Menuju konten utama

Aneka Jurus Ahok Bertahan Jadi DKI-1

Basuki Tjahaja Purnama memutuskan meninggalkan jalur independen dan beralih ke jalur partai politik untuk melaju ke kursi DKI-1. Keputusan itu justru diambil setelah sejuta fotokopi KTP dukungan berhasil dikumpulkan relawan Teman Ahok.

Aneka Jurus Ahok Bertahan Jadi DKI-1
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (tengah), perwakilan partai politik Nasdem, Hanura, dan Golkar, serta perwakilan dari Teman Ahok berfoto bersama saat halal bihalal di markas Teman Ahok, Pejaten, Jakarta, Rabu (27/7). [antara foto/reno esnir/kye/16]

tirto.id - Ahok memang sosok kontroversial. Pada awalnya, ia begitu percaya diri bakal maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta melalui jalur independen. Teman Ahok, sebagai pendukung setianya, bersusah payah mengumpulkan 1 juta KTP untuk memuluskan jalannya. KTP dukungan terkumpul. Sayangnya, Ahok malah menganulir keputusannya. Rayuan maut partai politik akhirnya membuat Ahok goyah. Ia memutuskan pindah ke jalur partai politik. Ahok menyebutnya sebagai uji coba demokrasi.

“Sekarang logikanya begini, mau tidak tiga parpol dukung saya kalau mereka tak yakin KTP bisa meloloskan saya? Makanya itu menjadi titik temu (parpol dan Teman Ahok)," kata Ahok soal dukungan dari Partai Nasdem, Hanura dan Golkar, saat dicegat tirto.id di Balai Kota DKI Jakarta, pada Jumat (29/7/2016).

Ahok mungkin benar, bahwa antara Teman Ahok dan tiga parpol telah saling memahami demi mewujudkan harapan agar Ahok kembali terpilih menjadi gubernur dalam perhelatan Pilkada DKI Jakarta, pada Februari 2017.

Namun tetap saja muncul pertanyaan menggantung dari para simpatisan Ahok yang telah rela mengisi formulir dukungan dan rela KTP-nya di fotokopi: apa sebenarnya kepentingan Ahok sejak awal menyatakan maju melalui jalur independen?

“Kalau Teman Ahok sama saya, kepentingannya untuk membuktikan bahwa kalau kamu berpolitiknya tidak menerima suap, tidak berpihak, pasti kamu laku,” jawab Ahok.

Menurut Ahok, uji coba demokrasi yang dilakukan melalui Teman Ahok belum selesai. Ahok kemudian menyebut soal proses demokrasi di Amerika Serikat, di mana para simpatisan rela membayar untuk menghadiri kampanye kandidat yang didukungnya. “Nah sekarang, kita belum uji coba pendukung ini mau keluar duit gitu lho,” katanya.

Tak hanya itu, Ahok juga ingin melihat, dari pendukungnya yang sejuta itu, berapa orang yang nantinya siap menjadi saksi di TPS buat dirinya. Tentu dengan catatan, tanpa uang transpor seperti dilakukan partai politik.

Selain itu, juga menakar seberapa banyak pendukungnya yang ikhlas menyumbang buat dana kampanye. “Jumlahnya Rp 10 ribu juga tidak apa-apa. Syukur-syukur Rp 50 ribu kan? Kalau Rp 50 ribu kan jadinya Rp 50 miliar. Tapi ini satu uji coba demokrasi yang baik buat kita. Pertama kali dalam sejarah, orang-orang menyumbang Rp 50 ribu. Lumayan loh Rp 50 miliar,” katanya.

Cukup Buat Maju

Apapun alasan Ahok, satu hal yang sudah pasti, dukungan dari tiga parpol telah memenuhi persyaratan untuk mengusung dirinya saat proses pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur melalui jalur parpol dibuka pada September mendatang.

Hitungannya, jumlah anggota DPRD DKI Jakarta sebanyak 106 anggota atau kursi. Adapun jumlah suara yang berhasil digalang Ahok dari ketiga partai adalah 24 kursi, yakni Golkar 9 kursi, Nasdem 5 kursi, dan Hanura 10 kursi.

Jika melihat UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, maka diperlukan 20 persen kursi atau 25 persen suara sah hasil Pemilu 2014. Jika dilihat dari jumlah kursi saja, maka Ahok minimal harus memiliki 21 kursi. Artinya, jumlah 24 kursi dari tiga parpol pendukung sudah lebih dari cukup untuk lolos pencalonan.

Persoalannya, cukupkah dukungan dari ketiga parpol untuk memenangi Pilkada 2017?

Jika melihat hasil survei terbaru atas tingkat elektabilitas para calon gubernur DKI Jakarta, Ahok masih boleh berbesar hati. Berdasarkan survei Top of Mind yang dilakukan Populi Center pada Juni 2016, elektabilitas Ahok mencapai 51,2 persen. Persentase ini meningkat dari survei pada April 2016 yang angkanya 50,8 persen. Sosok lain di bawah Ahok adalah Yusril Ihza Mahendra dengan angka 10,2 persen.

Namun, Ahok pastilah mempunyai hitungan tersendiri demi memastikan langkahnya memenangi Pilkada. Yakni mencoba mengambil dukungan dari PDI Perjuangan yang memiliki 28 kursi di DPRD DKI dan merupakan partai pemenang di Pemilu 2014.

Dukungan dari Megawati dan PDIP bakal sangat penting. Pertama, menambah besar peluang menang pada Pilkada. Kedua, menambah jumlah pendukung di DPRD DKI Jakarta agar tak banyak 'masalah' jika nantinya menang dan kembali menjabat.

Oleh sebab itu, wajar jika Ahok terus berupaya melakukan pendekatan ke Megawati melalui Presiden Jokowi. Salah satunya saat ikut semobil dengan Megawati saat menuju Rapimnas Partai Golkar pada Kamis malam (28/7/2016). Tak hanya Mega dan Jokowi di dalam mobil, tapi juga Puan Maharani, puteri Megawati.

Ahok pun tak menampik bahwa dia mencoba “merayu” Megawati. “Ya saya ngomong saja. Saya sampaikan, 'Bu, saya sudah putuskan sama Teman Ahok (gandeng) tiga partai. (Maju Pilkada) Pakai parpol'. Lalu dia bilang, 'Di PDIP kita ada mekanisme',” kata Ahok mengutip pembicaraannya dengan Megawati.

Tertutupkah dukungan PDIP dengan jawaban Megawati tersebut?

Menarik menyimak apa yang disampaikan Eva Kusuma Sundari, anggota DPR dari Fraksi PDIP. Menurutnya, melobi Ketua Umum DPP PDIP tanpa melalui mekanisme organisasi tidak akan efektif.

Apalagi faktanya, Ahok juga tak menunjukkan minat untuk mendaftar secara resmi sebagai calon gubernur ke PDIP. “Dia (Ahok) menolak ikut mekanisme. Sementara Bu Mega minta mekanisme ditempuh. Bu Mega disiplin dalam berorganisasi,” kata Eva kepada tirto.id.

Jika melihat jawaban Eva, agaknya peluang Ahok memang kecil meski tidak bisa disebut tidak ada. Peluang Ahok masih besar jika ia menggandeng Djarot Saiful Hidayat yang notabene adalah kader banteng untuk menjadi calon wakil gubernur.

Setia Pada Tujuan

Nada miring terkait keputusan Ahok yang mengubah jalur pencalonan muncul dari kader Partai Gerindra yang dulu pernah “dikhianati” Ahok saat Pilkada DKI Jakarta 2012. “Ya namanya Ahok itu, mana yang paling menguntungkan dia,” kata Desmond Junaidi Mahesa, Ketua DPP Partai Gerindra.

Sebagai partai yang dipastikan tak mendukung Ahok, Partai Gerindra melalui Rapat Koordinasi Nasional, telah memilih Sandiaga Uno sebagai calon gubernur buat menandingi Ahok.

“Pak Prabowo (Prabowo Subianto) sudah menetapkan Sandiaga Uno untuk berada di garis depan mengimbangi Ahok. Kemudian diputuskan akan berkoalisi dengan partai-partai yang satu visi tidak mendukung Ahok,” kata Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra.

Partai-partai mana sajakah yang berpotensi tak mendukung Ahok? Selain Gerindra, tampaknya PKS dan PAN sudah hampir pasti tak mendukungnya. “Saya kira PAN sedang mengkaji calon selain Ahok dan kita akan lihat kemungkinan besar PAN akan mendukung selain Ahok,” kata Eddy Soeparno, Sekjen PAN.

Terlepas siapapun bakal calon Ahok, menarik menyimak pendapat Philips Jusario Vermonte, Head Department of Politics and International Relations, CSIS, tentang Ahok yang mengubah jalur pencalonan.

“Jika banyak yang bilang Ahok plin-plan, menurut saya Ahok itu orang yang setia pada tujuannya,” kata Philips kepada tirto.id, pada Jumat (29/7/2016). Jika untuk mencapai tujuan harus menggunakan parpol, Ahok bakal memakai parpol. Kalau harus melalui jalur independen, Ahok juga bakal menempuhnya.

Ahok memang bebas menentukan pilihan demi menggapai impian kembali menjadi gubernur. Sebagai politisi kawakan yang pernah mengunakan jasa Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) untuk menjadi Bupati Belitung Timur, menjadi anggota DPR RI dari Partai Golkar, atau menjadi Wagub DKI berkat dukungan PDIP dan Gerindra, kini Ahok pasti sudah menyiapkan strategi tersendiri.

“Dia tidak loyal pada kendaraannya, tetapi loyal pada tujuannya,” tegas Philips sekali lagi. Begitulah Ahok.

Baca juga artikel terkait PILKADA DKI JAKARTA atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Indepth
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti