tirto.id - Meski terletak persis di pinggir Danau Toba, Desa Tigaras—lima jam dari Medan via jalur darat—bukanlah pilihan umum untuk berwisata. Orang-orang lebih mengenal Parapat sebagai gerbang pariwisata Danau Toba, sebuah kaldera yang terbentuk puluhan ribu tahun lalu seluas 1.130 kilometer persegi atau nyaris dua kali lipat luas DKI Jakarta.
Tigaras memang belum dikelola sebaik Parapat untuk jadi tujuan wisata. Salah satu bukti paling kasatmata adalah akses jalan yang masih jelek. Aspalnya bolong-bolong, angkutan umum terbatas.
Untuk sampai ke Tigaras, saya harus berhenti di Simpang Dua, Pematangsiantar—sekitar 62,5 km atau dua jam perjalanan darat. Hanya ada tiga jenis angkutan umum yang biasa dipakai, salah satunya angkot yang saya tumpangi pada satu sore akhir Juli 2018. Isinya sudah penuh. Semua bangku sudah terisi, bahkan ada dua anak SMA yang duduk di atas atap.
Beberapa anak SMA lain yang duduk di dalam angkot akhirnya pindah ke atap, kalau emoh menggandul di depan pintu. Lebih dari satu jam pertama saya harus duduk di atas beras belanjaan salah seorang penumpang karena tak kebagian kursi.
Akses ke Tigaras memang tak semudah kota-kota lain yang terkenal sebagai daerah wisata Danau Toba macam Parapat, Balige, atau Panguruan. Mungkin itu sebabnya nama Tigaras jarang jadi tujuan pilihan wisatawan. Dalam Laporan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Simalungun—tempat Tigaras bernaung—pariwisata bahkan belum terdaftar dalam lapangan usaha yang jadi pemasukan masyarakat.
Namun, Tigaras adalah satu dari sedikit daerah yang punya akses transportasi air langsung menuju Pulau Samosir. Tentu, selain pelabuhan Ajibata-Tomok di Parapat. Salah satu alasannya, Pelabuhan Simanindo sering dimanfaatkan jadi jalan alternatif ketika dermaga lain di Pulau Samosir penuh.
Itu sebabnya, dalam laporan PDRB Simalungun tahun 2013-2017, BPS Simalungun menyertakan transportasi sebagai salah satu lapangan usaha yang menyokong ekonomi masyarakat, bukan sektor pariwisata.
Tigaras mendadak terkenal karena peristiwa kelam: tenggelamnya KM Sinar Bangun pada 18 Juni 2018. Sekitar 164 orang masih hilang di kedalaman 450 meter. Keluarga korban diharuskan ikhlas karena pemerintah kesulitan membawa jenazah para korban dan bangkai kapal ke permukaan.
Tragedi ini membuka mata banyak orang tentang masih buruknya kualitas wisata pelayaran di Danau Toba—salah satu daerah “Destinasi Pariwisata Prioritas” oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Tak ada rompi keselamatan yang mencukupi jumlah penumpang, tanpa biaya retribusi tiket atau karcis, serta tanpa jadwal pelayaran yang jelas—itulah sekelumit "alpa yang menyebabkan kematian" dari peristiwa tersebut. Padahal, KM Sinar Bangun adalah jenis pelayaran umum yang sehari-hari dipakai di dermaga-dermaga Danau Toba.
Wempi Napitupulu, wisatawan yang sering mengelilingi Toba, mengatakan kejadian KM Sinar Bangun "harus jadi tanda besar untuk introspeksi diri."
"Wajar kalau orang-orang masih takut. Ada banyak aturan yang ternyata enggak jalan di sini,” katanya.
Demi 'The Next Bali'
Sejak 2015, lewat surat Sekretariat Kabinet Nomor B 652/Seskab/Maritim/2015, pemerintah telah menetapkan 10 daerah menjadi “Destinasi Pariwisata Prioritas” termasuk Danau Toba. Bersama Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Borobudur, Bromo-Tengger-Semeru, Mandalika, Labuan Bajo, Wakatobi, dan Morotai, pariwisata Danau Toba dijadikan ambisi pemerintahan Jokowi sebagai “The Next Bali”.
Namun, kecelakaan KM Sinar Bangun menandai sejumlah pertanyaan tentang ambisi tersebut.
Meski Tigaras belum sepopuler Parapat sebagai daerah wisata menuju Danau Toba, pemerintah setempat tengah membangun pelabuhan senilai Rp11,1 miliar, yang dimulai sejak 5 Juni 2018 oleh Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara.
Dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian Pariwisata 2017, proyek itu termasuk satu dari sedikitnya tiga dermaga yang diperbaiki oleh Kementerian Perhubungan. Rencananya, Kemenhub membangun fasilitas penunjang pelabuhan untuk pembangunan dan pemeliharaan kapal di Sipinggan dan Onan Runggu.
Menurut Direktur Utama Badan Otorita Pariwisata Danau Toba Arie Prasetyo, pembangunan pelabuhan tersebut akan dilakukan di lahan yang menjadi aset pemerintah pusat. Nantinya, Sipinggan dan Onan Runggu dikembangkan sebagai pelabuhan wisata, sekaligus menyediakan area penjualan suvenir, kuliner, dan tempat menikmati pemandangan.
Tak cuma Tigaras, Sipinggan, dan Onan Runggu. Sejak ditetapkan sebagai Destinasi Pariwisata Prioritas, pertumbuhan investasi asing di Danau Toba meroket. Pada 2017, ia mencapai 556 persen.
Angka ini terbesar di antara 9 destinasi lain, menandakan perkara menjanjikan: Danau Toba punya nilai wisata di mata internasional.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan sempat menyinggung pula ada investor dari Australia-Indonesia yang berminat mengembangkan kawasan wisata Danau Toba di Silangit.
Menurut laporan Kementerian Pariwisata, jumlah investasi pariwisata Danau Toba pada 2016 sebesar 3,9 juta dolar AS, dan setahun berikutnya sebesar 25,59 juta dolar AS.
Uang itu dipakai untuk pembangunan sejumlah infrastruktur di sekitar Danau Toba. Selain pelabuhan, Bandara Silangit di Tapanuli Utara pun dibuka menjadi bandara internasional dan sudah melayani rute Singapura-Silangit pada Oktober 2017. Ia diiringi trayek bus Damri rute Siantar-Silangit sehari sekali.
Program-program ini untuk memenuhi target 1 juta wisman ke Danau Toba pada 2019.
Namun, data terakhir dari BPS dan Dinas Pariwisata Sumatera Utara menunjukkan kenaikan turis ke Danau Toba cuma bertambah 12 persen: dari 233.643 pada 2016 menjadi 261.736 pada 2017.
Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian Pariwisata 2017 mengklaim Badan Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba—lewat Peraturan Presiden 49/2016—telah mendorong pengembangan destinasi pariwisata serta investasi di Danau Toba.
Namun, belum ada data kuat yang menggambarkan pengaruh pengembangan infrastruktur dengan penaikan jumlah turis. Tahun depan, bila ada kajian serius mengenai turisme Danau Toba, ia harus memasukkan dampak tenggelamnya KM Sinar Bangun terhadap pariwisata di kawasan ini.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam