tirto.id - “Kira-kira di sini titik tenggelamnya,” kata salah seorang awak Kapal Motor Penumpang Sumut I. “Sekitar-sekitar sinilah itu,” tambahnya.
Rabu pagi, 25 Juli 2018, saya berlayar dari Pelabuhan Tigaras, Kabupaten Simalungun, menuju Pelabuhan Simanindo, Kabupaten Samosir. Sang awak menjelaskan lokasi titik tenggelamnya KM Sinar Bangun, kapal wisata yang sudah lebih dari dua bulan tenggelam di dasar Danau Toba.
“Paling cuma sekitar 800 meter dari Tigaras,” katanya saat saya bertanya berapa jarak titik tenggelam ke pinggir pelabuhan.
Dari atas kapal yang tengah berlayar, pelabuhan itu memang masih kelihatan. Sulit mengungkapkan bagaimana ratusan manusia susah payah mengangkat tubuh mereka tetap mengapung di atas danau, di bawah cuaca buruk. Melambai-lambai ke arah pelabuhan di atas buritan kapal, melihat diri mereka setiap detik makin ditelan danau. Laporan Basarnas, setelah kroscek ke pihak keluarga dan kepolisian dan Jasa Raharja, mengumumkan sekitar 164 orang hilang.
Saya melihat ke arah Danau Toba yang tenang pagi itu; menyadari bahwa di bawah sana ada bangkai kapal yang masih teronggok, dan sangat mungkin bersama jenazah para korban.
Hambatan: Kedalaman 450 Meter
Banyak orang terkejut, termasuk para politikus yang mengkritik pemerintahan Joko Widodo, ketika Tim Basarnas menyebut bangkai KM Sinar Bangun berada di kedalaman lebih dari 450 meter. Faktor inilah yang mendorong proses pencarian dan evakuasi dihentikan.
Kedalaman itu, serta karakteristik Danau Toba, membuat proses pengangkatan kapal hampir mustahil. Suhu di dasar danau ditaksir sampai 0 derajat, dengan jarak pandang terbatas karena status danau yang mesotrofik.
Hasanuddin Ibrahim, seorang pakar rekayasa kelautan dari Institut Teknologi Bandung, sempat merilis status di akun Facebook dia. Isinya, penjelasan ilmiah mengapa Sinar Bangun nyaris mustahil diangkat.
Ia menjabarkan, kedalaman 450 meter dan letak Danau Toba bukan di perairan laut menjadi dua kendala utama. Menurutnya, dengan kedalaman 450 meter, teknologi yang mungkin dipakai adalah menggunakan robot Remotely Operated Underwater Vehicle (ROV), yang sempat digunakan Tim Basarnas untuk mengetahui letak bangkai KM Sinar Bangun.
Guna melakukan pekerjaan di bawah air, ROV yang jamak dipakai adalah semi-work class atau Work Class ROV. Namun, menurut Hasan, kedua tipe ROV ini tak bisa digunakan untuk evakuasi korban.
Pergerakan lengannya—biasa disebut manipulator—sangat terbatas, beda dari gerakan tangan manusia; sementara evakuasi membutuhkan manuver yang kompleks. Ukurannya juga besar, dan semburan thruster saat pengoperasian bisa mengganggu keseimbangan bangkai KM Sinar Bangun.
Umumnya, ROV hanya bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan sederhana. “Misalnya hanya memutar sekrup yang telah didesain dapat diputar oleh ROV, menjepit tali, dan lain-lain,” kata Hasan kepada saya, yang sudah mengakrabi kerja-kerja profesional di laut selama 15 tahun.
Dalam situasi perairan yang dalam dan jauh dari pantai, sekelas ROV Work Class pun tak bisa direkomendasikan. Menurut Hasan, jenis armada di bawah laut yang dioperasikan dengan jarak jauh untuk mencari KM Sinar Bangun adalah ROV observasi, yang ukurannya paling kecil.
