tirto.id - Tuak merupakan minuman yang bahan pembuatnya berasal dari hasil fermentasi hingga disebut-sebut memiliki kandungan alkohol. Bagaimana hukum tuak dalam Islam? Apakah halal atau haram?
Kabar kemunculan produk dengan nama “tuak”, “beer”, dan “wine” bersertifikat halal membikin heboh. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemeng) akhirnya turun tangan dan memberikan klarifikasi terkait masalah ini.
BPJPH menegaskan produk yang mendapatkan sertifikat halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal berarti telah terjamin kehalalannya, baik dari segi zat/bahan yang digunakan maupun proses pembuatan.
Kontroversi lalu muncul terkait pemilihan nama produk tersebut. Misalnya nama yang digunakan adalah "tuak". Selama ini, tuak memang identik dengan minuman yang mengandung alkohol.
Oleh karena itu, memberi label minuman halal dengan nama "tuak" bisa jadi bakal memicu pro kontra. Di sisi lain, bagaimana sebenarnya hukum tuak dalam Islam? Halal atau haram?
Apa Itu Tuak dan Bahan Pembuatannya?
Tuak adalah minuman yang mengandung alkohol dan dihasilkan dari fermentasi nira. Nira sendiri adalah cairan manis yang biasanya didapatkan dari pohon-pohon palma, seperti kelapa, nipah, hingga siwalan.
Nira sering digunakan sebagai bahan baku gula merah. Ada pula nira yang dibuat minuman. Misalnya legen yang dihasilkan dari nira pohon siwalan atau lontar.
Nira yang masih segar memiliki rasa manis dan mengandung sedikit alkohol atau tidak sama sekali. Menurut jurnal "Kadar Alkohol Pada Air Nira (Arenga Pinnata) Berdasarkan Penambahan Susu Dan Tanpa Penambahan Susu" yang ditulis Luthfiyah Purnama Juwita, Farach Khanifah, dan Iva Milia Hani Rahmawati, nira yang baru dipanen memiliki kadar alkohol 0,025% per 100 ml.
Untuk membuat tuak, air nira harus melalui masa fermentasi terlebih dahulu. Proses fermentasi menyebabkan nira yang semula manis berubah lebih asam akibat terbentuk asam asetat.
Tak hanya itu, nira yang terfermentasi juga mengandung alkohol. Minuman ini kemudian disebut dengan tuak.
Selain dari nira, tuak juga bisa dibuat dari bahan baku beras (umumnya beras ketan) yang difermentasi menggunakan ragi. Ragi memecah pati beras menjadi gula. Sedangkan gula akan berubah menjadi alkohol.
Hukum Tuak dalam Islam
Hukum Islam terkait minuman keras mengandung alkohol dan memabukkan adalah haram. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan minuman dengan kadar alkohol 0,5% atau lebih dinyatakan sebagai minuman yang haram dalam Islam.
Tuak merupakan minuman yang mengandung alkohol. Kadar alkohol di dalamnya pun bisa bervariasi antara 5-20%. Oleh karena itu, tuak masuk dalam kategori khamr atau minuman keras dan hukumnya haram.
Meski demikian, terjadi perdebatan perihal tuak yang dibuat dari beras. Tuak beras diperoleh dari air hasil fermentasi beras ketan dengan ragi.
Beras ketan yang terfermentasi secara umum dikenal dengan sebutan tapai atau tape, salah satu makanan khas yang sering dikonsumsi masyarakat.
Lantas, bagaimana hukumnya? Jika airnya dihukumi haram, apakah tapai juga makanan yang haram karena mengandung alkohol?
MUI menjelaskan semua jenis minuman yang proses produksi ditujukan untuk membuat minuman memabukkan (khamr) adalah haram, termasuk tuak. Tidak ada tawar-menawar terkait hukum minuman yang satu ini.
Khamr sudah pasti mengandung alkohol dan haram, tapi alkohol belum tentu termasuk khamr yang diharamkan. Sebagai contoh, buah durian diketahui mengandung alkohol, tapi ulama tidak mengharamkan makan durian.
Hal ini juga berlaku pada makanan tapai yang bisa jadi mengandung alkohol, tapi tidak termasuk khamr. Selain itu, masyarakat tidak ada yang sengaja membuat tapai untuk dijadikan bahan yang memabukkan, melainkan dijadikan makanan biasa atau camilan.
Imam Abu Hanifah (Mazhab Hanafi) menyebutkan bahwa makanan seperti durian dan tapai disebut dengan nabidz. Akan tetapi, nabidz yang dapat menyebabkan mabuk bisa dihukumi haram. Sedangkan nabidz yang tidak memabukkan termasuk halal.
Penulis: Erika Erilia
Editor: Beni Jo & Yulaika Ramadhani