tirto.id - Pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) atau Komite Dewan Federal Reserve akan berlangsung awal Agustus 2018 untuk menetapkan kebijakan moneter termasuk tingkat suku bunga acuan yang dibebankan kepada industri perbankan Amerika Serikat (AS). Sebagai pertemuan rutin, agenda ini memang biasa, tapi tentu saja patut jadi perhatian dunia menyusul rencana besar bank sentral AS atau Federal Reserve alias The Fed di 2018 dan tahun depan.
Menurut Gubernur Bank Sentral AS, Jerome Powell, pihaknya berencana untuk kembali menaikkan tingkat suku bunga acuan di tahun ini karena kondisi ekonomi AS saat ini dinilai cukup kuat.
“Cara terbaik ke depan adalah dengan kembali menaikkan fed fund rate secara bertahap,” sebut Powell di hadapan Komite Senat Perbankan AS seperti dikutip dari CNN Money pada medio Juli lalu.
Kondisi ekonomi AS saat ini dinilai sehat, sejak krisis keuangan yang terjadi. Angka pengangguran cukup rendah dan diperkirakan akan terus menurun. Pertumbuhan upah pekerja juga mulai meningkat. Tingkat inflasi saat ini berada di level yang dianggap sehat bagi perekonomian AS oleh The Fed.
“Tantangannya adalah untuk tetap mempertahankan inflasi pada target sebesar 2 persen,” imbuh Powell masih dilansir dari CNN Money.
Sepanjang 2018, The Fed telah dua kali menaikkan suku bunga acuan dengan kenaikan terakhir dilakukan pada Juni kemarin. Diperkirakan, akan ada dua kenaikan suku bunga acuan lagi di tahun ini dan tiga kali kenaikan di tahun 2019. Hasil rapat FOMC dan penantian pengumuman kenaikan Fed Fund Rate (FFR) menjadi hal yang ditunggu-tunggu sekaligus diantisipasi oleh bank sentral negara-negara lain di dunia.
Sebab, keputusan bank sentral AS mengenai FFR, turut memengaruhi kebijakan negara lain dalam mengambil sikap dan menetapkan tingkat suku bunga acuannya. Berbeda dengan Indonesia yang Rapat Dewan Gubernur Bank Sentral diadakan setiap satu bulan sekali, rapat FOMC digelar selama 8 kali sepanjang tahun dengan jadwal yang telah ditetapkan sebelumnya.
Setelah menggelar empat kali rapat dan menaikkan FFR sebanyak dua kali, maka tersisa empat jadwal rapat FOMC dan dua kali kesempatan The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan di tahun ini. Banyak analis pasar maupun ekonom yang menilai, kemungkinan besar The Fed baru akan mengumumkan kenaikan FFR pada rapat FOMC bulan September mendatang.
Stephen Massocca, Senior Vice Presiden Wedbush Securities, San Francisco salah satunya yang berpendapat demikian. Menurutnya, jika kondisi ekonomi AS berjalan baik seperti sekarang, kemungkinan besar The Fed akan mengumumkan kenaikan FFR pada pertemuan FOMC di September mendatang. Namun, jika pertumbuhan ekonomi AS yang di klaim The Fed saat ini tidak bisa bertahan dan rontok pada akhir Agustus atau awal September, “Saya ragu The Fed akan menaikkan suku bunga dan memilih mempertahankannya,” jelas Stephen seperti dilansir dari Reuters awal Juli lalu.
Hal yang sama juga disampaikan oleh David Sumual, analis PT Bank Central Asia (BCA) Tbk. Menurut David, kombinasi tren berbagai data pertumbuhan ekonomi terkini di AS seperti data manufaktur Purchasing Managers Index (PMI), perumahan, tingkat penyerapan tenaga kerja dan juga indikator lainnya yang menunjukkan perbaikan, menjadi stimulus The Fed dalam mengambil keputusan menaikkan FFR pada September mendatang.
Oleh karena itu, menurut David, Bank Indonesia (BI) yang kebijakannya ahead the curve atau melakukan antisipasi kenaikan FFR terlebih dahulu, kemungkinan besar akan mengumumkan kenaikan 7-Day Repo Rate sebagai hasil Rapat Dewan Gubernur BI yang digelar pada 16 Agustus. Implikasinya tak hanya soal suku bunga tapi juga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Kenaikan ini sebagai bentuk langkah ahead the curve yang dilakukan BI sekaligus antisipasi kondisi ekonomi eksternal dan kebijakan The Fed," jelas David kepada Tirto.
Menilik kondisi ekonomi AS seperti yang diungkapkan Jerome Powell, The Fed percaya bahwa ekonomi AS cukup kuat untuk tetap berada pada di jalurnya di antaranya tercermin dari angka pengangguran rendah yang diperkirakan akan terus mengalami penurunan yang signifikan. “Penduduk AS yang menginginkan pekerjaan, memiliki peluang yang bagus untuk mendapatkan pekerjaan,” sebut Powell seperti yang dilansir dari CNBC.
Rata-rata sebanyak 215 ribu pekerjaan baru tersedia setiap bulannya disepanjang paruh pertama tahun ini. Angka tersebut, kata Powell, lebih tinggi dibanding rata-rata bulanan ketersediaan lapangan kerja tahun 2017. Angka ini juga lebih tinggi dibanding rata-rata jumlah penduduk yang memasuki angkatan kerja setiap bulannya.
Tingkat pengangguran turun 0,1 basis poin selama enam bulan pertama 2018 dan turun menjadi 4 persen pada Juni kemarin, mendekati tingkat pengangguran terendah dalam dua dekade terakhir. Meski pertumbuhan ekonomi AS sepanjang paruh pertama 2018 hanya tumbuh di kisaran 2 persen, tapi Powell menegaskan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal II-2018 akan jauh lebih kuat dibanding sebelumnya.
Upah pekerja yang meningkat mendorong peningkatan pendapatan setelah pajak serta optimisme rumah tangga juga telah mendorong peningkatan belanja konsumen di beberapa bulan terakhir. Investasi bisnis juga terus tumbuh di tingkat yang sehat. Meski demikian, bank sentral merasa kesulitan dalam memprediksi dampak meningkatnya ketegangan perdagangan AS terhadap perekonomian.
Menurut Powell, kondisi perdagangan saat ini muncul sebagai faktor yang tidak pasti dalam perencanaan The Fed ke depan. Pemerintahan Donald Trump saat ini sedang mempersiapkan untuk kembali membebankan tarif barang-barang produk impor Cina senilai $200 miliar. Padahal sebelumnya, AS telah memberlakukan bea masuk impor sebesar 25 persen untuk produk asal Cina senilai $34 miliar.
“Tidak ada ketentuan tetap untuk perselisihan perdagangan yang begitu luas ini, sehingga sulit untuk mengetahui bagaimana ini akan berubah,” kata Powell.
Di Luar Moneter Tak Kalah Penting
Agenda ekonomi Agustus yang patut jadi perhatian adalah pertemuan sesi kedelapan Komite Ahli Manajemen Informasi Geospasial Global atau Global Geospatial Information Management (GGIM) yang digelar pada 1-3 Agustus 2018 di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat (AS). Ini merupakan pertemuan tahunan PBB yang memperkenalkan kerjasama internasional di bidang manajemen informasi geospasial global.
Komisi Ahli Manajemen Informasi GGIM merupakan mekanisme antar pemerintah di PBB untuk membuat keputusan bersama dan menetapkan arah tentang produksi, ketersediaan dan penerapan informasi geospasial dalam kerangka kebijakan nasional, regional dan global. Komite Ahli bertujuan untuk mengatasi tantangan global terkait penerapan informasi geospasial, termasuk dalam agenda pembangunan, dan pembuatan kebijakan global di bidang manajemen geospasial.
Indonesia di Agustus ini, juga sedang meluncurkan Kebijakan Satu Peta atau One Map Policy, yang memiliki konsep menyatukan seluruh informasi peta yang diproduksi berbagai sektor ke dalam satu peta secara integratif. Jadi, tidak terdapat perbedaan ataupun tumpang tindih formasi dalam peta yang ditetapkan BIG, karena dalam perumusannya terdapat 85 jenis peta tematik mencakup data 34 provinsi di Indonesia yang melibatkan 19 Kementerian dan Lembaga.
Menurut Hasanuddin Z. Abidin, Kepada Badan Informasi Geospasial (BIG) (PDF), kebijakan satu peta ini memiliki berbagai manfaat di antaranya mempermudah penyusunan perencanaan pemanfaatan ruang skala luas dengan dokumen Rencana Tata Ruang yang terintegrasi. Selain itu juga mempermudah dan mempercepat penyelesaian konflik pemanfaatan lahan termasuk batas wilayah.
Manfaat lainnya adalah mempercepat pelaksanaan berbagai program pembangunan baik pengembangan kawasan maupun infrastruktur, mempermudah dan mempercepat penyelesaian batas daerah seluruh Indonesia, mempermudah dan mempercepat proses percepatan penerbitan perizinan yang terkait dengan pemanfaatan lahan, meningkatkan keandalan informasi terkait lokasi dari berbagai aktivitas ekonomi karena dapat memberikan kepastian usaha atau investasi, serta mempermudah pelaksanaan simulasi yang menggunakan peta seperti mitigasi bencana dan menjaga kelestarian lingkungan maupun keperluan pertahanan.
Mitigasi bencana penting untuk dilakukan, karena terdapat pengeluaran atau biaya ekonomi dari setiap bencana yang terjadi. Contohnya saja, biaya ekonomi yang diakibatkan kebakaran hutan Indonesia yang terjadi pada 2015, mencapai $16,1 miliar atau setara dengan Rp221 triliun, menurut laporan Bank Dunia berjudul The Cost of Fire, An Economic Analysis of Indonesia’s 2015 Fire Crisis (PDF).
Delapan provinsi di Indonesia mengalami kebakaran dengan total lahan yang terbakar di Indonesia mencapai 2,6 juta hektare lahan. “Sejalan dengan pola historis, Pulau Sumatera dan Kalimantan yang sebagian besar merupakan lahan gambut yang rentan terbakar, mengalami kebakaran parah,” tulis laporan yang terbit pada Februari 2016 tersebut.
Provinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah masing-masing mewakili 23 persen dan 16 persen dari total daerah yang terbakar. Menurut perkiraan, kebakaran dan kabut asap mengakibatkan kerusakan dan nilai kerugian sampai dengan $3,9 miliar atau setara Rp53,7 triliun di provinsi Sumatera Selatan saja yang berimbas pada penurunan pertumbuhan ekonomi daerah.
Ini tentu harus diwaspadai, lantaran pada Agustus ini, Indonesia menggelar pesta olahraga terbesar se-Asia atau Asian Games di mana dua kota yaitu Palembang dan Jakarta menjadi tuan rumah mulai 18 Agustus hingga 2 September. Pemerintah sedang menyiapkan sejumlah langkah antisipatif untuk mengatasi potensi kebakaran hutan dan lahan, menjelang Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyebutkan langkah antisipatif untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan sebagian besar dilakukan di Sumatera Selatan, seperti bom air dan modifikasi cuaca untuk hujan. Selain itu, pemerintah juga telah mendirikan berbagai pos pengawasan di beberapa titik panas dengan memberikan bimbingan kepada petani tentang metode penanaman kelapa sawit menjelang musim tanam dan menangkap mereka yang membakar lahan.
“Kebakaran hutan dan lahan dapat dicegah dengan mengembangkan lahan pertanian tanpa pembakaran, karena para petani dapat menanam sawit lagi. Oleh karena itu, penanam harus dipandu oleh pejabat Kementerian Pertanian,” kata Siti Nurbaya seperti dilansir Antara.
Editor: Suhendra