tirto.id - Nilai tukar rupiah dalam transaksi antarbank pada Senin (23/4/2018) pagi kembali melemah.
Adapun rupiah di pasar spot dibuka melemah 15 poin atau 0,11 persen ke level Rp13.908 per dolar AS. Pada penutupan Jumat (20/4/2018) pekan lalu, rupiah tercatat berada pada posisi Rp13.893 per dolar AS.
Tren pelemahan nilai tukar rupiah sendiri memang sudah berlangsung sejak Februari 2018. Tak hanya di Indonesia, pelemahan juga terjadi pada sejumlah mata uang negara lain di Asia Tenggara, seperti halnya Ringgit Malaysia dan Baht Thailand. Penyebab utamanya tak lain karena faktor eksternal dari Amerika Serikat (AS).
“Ini merupakan dampak dari kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah AS bertenor 10 tahun. Di samping menyusul juga analisis The Fed (Bank Sentral AS) di 12 daerah yang menyatakan tren perekonomian AS kian positif,” kata ekonom dari Bank Permata, Josua Pardede, kepada Tirto pada Senin (23/4/2018).
Lebih lanjut, Josua juga menyebutkan ekspektasi inflasi AS cenderung naik karena adanya peningkatan tarif impor untuk baja dan aluminium.
Ia menilai kebijakan yang diperintahkan langsung oleh Presiden AS Donald Trump tersebut dapat membawa dampak pada kenaikan biaya produksi.
Selain karena tensi perang dagang antara AS dengan Cina yang sudah mereda, koreksi pasar di Asia juga terpengaruh oleh menurunnya tensi atas serangan AS dan sekutunya ke Suriah.
Serangan militer tersebut memang sempat membuat harga minyak global terkerek naik. Kedekatan Suriah dengan produsen minyak lain membuat para traders mengunci posisi beli pada kontrak minyak tanah. Dari situlah lantas muncul risiko pada stabilitas global.
Faktor ekspektasi inflasi dan harga minyak dunia itulah yang lantas berpotensi mendorong kenaikan inflasi di AS. Pada sisi lain, The Fed juga telah berencana untuk menaikkan suku bunga sebanyak 3-4 kali di tahun ini. Pada bulan lalu, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan hingga berada di kisaran 1,5-1,75 persen.
“Jadi istilahnya lebih kepada dolar AS yang menguat terhadap mata uang negara lain. Tidak hanya negara berkembang, mata uang negara maju pun ikut melemah terhadap dolar AS,” ungkap Josua.
Senada dengan Josua, ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual juga berpendapat bahwa besarnya pengaruh AS yang menyebabkan nilai tukar rupiah melemah. David menyebutkan depresiasi rupiah sejak awal tahun tercatat sebesar 2,5 persen.
“Saya lihat ini masih kecil ya. Tapi memang nominalnya yang hampir Rp14.000 per dolar AS terbilang cukup besar,” kata David kepada Tirto.
Lebih lanjut, David tidak menampik bahwa ada anggapan yang terkadang hiperbola dalam melihat kondisi nilai tukar rupiah ini. Menurut David, posisi Rp14.000 per dolar AS itu masih terbilang biasa saja sehingga tidak perlu adanya kekhawatiran yang berlebihan.
Ia menambahkan seharusnya yang perlu diantisipasi adalah saat mata uang rupiah bergerak secara drastis dalam waktu yang singkat. Apabila kondisi tersebut terjadi, kekhawatiran memang berpotensi muncul karena dapat memengaruhi kepercayaan dalam hal investasi maupun belanja.
Baik David maupun Josua melihat Bank Indonesia (BI) telah mengambil peran dalam mengendalikan stabilitas di pasar. Salah satunya lewat cadangan devisa yang dapat dipergunakan untuk memenuhi stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Lantas Perlukah Masyarakat Panik?
Menurut Josua, masyarakat Indonesia tidak perlu khawatir dengan mata uang rupiah yang melemah terhadap dolar AS. Josua pun menekankan bahwa tren tersebut tidak mencerminkan adanya gangguan pada politik maupun fundamental melainkan dampak dari optimisme ekonomi AS yang semakin baik.
Saat disinggung mengenai dampaknya kepada masyarakat secara langsung, Josua menyebutkan bahwa bukan tidak mungkin melemahnya rupiah berkaitan dengan harga produksi barang.
Untuk produsen yang bahan bakunya menggunakan komponen dari luar negeri, tentu akan terkena dampak. Selanjutnya, biaya produksi pun naik serta berpotensi membuat harga jual jadi meningkat. Namun Josua melihat kenaikan harga jual kepada konsumen itu tidak akan serta merta dilakukan begitu saja.
“Konsumsi dan pendapatan kita kan masih dalam rupiah. Jadi nggak perlu ada yang dikhawatirkan. Kecuali kita beli dolar untuk liburan atau biaya sekolah di luar negeri. Tapi kan untuk itu tidak semua dari kita merasakannya,” ucap Josua.
Pengaruh faktor eksternal semacam ini sifatnya bakal cenderung temporer. Akan tetapi bukan tidak mungkin bahwa dolar akan terus menguat seiring dengan bakal dirilisnya sejumlah data ekonomi di AS.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Yandri Daniel Damaledo