Hasan mengatakan salah satu alternatif yang muncul saat proses evakuasi adalah mengirim penyelam untuk mengevakuasi jasad-jasad korban. Namun, hal itu ternyata lebih berisiko ketimbang mengirim robot ROV. Dengan kedalaman demikian, satu-satunya pilihan yang tersedia adalah saturated diving—jenis penyelaman yang biasa digunakan untuk kedalaman lebih dari 30 meter.
Proses ini butuh waktu lama. Penyelam lebih dulu harus hidup atau tinggal di lingkungan yang terisolasi dan bertekanan sama dengan tekanan di air terdalam—dalam kasus Sinar Bangun: 450 meter.
“Dalam sejarahnya, saturated diving yang pernah tercatat hanya sampai 320 meter. Sedangkan untuk penelitian pernah sampai 500 meter, tapi cuma pernah sekali,” kata Hasan. “Umumnya pekerjaan saturated diving di oil and gas rata-rata hanya sampai 60 meter. Di atas 100 meter atas dasar safety pekerjaan biasanya dilakukan oleh ROV.”
Hasan mencontohkan, pada penyelaman di kedalaman 60 meter, tekanan living chamber atau kamar para penyelam harus diatur pada tekanan sekitar 6 bar. Mereka harus diisolasi dan tak boleh terpapar udara bebas yang bertekanan 1 bar. Ketika proses penyelaman, mereka akan berpindah dari tempat tinggal ke diving bell, semacam tabung yang akan diturunkan ke kedalaman 60 meter.
Lingkungan bertekanan 6 bar ini tidak langsung diterapkan di dalam living chamber, tetapi dinaikkan perlahan. Sehingga tidak berpengaruh buruk terhadap tubuh para penyelam. Proses menaikan—dan menurunkan jika pekerjaan selesai—disebut penyesuaian yang tergantung pada tekanan yang ingin dicapai.
“Proses ini bisa memakan waktu 3 sampai 4 hari,” kata Hasan.
Risiko penyelaman di kedalaman 450 meter juga besar. Penyelam harus dibiasakan dulu untuk hidup di tekanan 45 bar atau sekitar 650 psi.
“Sekadar informasi, tekanan ban mobil itu biasanya berada di antara 30-32 psi. Jadi tekanan yang harus dialami oleh diver sekitar 20 kali tekanan ban,” papar Hasan.
Di Indonesia,total pilot dan teknisi ROV saat ini sekitar 100-an orang, sebagian bekerja bekerja di luar negeri.
“Saya pernah mengawasi pekerjaan di mana penyelam sat-dive-nya sakit dan harus dibawa ke dokter, tapi karena dia berada di habitat bertekanan, butuh 3 hari menunggu penyesuaian tekanan sampai dia bisa dievakuasi,” tambahnya.
Penyelam yang dimaksud Hasan sudah muntah-muntah di dalam ruangan yang sangat kecil, sementara ia dan regu penyelamat hanya bisa mengamati dari kaca sambil memberikan arahan.
Untuk mengeluarkan para penyelam dari living chamber, kita tidak boleh langsung membuka pintu. Efeknya sangat buruk bagi campuran gas dalam darah dan organ manusia. “Pembuluh darah kita di berbagai organ bisa pecah,” kata Hasan.
“Jadi, meskipun ada yang sakit dan bisa menularkan ke penyelam yang lain, kita tidak bisa langsung mengevakuasi mereka, tapi harus menunggu proses penurunan tekanan ke titik aman. Baru pintu bisa dibuka dan evakuasi dilakukan,” tambahnya.
Faktor lain yang menyulitkan evakuasi adalah lokasi Danau Toba di ketinggian 900 sampai 1.000 meter di atas permukaan laut. Opsi menggunakan Semi Work Class ROV atau Work Class ROV ataupun saturated diving jadi lebih sulit, meski tak mustahil. ROV yang lebih besar artinya membutuhkan kapal pengangkut yang lebih besar pula, yang membutuhkan kapal crane kapasitas besar.
