tirto.id - Singgih Widiyastono terlihat lesu. Kekecewaan tidak bisa disembunyikan dari wajahnya. Dia dan empat teman pendiri Teman Ahok harus menerima kenyataan pahit dan harus rela menerima fakta bahwa Ahok maju bersama partai politik.
“Amalia sampai sakit, kita semua kecewa. Tapi itulah keputusan bapak,” kata Singgih pada tirto.id, saat ditemui di markas Teman Ahok di Pejaten, Jakarta Selatan, pada Jumat (29/7/2016).
Teman Ahok didirikan memang bertujuan memberikan dukungan kepada pemilik nama lengkap Basuki Tjahaja Purnama untuk maju lagi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dukungan itu berupa pengumpulan KTP sebagai syarat Ahok maju melalui jalur perseorangan.
Teman Ahok punya alasan khusus mengapa mendorong Ahok maju melalui jalur perseorangan. Alasan itu terpampang jelas dalam situsweb temanahok.com:
“Hari ini, Teman Ahok berfokus mengumpulkan KTP warga DKI dalam rangka mendukung Ahok menjadi Calon Gubernur Independen DKI Jakarta 2017. Ini dilakukan untuk mendukung Ahok terus konsisten hanya merasa berhutang pada rakyat, bukan pada Partai Politik.”
Bermodal tekad menyelamatkan Ahok dari utang terhadap partai politik itulah, para relawan pun bekerja keras menggalang dukungan. Hasilnya pun membuat banyak orang tercengang, termasuk partai politik. Lebih dari sejuta KTP terkumpul untuk mendukung Ahok melalui jalur perseorangan. Tidak hanya KTP, miliaran uang pun terkumpul dari hasil penjualan kaos dan asesoris lainnya untuk kepentingan kampanye. Sampai saat ini, Teman Ahok masih memiliki Rp 1,6 miliar hasil dari fund rising itu.
Menjadi Mimpi Buruk
Sebenarnya "drama" Teman Ahok nyaris berakhir bahagia. Selangkah lagi, Ahok dan Teman Ahok akan mencatat sejarah baru di Indonesia, gubernur independen pertama di ibu kota. Sayangnya tidak terjadi. Partai-partai mulai berhitung kekuatan dan akhirnya memberikan dukungan pada Ahok.
Singgih pun bercerita ikhwal bergabungnya tiga partai, yakni Nasdem, Hanura dan Golkar, yang akhirnya memberikan dukungan kepada Ahok. Mulanya, Teman Ahok tidak diperhitungkan oleh partai politik. Apalagi saat awal menjadi gubernur meneruskan Jokowi, Ahok kerap bermusuhan dengan kader parpol di DPRD.
Tapi siapa sangka, gerakan Teman Ahok membesar. Saat Teman Ahok berhasil mengumpulkan 500 ribuan KTP, Nasdem pun menyatakan diri bergabung. Dukungan ternyata makin besar dan cepat.
Saat terkumpul 700 ribuan KTP, beberapa elite Teman Ahok dipanggil Wiranto, Ketua Umum Partai Hanura. Intinya, Hanura menyatakan mendukung jagoan mereka.
Kemudian setelah sejuta KTP terkumpul, Golkar turut merapat. “Akhirnya mimpi buruk datang ketika Golkar masuk. Tiga partai itu punya 24 kursi di DPRD, sudah cukup untuk mencalonkan calon gubernur,” ujar Singgih.
Dengan dukungan tiga partai tersebut, Ahok secara resmi memiliki dua kendaraan, yakni sejuta KTP dan koalisi tiga partai. Munculnya opsi ini membuat Teman Ahok dihadapkan pada pilihan yang sulit.
“Sinyal-sinyal bapak akan ke parpol terlihat dari sebulan lalu. Kita bilang ke bapak bahwa kita sudah sangat siap sekali buat maju independen. Kenapa harus pilihan partai politik? Sebenarnya kita pengen bapak tetap maju independen. Tapi memang pilihan sudah dilakukan, kami tidak bisa melakukan apa-apa, legowo-lah,” urai Singgih.
Keberhasilan Jadi Blunder
Munculnya opsi kendaraan parpol nampaknya tidak diprediksi oleh Teman Ahok. Dalam benak Teman Ahok, jagoannya akan mengalami kesulitan untuk kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta. Asumsi itu didasarkan pada pengalaman Ahok yang selalu bertentangan dengan partai, bahkan partainya sendiri, Gerindra.
Fakta menunjukkan, pada September 2014, Ahok resmi melayangkan surat berhenti menjadi kader partai yang dirikan oleh Prabowo. Tidak hanya itu, Ahok juga bersitegang dengan para wakil rakyat di DPRD dalam kasus dugaan mark up dana APBD DKI Jakarta. Sampai-sampai muncul rencana pemakzulan Ahok sebagai gubernur oleh DPRD DKI Jakarta.
Peta politik itu yang menjadi dasar Teman Ahok menyiapkan kendaraan bagi Ahok untuk tetap maju dalam Pilkada 2017. Dalam Mukadimah Teman Ahok, mereka menyebutkan bahwa tidak ada kendaraan partai politik yang bisa digunakan Ahok untuk maju.
“Salah satunya adalah tidak adanya kendaraan yang bisa dijadikan Ahok sebagai syarat awal untuk bisa dicalonkan dalam pemilihan Gubernur DKI tahun 2017. Ahok akan kesulitan untuk maju kembali dalam Pilkada DKI melalui partai politik,” tulis Mukadimah Teman Ahok pada paragraf terakhir.
Faktanya, analisis itu salah. Banyaknya dukungan pada Ahok melalui Teman Ahok justru membuat daya tawar Ahok semakin besar di mata parpol. Ahok seolah tidak lagi terbendung dan tiada tanding. Wacana mendatangkan para jagoan seperti Ridwan Kamil dan Tri Rismaharini demi melawan Ahok menunjukkan partai-partai mulai frustasi.
Pada titik itu, Teman Ahok berhasil membuat Ahok makin ditakuti oleh partai, sekaligus makin seksi di mata partai. Mereka bahkan berhasil menggiring partai pada pilihan sulit: mendukung Ahok atau dilibas.
Sayangnya, posisi tawar Ahok yang besar menjadi blunder bagi Teman Ahok. Ahok menjadi tidak tergantung pada Teman Ahok, karena tiga partai secara resmi sudah memberikan dukungan. Alih-alih bisa mendukung Ahok melalui jalur perseorangan yang independen, Teman Ahok justru "dicampakkan". Untuk menentukan siapa calon wakil gubenur yang akan menemani Ahok pun, Teman Ahok seperti kehilangan kepercayaan diri. “Teman Ahok maunya Heru jadi wakil. Kalau sama Djarot oke,” ujar Singgih.
Inkonsistensi Perjuangan Teman Ahok
Kekecewaan Teman Ahok yang diungkapkan oleh Singgih adalah hal yang lumrah. Risiko dalam politik semacam itu sudah disadari oleh lima pendiri Teman Ahok. Namun perjuangan harus tetap berlanjut. Meski "dikhianati" oleh Ahok, mereka tetap berada pada garis perjuangan, memenangkan Ahok dalam Pilkada.
Teman Ahok optimistis, mereka akan tetap bisa memenangkan Ahok bersama dengan tiga partai yang sudah menyatakan dukungan pada Ahok.
Pilihan meneruskan perjuangan bersama partai itu mendatangkan konsekuensi. Sadar atau tidak, Teman Ahok mengkhianati semangat dan cita-cita mereka sendiri, yakni mendukung Ahok melalui jalur perseorangan. Singkatnya, perjuangan Teman Ahok membebaskan Ahok dari jerat parpol sudah gagal.
Lucunya pada saat yang bersamaan, Teman Ahok justru keberatan jika PDI Perjuangan nantinya bergabung. Menurut Singgih, selama ini PDI Perjuangan selalu berseberangan dengan Teman Ahok. Apa yang dilakukan Teman Ahok selalu salah di mata PDI Perjuangan.
“Kalau kami mungkin harus mengambil sikap kembali ke pekerjaan masing-masing. Teman Ahok bukan dibubarkan, tapi tidak aktiflah. Bukan tidak mau (PDI Perjuangan bergabung). Itu kan urusan bapak. Tapi kami kurang setuju,” tegas Singgih.
Sikap Teman Ahok ini seperti ABG labil yang galau dan kecewa karena diduakan pacarnya, tapi tak ikhlas diputus. Mulanya mereka ingin Ahok maju melalui jalur perseorangan. Setelah Ahok memutuskan maju melalui partai, mereka kecewa. Meski kecewa, mereka tetap mendukung Ahok bersama Nasdem, Hanura dan Golkar. Namun, jika PDI Perjuangan bergabung, mereka memilih mundur.
Mungkin Teman Ahok perlu belajar pada adagium politik, bahwa tidak ada teman atau musuh abadi dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Lagi pula mereka hanyalah 'Teman Ahok'. Tanpa 'Ahok' mereka hanya 'Teman'. Temannya siapa? Bisa siapa saja. Mungkin temannya Nasdem, Hanura, Golkar, PDI Perjuangan, atau bahkan Haji Lulung.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho