tirto.id - Terdapat sejumlah tindak pidana yang dilarang di UU ITE (Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik). Lantas, perbuatan apa saja yang termasuk tindak pidana dalam UU ITE?
Selama ini kasus pelanggaran UU ITE yang paling sering didengar oleh publik adalah pencemaran nama baik, penghinaan, atau penyebaran hoaks melalui saluran internet, terutama media sosial. Namun, sebenarnya masih ada banyak tindak pidana lain yang juga diatur hukumannya di UU ITE.
Ketentuan mengenai sejumlah tindak pidana itu beserta ancaman hukumannya bisa ditemukan di pasal 27 hingga pasal 45 UU ITE. Contoh-contoh kasus pelanggaran pidana UU ITE itu juga sudah banyak diberitakan oleh media massa.
Sejarah UU ITE
Kemajuan teknologi informasi dan lonjakan penggunaan internet di Indonesia yang melesat sejak awal dekade 2000-an memunculkan ide pembentukan undang-undang yang mengatur komunikasi dan transaksi elektronik. Maka, kemudian muncul UU ITE (Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik).
Draf awal RUU ITE semula merupakan gabungan 2 rancangan undang-undang yang disiapkan oleh pemerintah bersama sejumlah akademisi Universitas Padjajaran (Unpad) dan Universitas Indonesia (UI).
Mengutip dari situs web Aptika Kominfo, keduanya adalah RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi (dari Unpad) dan RUU E-Commerce (dari UI). Gabungan 2 draf itu lantas diserahkan kepada DPR pada 2003 untuk dibahas.
Setelah Departemen Kominfo dibentuk tahun 2005, pembahasan RUU ITE dilanjutkan oleh Panitia Kerja (Panja) yang melibatkan 50 anggota. Pembahasan selama 2005-2007 di DPR bermuara pada pengesahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada 21 April 2008, yakni saat periode pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pemberlakuan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE yang berisi 13 bab dan 42 pasal itu menjadi babak baru pengaturan komunikasi maupun transaksi elektronik (internet) di Indonesia. Namun, penerapan sebagian pasalnya dalam kasus pidana segera mengundang kontroversi. Sebab, banyak warga dinilai malah menjadi korban kriminalisasi.
Salah satu kasus pelanggaran UU ITE yang paling menyita perhatian di awal penerapan undang-undang ini adalah pemidanaan Prita Mulyasari pada 2009. Prita digugat oleh RS Omni Internasional karena keluhannya atas pelayanan rumah sakit itu melalui surel (email) tersebar luas.
Selain sempat mendekam di penjara beberapa pekan, Prita harus menjalani persidangan panjang karena dianggap melanggar pasal 27 ayat 3 UU ITE terkait pencemaran nama. Ibu rumah tangga itu sempat divonis bebas di pengadilan tingkat pertama (PN Tangerang).
Namun, putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) pada Juli 2011 berkata sebaliknya. Prita divonis bersalah dan kena hukuman 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun.
Prita lantas mengajuan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan itu. Akhirnya, putusan PK MA pada September 2012 menyatakan Prita tidak bersalah. Prita pada akhirnya memang benar-benar bebas tetapi ia harus terbelit masalah hukum selama hampir 4 tahun.
Di luar perkara Prita, ada ratusan kasus mirip lainnya yang berujung ke pengadilan bahkan hingga berakhir di penjara. Kasus-kasus "kriminalisasi UU ITE" itu memperkuat desakan revisi UU ini.
Revisi UU ITE akhirnya dijalankan di masa periode pertama Presiden Joko Widodo, saat Rudiantara menjadi Menteri Kominfo. Hasil revisi UU ITE tersebut disahkan oleh DPR pada 27 Oktober 2016.
Sejak itu, berlaku UU Nomor 19 Tahun 2016. Ada 7 poin perubahan di revisi UU ITE. Secara resmi, UU ITE yang berlaku saat ini adalah UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sayangnya, kasus-kasus "kriminalisasi UU ITE" masih bermunculan usai revisi dilakukan. Contoh yang sempat menjadi perhatian publik nasional adalah kasus Baiq Nuril.
Pegawai honorer itu sebenarnya korban pelecehan atasannya di SMAN 7 Mataram pada 2012. Nuril merekam pelecehan verbal via telepon yang dilakukan kepala sekolah tempatnya bekerja. Dia lalu memberikan rekaman itu kepada seorang rekan kerjanya.
Namun, oleh rekan kerjanya, rekaman itu disebar ke Dinas Pemuda dan Olahraga Mataram. Hal itu membuat sang kepala sekolah melaporkan Nuril ke polisi atas tuduhan pelanggaran UU ITE.
Sebagaimana Prita, Nuril mulanya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Mataram. Namun, banding jaksa justru dikabulkan Mahkamah Agung. Putusan kasasi MA pada November 2018 menjatuhkan vonis hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta kepada Nuril. MA menilai Baiq Nuril bersalah melanggar pasal 27 ayat 1 UU ITE.
Putusan MA tersebut segera menuai banyak kritik baik dari aktivis, akademisi, hingga masyarakat umum. Nuril baru bisa bernapas lega dan bebas dari jeratan hukum setelah mendapat amnesti dari Presiden Joko Widodo. Keppres Amnesti Baiq Nuril resmi terbit pada 29 Juli 2019.
Banyak pihak selama ini menyesalkan masih adanya beberapa pasal karet di UU ITE yang kerap memicu kriminalisasi warga. Contoh beberapa ketentuan karet di UU ITE yang kerap disorot ialah pasal 27 ayat 1 (memuat konten melanggar kesusilaan), pasal 27 ayat 3 (pencemaran nama baik), pasal 28 ayat 2 (menyiarkan kebencian), serta pasal 29 (ancaman kekerasan). Karena itu, hingga kini desakan untuk merevisi UU ITE masih terus terdengar.
Revisi pada 2016 belum menghapus pasal-pasal karen itu. Rencana revisi UU ITE yang kedua pun sudah diusulkan oleh pemerintah, tetapi hingga Agustus 2022 belum mendapatkan persetujuan dari DPR.
Tindak Pidana dalam UU ITE dan Pasal-pasalnya
Ketentuan mengenai sejumlah tindak pidana yang dilarang UU ITE dan ancaman hukumannya bisa ditemukan di pasal 27 hingga pasal 45 undang-undang tersebut. Berikut daftar perbuatan tindak pidana yang dilarang dalam UU ITE.
1. Pasal 27
Mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan:
-Asusila (ayat 1)
-Perjudian (ayat 2)
-Pencemaran nama baik (ayat 3)
-Pemerasan dan/atau pengancaman (ayat 4)
2. Pasal 28
-Menyebarkan berita bohong yang merugikan konsumen di transaksi elektronik (ayat 1)
-Menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) (ayat 2)
3. Pasal 29
Ancaman kekerasan atau menakut-nakuti.
4. Pasal 30
Mengakses sistem elektronik milik orang lain:
-Dengan cara apa pun (ayat 1)
-Mengakses dan mengambil (ayat 2)
-Menerobos (ayat 3)
5. Pasal 31
Melakukan intersepsi atau penyadapan:
- Sistem elektronik milik orang lain (ayat 1)
- Dari publik ke privat dan/atau sebaliknya (termasuk mengubah dan/atau tidak mengubah) (ayat 2)
6. Pasal 32
Larangan perubahan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik:
-Pengubahan, pengrusakkan, memindahkan, menyembunyikan (ayat 1)
-Memindahkan ke tempat yang tidak berhak (ayat 2)
-Membuka dokumen atau informasi rahasia (ayat 3)
7. Pasal 33
Mengganggu sistem elektronik.
8. Pasal 34
Larangan menyediakan atau memfasilitasi:
-Perangkat keras atau perangkat lunak untuk memfasilitasi pelanggaran pasal 27 sampai dengan pasal 33
-Sandi lewat komputer, kode akses atau sejenisnya untuk memfasilitasi pelanggaran pasal 27 sampai dengan pasal 33
9. Pasal 35
Pemalsuan dokumen elektronik dengan cara manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, dan perusakan.
Penulis: Ririn Margiyanti
Editor: Addi M Idhom