“Memang masih mungkin kita bisa merekayasa sebuah solusi di mana unit ROV Work Class dan crane besar bisa beroperasi, tapi itu semua tetap akan membutuhkan waktu yang cukup lama,” kata Hasan.
Ongkos Evakuasi Mahal
Harga pengoperasian untuk solusi evakuasi itu besar. Di dunia gas dan minyak, ROV paling kecil memakan biaya sekitar 1.000 dolar AS per hari, dengan biaya operator per pilot sekitar 300-500 dolar AS per orang per hari plus teknisi.
Untuk ROV Work Class, operasi per hari sekitar 5.000-7.000 dolar AS dengan operator per pilot sekitar 800-1.000 dolar AS per orang per hari.
“Semua biaya di atas belum termasuk sewa kapal dan crew supporting lain,” jelas Hasan. Harga ROV mulai dari Rp5 miliar sampai 2–3 juta dollar AS.
“Even if the money is not a problem, time is. Proses ini bisa memakan waktu 1-2 tahun, mungkin lebih,” kata Hasan.
Pencarian korban Kapal Senopati yang tenggelam di Laut Jawa, misalnya, berlangsung 45 hari; lebih dari aturan yang ditetapkan undang-undang selama 7 hari. Dan, pencarian korban ini menelan biaya sampai Rp1 miliar, menurut Syahrin, Ketua SAR Mission Coordinator (SMC).
Di kedalaman-kedalaman tertentu, teknologi ROV sempat dipakai untuk membantu evakuasi kecelakaan transportasi di laut lepas.
Pada 30 Desember 2014, Pesawat Air Asia QZ8501 ditemukan setelah dua hari hilang dari pantauan radar. Serpihan pesawat berikut jenazah penumpang ditemukan di perairan dekat Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Perangkat black box berhasil dideteksi lokasinya, 15 hari setelah QZ8501 hilang dan serpihannya ditemukan di Selat Karimata di Laut Jawa. Bangkai pesawat yang jatuh di Selat Karimata itu diserahkan Basarnas ke KNKT untuk diinvestigasi.
Pesawat A320 dengan nomor penerbangan QZ8501 rute Surabaya- Singapura ini hilang kontak setelah sekitar 50 menit lepas landas dari Bandar Udara Juanda Surabaya. ROV digunakan karena bangkai tersebut masih jatuh di kedalaman sekitar 30 meter sehingga proses evakuasinya relatif lebih cepat.
Kecelakaan KM Sinar Bangun, menurut Hasan, lebih mirip dengan kejadian jatuhnya Adam Air pada 1 Januari 2007. Bangkai yang diduga tenggelam di kedalaman 2 ribu meter tidak dievakuasi menggunakan ROV, meski masih masuk jangkauan kedalaman kerja ROV jenis Work Class. Pasalnya, ROV punya keterbatasan dalam melakukan evakuasi korban.
Perbedaan jenis air danau dan laut sempat disebut-sebut jadi faktor yang menghambat proses pengangkatan bangkai kapal. Namun, menurut Hasan, jika menggunakan ROV, hal itu “tidak terlalu berpengaruh.”
Secara umum, teknologi evakuasi KM Sinar Bangun sangat banyak tersedia di Indonesia. “SDM kita lebih dari mampu untuk itu. Masalahnya, membawa peralatannya ke Danau Toba yang sulit,” tambahnya.
Tentu saja, kecelakaan ini jadi pukulan telak bagi administrasi pemerintahan di kawasan Danau Toba untuk membenahi diri. Terlebih Danau Toba ditetapkan sebagai salah satu dari 10 “Destinasi Pariwisata Prioritas” oleh pemerintahan Joko Widodo sejak 2015, yang ditargetkan bisa menarik 1 juta turis asing pada 2019.
Meski permukaan Danau Toba tampak tenang, 164 korban yang bersemayam di dasar danau di antara jalur Tigaras dan Simanindo selamanya menjadi penanda bahwa bekas kaldera itu perlu berbenah sebelum jadi tujuan pariwisata kelas I.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam