tirto.id - "Saya sangat mendukung Ibu Baik Nurul mencari keadilan."
Demikian tanggapan Presiden Joko Widodo saat ditanya sejumlah wartawan terkait vonis kasus pencemaran nama baik yang menyeret Baiq Nuril, Senin (19/11/2018) kemarin.
Jokowi meminta Nuril dan kuasa hukum untuk mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. “Kita berharap nantinya Mahkamah Agung dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya,” ucap Jokowi.
Dukungan yang diberikan Jokowi kepada Nuril disampaikan setelah kasus Nuril kembali mencuat pekan lalu. Guru honorer di SMAN 7 Mataram itu divonis MA bersalah dalam kasus "mendistribusikan atau mentransmisikan konten kesusilaan".
Jika nantinya PK masih dianggap bermasalah, Jokowi meminta Nuril mengajukan grasi. "Memang tahapannya seperti itu. Kalau sudah mengajukan grasi ke presiden nah nanti itu bagian saya," kata Jokowi.
Dukungan Jokowi ini diapresiasi Aziz Fauzi selaku kuasa hukum Nuril. Namun, Aziz merasa Jokowi seharusnya bisa berbuat lebih dengan memberikan amnesti kepada kliennya.
"Karena grasi hanya untuk pelaku tindak pidana yang memang bersalah," kata Aziz kepada reporter Tirto, Selasa (20/11/2018).
Aziz menjelaskan Nuril adalah korban. Pengadilan tingkat pertama sudah membuktikan itu lewat putusannya, meski kemudian dibatalkan MA lewat vonis terbaru.
Alasan ini, kata dia, seharusnya menjadi pertimbangan Jokowi memberikan amnesti, apalagi masa pidana yang dijatuhkan kepada Nuril hanya enam bulan. "Amnesti bisa [diberikan] tanpa adanya permintaan," jelas Aziz.
Dorongan agar Jokowi memberikan amnesti juga disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju. Menurut Anggara, amnesti harus diberikan karena Nuril diproses hukum tanpa suatu kesalahan yang dilakukan.
Argumentasi yang disampaikan Anggara sama seperti yang disampaikan Aziz Fauzi menyangkut masa tahanan yang dijatuhkan hakim.
"Syarat grasi salah satunya hanya untuk kasus yang dijatuhi pidana lebih dari dua tahun. Sedangkan Ibu Nuril dipidana dengan pidana enam bulan penjara," kata Anggara kepada reporter Tirto.
Tak hanya itu, Anggara menegaskan, pemberian grasi sama artinya Jokowi mengajurkan Nuril mengakui dirinya berbuat kesalahan yang tidak dilakukannya.
"Grasi pada pokoknya adalah pengakuan bersalah dan meminta ampun kepada Presiden. Ibu Nuril diminta mengaku bersalah dan memohon ampun kepada Presiden tentu sangat janggal," kata Anggara.
Dorongan agar Presiden Jokowi memberikan grasi tampaknya belum akan terlaksana. Sejauh ini, Jokowi hanya membuka peluang untuk grasi.
Sebelum bicara soal grasi, Jokowi berkata dirinya menghormati proses hukum yang berjalan. "Sebagai kepala pemerintahan, saya tidak mungkin, tidak bisa intervensi putusan tersebut," kata Jokowi.
Argumentasi Jokowi ini kembali diulang Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Abdul Kadir Karding. Politikus PKB ini mengatakan grasi adalah keputusan yang tepat karena Jokowi tak bisa mengintervensi hukum.
"[Grasi ini] kecintaan pemimpin pada rakyatnya," kata Karding dalam keterangan tertulisnya.
Meski tak menyitir soal amnesti, Karding berdalih, Jokowi menaruh perhatian besar pada kasus Nuril. Ia pun berharap aparat penegak hukum meningkatkan perbaikan dan perlindungan terhadap korban, terutama perempuan, supaya tidak dijerat pidana. “Harapannya perempuan tidak saja mendapat perlindungan hukum, tapi meredam kasus-kasus kejahatan terhadap perempuan,” ucapnya.
Namun, argumen ini kembali dibantah Anggara. Menurut dia, amnesti yang akan diberikan bukan intervensi lantaran proses hukum terhadap kasus Nuril sudah selesai. Ia menyebut Presiden Jokowi bisa mengambil tindakan sesuai kewenangan yang diberikan konstitusi dan hukum yakni memberikan amnesti.
"Buat ICJR, dukungan dari Presiden itu harus konkret, ya, dalam bentuk amnesti," katanya menegaskan.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Mufti Sholih