir hanya akan memperkeruh masalah. “Apakah ada ajakan dari gurunya yang membuat siswi itu tidak berkenan?” kata Nanang.
Populasi murid SMPN 8 Yogyakarta lumayan beragam, kata Nanang. SMP ini memiliki 960-an siswa, 200 di antaranya beragama Kristen, Katolik, dan Hindu. Meski tak semua Islam, namun ia mengaku sekolah menyelenggarakan program khusus untuk penguatan pemahaman agama siswa-siswi muslim, seperti kegiatan tahfidz Alquran dua kali dalam sepekan.
Islamisasi Ruang Publik
Mohammad Iqbal Ahnaf dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada mengatakan meski tak wajib, imbauan berjilbab di sekolah-sekolah umum tetap patut dikritisi.
Menurutnya itu adalah inisiatif tak langsung untuk menguatkan identitas Islam yang nantinya berujung pada islamisasi ruang publik.
Menurut Iqbal, fenomena imbauan berjilbab ini menandai pergeseran tren islamisasi, yang awalnya dari kerap dipropagandakan tokoh politik jadi inisiatif sekolah atau masyarakat. Fenomena ini tak bisa sepenuhnya dilepaskan dari proses pewacanaan aturan soal moralitas yang muncul pada era 2000-an.
"Ketika tren itu bergeser, wacananya diambil alih oleh masyarakat, karena saya kira memang pengaruh Islamisasi di lembaga-lembaga pendidikan kuat sekali," ujar Iqbal.
Dia menyebut ada dua faktor yang memicu fenomena ini: pertama, banyak guru terpengaruh pemikiran-pemikiran yang ingin mendefinisikan ruang publik melalui agama; kedua, ada pihak-pihak yang ingin mewajibkan jilbab sebagai bagian dari strategi pasar di dunia pendidikan.
"Kalau dulu orangtua menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri ingin yang bermutu, bagus, rangking tinggi, sekarang permintaannya bertambah lagi, tidak hanya pintar tapi juga saleh," kata Iqbal, menjelaskan lebih lanjut faktor kedua.
Ia juga memperkirakan imbauan berjilbab di sekolah umum ialah tindakan defensif dari rasa cemas atas dunia yang dianggap semakin membahayakan keyakinan agama.
"Tentu itu bukan cara yang tepat, tapi mungkin hanya itu yang mereka pahami," ujar Iqbal.
Berdasar survei nasional yang dilakukan The ISEAS – Yusof Ishak Institute, pada 2017, dari produk-produk dan layanan Islam yang paling diinginkan oleh masyarakat di Indonesia, pendidikan 'Islami' menempati peringkat kedua. Menurut survei yang sama, lebih dari 80 persen responden memandang bahwa pemakaian jilbab adalah tanda kesalehan perempuan di Indonesia.
Mengenai peran guru Agama Islam di sekolah-sekolah negeri, kesimpulan riset dalam Policy Brief Convey Indonesia terbitan 2018 penting untuk menjadi perhatian, khususnya Kemendikbud.
Policy Brief Convey Indonesia, yang dirilis oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta dan UNDP Indonesia, memuat hasil survei siber nasional pada 2017 yang menunjukkan banyak guru PAI menerapkan sikap toleransi terbatas. Meski mereka umumnya memiliki opini moderat, tapi sikap itu tidak berlaku untuk minoritas semacam Syiah dan Ahmadiyah.
Riset itu mencatat, 54,7 persen guru PAI sangat tidak setuju membentuk siswa bersikap toleran pada penganut Syiah. Sementara 53,6 persen guru PAI sangat tidak setuju membentuk sikap toleran siswa pada penganut Ahmadiyah.
Sebaliknya, 88,44 persen siswa setuju pelajaran PAI diisi diskusi tentang perbedaan untuk mengurangi prasangka negatif antarkelompok agama. Sebanyak 78,58 persen siswa malah sepakat bahwa pendidikan agama diisi diskusi dan saling bertukar pikiran soal pengalaman beragama masing-masing murid agar tumbuh rasa saling memahami.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Rio Apinino