tirto.id - Kepala Sekolah SMPN 5 Kota Yogyakarta, Suharno, membantah pemberitaan yang menyebut pihak sekolah mewajibkan penggunaan jilbab bagi seluruh siswi muslim. “Itu ada miss (salah paham), di sini tak ada aturan memakai jilbab,” kata Suharno kepada Tirto, Senin (3/7).
Menurut Suharno penggunaan jilbab sebagai seragam sekolah hanya bersifat anjuran yang disampaikan oleh guru agama. Karena sifatnya anjuran bukan peraturan, maka tidak ada sanksi bagi siswi muslim yang tidak berjilbab. Ia pun tidak mempersoalkan anjuran tersebut.
“Guru agama, kan, memang bertugas menganjurkan hal itu, karena Islam mewajibkan muslim berjilbab. Kami memang menekankan agar para siswa rajin ibadah sesuai agamanya masing-masing,” kata Suharno.
SMPN 5 Kota Yogyakarta, kata Suharno, hanya mewajibkan semua siswi mengenakan rok panjang dari pinggang hingga ke tumit. Aturan ini, jelas Suharno, berkaitan dengan nilai kesopanan yang bertujuan mencegah siswi dari tindak kejahatan seksual. “Biar sopan saja, juga untuk mencegah pelecehan,” ujar dia.
Latar belakang agama murid SMPN 5 Kota Yogyakarta cukup beragam. Dari sekitar 920 murid, 10 persen di antaranya beragama non-muslim. Suharno mencatat, ada sekira 90 murid yang menganut agama Katolik dan Kristen. “Ada tiga siswa [beragama] Hindu,” ujar dia.
Suharno tak kuasa menyembunyikan kekecewaannya terhadap media yang memberitakan sekolahnya mewajibkan jilbab. Apalagi, pemberitaan itu dikaitkan dengan tudingan praktik intoleransi di SMPN 5. Alih-alih menciptakan suasana intoleran, Suharno justru mengklaim dirinya mendorong rasa toleransi antarmurid yang berbeda agama. Caranya, dengan mendorong para siswa beribadah sungguh-sungguh sesuai keyakinan agamanya. Suharno berpendapat intoleransi justru bisa muncul jika siswa tidak memahami ajaran agamanya dengan benar.
“Pengajaran agama diajarkan sesuai kurikulum. Ada dorongan agar siswa rajin ibadah, tapi juga diajarkan agar tak saling menghina agama lain,” kata dia.
Sebelumnya, Senin 19 Juni lalu, Koran Tempo versi daring memberitakan para seluruh siswi muslim di SMPN 5 Kota Yogyakarta diwajibakan berjilbab. Berita itu berjudul “Intoleransi Merambah Jantung Pendidikan”. Gara-gara pemberitaan tersebut Suharno mengatakan sekolahnya mendapat respons negatif di media sosial. Upaya klarifikasi ke pihak Tempo pun juga telah ia lakukan.
“Sudah saya kirim klarifikasi sepekan lalu. Saya lengkapi foto siswi kami yang tak pakai jilbab,” kata dia.
Kultur Intoleran di Sekolah Negeri
Meski begitu, isu intoleransi di dunia pendidikan di Yogyakarta memang sudah menjadi perhatian sejumlah kalangan. Fokki Ardianto, anggota Komisi D Kota Yogyakarta dari Fraksi PDIP, mengaku sudah mendengar keluhan dari sekitar 20 orang. Keluhan tersebut datang dalam dua tahun belakangan.
Mei 2017 lalu, Fokki Ardianto merilis kabar tentang adanya pengaduan dari salah seorang wali murid siswa SMP negeri di Kota Yogyakarta mengenai fenomena intoleransi di sekolah. Si wali murid mengadu ke Fokki, bahwa anaknya kerap menerima “olok-olok” sebagai orang kafir dari kawan-kawannya. Siswi itu, menurut Fokki, sempat mengadu ke gurunya. Ia mempertanyakan olokan itu saat berbicara kepada gurunya di depan semua teman kelasnya.
“Dia (siswi) tanya ke gurunya, di depan kelas, kenapa dirinya disebut kafir hanya karena non-muslim,” kata Fokki pada Senin (3/7/2017).
Menurut Fokki, olok-olokan “kafir membuat siswi tersebut tidak merasa nyaman belajar. Akhirnya, orang tua siswi itu memutuskan memindah anaknya ke sekolah swasta. “Siswi itu sekolah di SMP negeri paling favorit di Kota Yogyakarta,” kata Fokki.
Sayangnya, menurut Fokki, orang tua siswi itu kemudian meminta kasus ini tidak diperpanjang. Wali murid itu juga enggan memberikan kesaksian secara terbuka mengenai kasus ini. “Saya menyimpulkan ini fenomena gunung es, sudah lama terjadi dan belakangan semakin membuat orang resah,” ujar dia.
Mayoritas keluhan, menurut dia, memang datang dari kalangan non-muslim yang anaknya belajar di sekolah negeri di Kota Yogyakarta. Kasus keluhannya macam-macam dan menyebar dari jenjang Taman Kanak-Kanak, SD, SMP dan SMA yang termasuk sekolah negeri.
Fokki mencontohkan, ada orang tua siswa mengeluh sebab ada SD negeri yang tiap hari mengajak murid-muridnya menyanyikan lagu-lagu bernuansa Islam. Padahal, di antara siswa, ada yang non-muslim. Bahkan, dia mengklaim pernah menerima laporan sebuah SMA negeri di Yogyakarta menggelar upacara bendera yang memisahkan barisan siswi berjilbab dengan yang tak berjilbab.
Ketika ditanya di mana hal itu terjadi, Fokki mengaku tidak ada pelapor yang berani bersaksi di depan forum resmi mengenai fakta yang mereka alami. Makanya, ia juga belum berani menunjuk nama sekolah negeri yang terindikasi. Apabila ada bukti atau saksi, Fokki berencana mengusulkan ke Komisi D Kota Yogyakarta untuk memanggil pimpinan sekolah itu.
“Tidak ada yang mau dan berani bersaksi secara terbuka. Aturan tertulis juga tak ada,” ujar dia.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar