tirto.id - Bakal calon presiden dari Koalisi Perubahan, Anies Baswedan menilai hukuman yang pantas untuk seorang koruptor adalah dimiskinkan. Menurut Anies hukuman ini paling ampuh membuat efek jera bagi koruptor.
"Apa hukuman yang paling menjerakan dalam partai korupsi? Dimiskinkan. Dimiskinkan, diambil hartanya, disita hartanya karena itu yang paling ditakuti oleh semua koruptor," ujar Anies dalam Kuliah Kebangsaan di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (29/8/2023).
Anies mengatakan setidaknya ada tiga hal yang memicu seseorang melakukan korupsi, yaitu kebutuhan, keserakahan, dan sistem. Menurut Anies, masing-masing pemicu itu harus bisa dicarikan solusi untuk pemberantasannya.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan korupsi karena kebutuhan biasanya muncul karena gaji yang tidak cukup. Oleh karenanya, sistem remunerasi atau pemberian insentif pada karyawan harus diperbaiki.
Sedangkan, korupsi karena keserakahan lebih berat karena biasanya dilakukan tanpa batas. Sehingga mau tidak mau harus dijerat dengan hukuman yang menjerakan.
"Ketika ada hukuman yang menjerakan, maka hukuman yang menjerakan itu akan meredam greed dan itu akan menjadi rasa takut. Tapi kalau hukuman tidak menjerakan, maka keserakahan akan mencari jalannya," ungkap Anies.
Sebelumnya Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati terhadap koruptor. Pengkajian hukuman mati dilakukan untuk kasus korupsi seperti Asabri dan Jiwasraya, dua kasus mega korupsi yang menimbulkan kerugian negara dan merugikan masyarakat.
Kasus korupsi seperti PT Jiwasraya menimbulkan kerugian negara sebesar Rp16,8 triliun, sedangkan korupsi PT Asabri lebih besar lagi yakni Rp22,78 triliun.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Simanjuntak mengatakan proses pengkajian tetap memperhatikan aspek hukum positif dan nilai-nilai HAM. Tujuannya untuk memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara.
Saat ini klausul hukuman mati terdapat di UU Tipikor dan hanya menyasar terdakwa korupsi dalam keadaan kasus tertentu: bencana dan krisis.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto