tirto.id - Apakah Anda sering merasa cemas dengan pendapat orang lain tentang diri Anda? Jika Anda memang kerap merasakan kecemasan akan pendapat orang lain, bisa jadi Anda mengalami FOPO atau Fear of Other People’s Opinions.
Ketakutan terhadap pendapat orang lain ini tentunya bisa sangat mengganggu kehidupan jika muncul secara terus menerus.
Psikolog UGM, T. Novi Poespita Candra, S.Psi., M.Si., Ph.D., Psikolog, menjelaskan bahwa saat ini FOPO telah menjadi fenomena di masyarakat Indonesia. Bahkan dalam beberapa waktu terakhir fenomena ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat.
“Ditambah dengan penggunaan media sosial menjadi salah satu pemicu orang-orang mengalami FOPO. Melalui media sosial ini pendapat orang semakin terbuka, imagenya terbuka, meskipun ada beberapa orang yang memang selalu khawatir dengan pendapat orang sejak dulu,” tuturnya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi Tirto.
Novi mengatakan di Indonesia FOPO dibentuk oleh budaya dan pendidikan. Budaya feodalisme dan konformitas yang masih lekat di masyarakat berkontribusi kuat terhadap terbentuknya FOPO pada manusia-manusia Indonesia.
“Budaya feodal misalnya senior mengatur persepsi publik ini. Lalu soal konformitas, dari kecil anak-anak diajari punya pemikiran selalu sama, jika berbeda sedikit saja akan dibilang aneh karena sudah dibiasakan dengan keseragaman,” terangnya.
Dosen Fakultas Psikologi UGM ini menyebutkan karena pendidikan yang ada menyeragamkan semua individu, pada akhirnya menjadikan manusia-manusia Indonesia menjadi lebih mementingkan pendapat atau pikiran orang lain tentang dirinya dibandingkan pendapatnya sendiri akan dirinya.
Ditambah dengan keberadaan media sosial yang membuat image atau perspektif seseorang dibentuk oleh platform ini. Misalnya, banyak diskusi dan obrolan terkait parameter kesuksesan bagi anak muda. Anak muda dianggap sukses jika di usia 20-an tahun sudah memiliki penghasilan atau usaha sendiri. Lantaran wacana di media sosial tersebut orang mulai membandingkan dirinya.
“Akhirnya membandingkan dirinya, sudah usia 30 tahun tetapi belum ada bisnis sendiri dan akhirnya mulai insecure karena hidup tidak sesuai harapan kebanyakan orang,” ucapnya.
Kondisi ini, lanjutnya, terjadi karena seseorang belum memiliki kesadaran akan identitas diri sendiri. Di usia remaja seseorang harus mengenal dirinya, jika diberikan ruang untuk mengenal dirinya maka akan memiliki kesadaran diri terhadap dirinya.
Apabila kesadaran diri ini sudah dimiliki maka identitas diri bisa terbentuk baik sehingga tidak akan cemas pendapat orang lain dan tidak takut berbeda.
“Rata-rata orang Indonesia sekarang mengalami FOPO, takut dinilai jelek, salah, dan gagal,” katanya.
Novi menyampaikan jika ketakutan akan pendapat orang lain ini terus berlanjut bisa mengakibatkan gangguan kecemasan sosial. Kondisi tersebut bisa memunculkan dampak negatif bagi kesehatan mental seperti mudah stres apabila mengalami kegagalan.
Selain itu juga menjadikan seseorang tidak mengetahui apa yang menjadi keinginan diri karena semua yang dilakukan untuk memenuhi harapan publik.
Cara Mencegah Agar Orang Tidak Menjadi FOPO
Lalu bagaimana mencegah agar seseorang tidak menjadi FOPO? Novi menjelaskan upaya yang bisa dilakukan adalah dimulai dari pendidikan di rumah dan sekolah.
Ekosistem pendidikan dibuat agar anak-anak bisa tumbuh dengan percaya diri. Apabila anak-anak memiliki rasa percaya diri yang baik maka akan tumbuh menjadi pribadi yang utuh dan mandiri.
Sebaliknya, jika anak tidak memiliki rasa percaya diri yang baik maka sebagian hidupnya dipenuhi emosi negatif seperti malu, cemas, khawatir, tidak ada harapan, dan lainnya.
“Kalau punya energi percaya diri yang bagus tidak akan mudah cemas/FOMO. Karenanya harus dibentuk ekosistem yang menumbuhkan kepercayaan diri dengan memberikan ruang-ruang bagi keunikan setiap manusia,” urainya.
Cara Keluar dari Kondisi FOPO
Lantas bagaimana jika sudah terlanjur FOPO?
Apabila kecemasan yang dirasakan belum terlalu berat, Novi menyarankan untuk mengatasinya melalui pendekatan kognitif yakni dengan diajak berdialog.
Misalnya, berdialog terkait mengapa tidak berani memutuskan, efeknya apa, manfaat maupun kerugian jika seperti itu dan lainnya. Dengan adanya dialog bisa membantu cara berpikir dan akan mendorong cara seseorang dalam bersikap.
Berikutnya, banyak beraktivitas. Semakin banyak kegiatan positif yang dilakukan akan mengurangi kecemasan yang dihadapi.
“Jika sudah merasa parah sampai traumatik, maka segera hubungi profesional seperti psikolog maupun konselor,” pungkasnya.
Editor: Iswara N Raditya