tirto.id - Rabu terakhir Juli 2018, saya pergi ke Tigaras di Kabupaten Simalungun, sebuah desa kecil di pinggir Danau Toba yang terkenal karena peristiwa kelam: KM Sinar Bangun, yang berisi ratusan penumpang dan karena itu kelebihan beban, tenggelam pada 18 Juni atau tiga hari setelah Idulfitri. Sekitar 164 orang masih hilang, diduga ikut tertelan bersama bangkai kapal nahas itu di kedalaman 450 meter dari Pelabuhan Simanindo, Pulau Samosir.
Pada hari kabar kapal itu tenggelam, Tigaras—yang ditempuh 5 jam dari Medan via jalur darat—dikerumuni para jurnalis, tim Basarnas, keluarga korban, dan puluhan orang lain yang penasaran dengan tragedi tersebut. Mereka menyaksikan bagaimana salah satu danau terdalam di dunia—terbentuk dari sebuah kaldera ribuan tahun lalu—merenggut kehidupan dari sikap abai dan lalai otoritas setempat. Mereka berharap korban bisa ditemukan. Mereka berharap ada sesuatu yang bisa digenggam, dan mungkin anggota keluarganya bisa diselamatkan, bisa kembali.
Harapan itu tak pernah sampai. Tim pencarian dan penyelamatan resmi menghentikan proses pencarian korban pada 3 Juli 2018. Tm berhasil menemukan titik bangkai kapal, bahkan sempat mengirim robot (Remotely Operated Underwater Vehicle) untuk merekam kondisinya. Tetapi tim kehabisan akal untuk mengangkat bangkai kapal. Mereka sempat mencoba menarik bangkai Sinar Bangun menggunakan mobile crane yang dibawa KMP Sumut II, tapi gagal.
Di tepi geladak KMP Sumut II, sehari sebelum proses pencarian dihentikan, puluhan keluarga korban menabur bunga di tengah danau. Duka sedekat napas. Tangis pecah. Saat kelopak-kelopak bunga itu ditebar, mereka seakan-akan tengah menabur pusara; kehilangan kesempatan menyemayamkan jenazah anggota keluarganya.
Saya kembali mengingat kisah Sri Wahyuni, yang kehilangan dua keponakan, seorang sepupu, dan seorang kerabatnya. Sri dan keluarganya bergegas ke Tigaras, berharap bisa segera mengetahui kabar mereka, sehari setelah kejadian itu. Ia singgah ke rumah sakit yang dirujuk Tim SAR, tapi tak ada satu pun empat orang terdekatnya tercatat dalam daftar korban selamat.
Harapan Sri sempat membuncah saat mendengar titik kapal ditemukan. Namun, kembali pupus ketika pemerintah menyatakan tak ada pilihan selain menghentikan pencarian.
“Sebetulnya keinginan untuk bangkai kapal diangkat, kalau bisa ya diangkat. Tapi karena dibilang alatnya enggak ada—inilah, itulah—ya... macam mana?” ujar Sri saat saya menghubunginya lagi. “Ya mungkin sudah maksimal mencari. Kan sudah diupayakan juga."
Sikap pasrah yang sepi inilah—perasaan yang sulit diringkas dalam kata-kata—juga persis menggambarkan Tigaras saat saya ke sana: kampung ini masih sepi, bahkan lebih sepi dari biasanya, empat puluh hari setelah peristiwa KM Sinar Bangun tenggelam.
Sangat mungkin butuh waktu; bahwa rutinitas pelayaran akan kembali hidup lagi; bahwa pemerintah bisa belajar dari tragedi ini; bahwa duka bisa pelan-pelan dikikis, meski sulit.
Status Hukum Tersangka
Dari peristiwa ini, betapapun keluarga korban diharuskan ikhlas, bukan berarti tanggung jawab atas "kelalaian manusia" dibiarkan tenggelam begitu saja. Otoritas setempat telah menahan empat orang dan menetapkan mereka sebagai tersangka.
Mereka adalah seorang nakhoda KM Sinar Bangun dan tiga orang dari Dinas Perhubungan setempat: seorang pegawai dan seorang kepala pos Pelabuhan Simanindo, serta seorang kepala bidang angkutan sungai dan danau perairan Samosir. Keempatnya ditahan oleh Polda Sumatera Utara, ujar Kabid Humas AKBP Tatan Dirsan Atmaja.
Selain itu seorang kepala dinas Perhubungan Samosir ditetapkan "wajib lapor." Kesalahannya, saat kejadian, si tertuduh berada di dermaga Simanindo dan dianggap bertanggung jawab atas kelalaian prosedur pelayaran.
Para tersangka dituding bersikap "alpa hingga menyebabkan kematian manusia" dan terancam hukuman maksimal 10 tahun penjara dan atau denda Rp1,5 miliar.
Hingga lebih dari dua bulan sejak peristiwa ini, dua berkas penyidikan sudah lengkap dan dua lain belum, ujar Tatan saat saya mengonfirmasinya lagi. Artinya, sampai laporan ini dirilis, status tersangka belum naik menjadi terdakwa untuk sebuah kasus yang menewaskan ratusan orang.
Mengingat untuk Perbaikan
Sulit untuk mengatakannya tapi sangat sering terjadi: jumlah korban, seiring waktu, diingat sekadar angka. Dan kebiasaan buruk jadi perkara yang normal dan terulang. Pelaziman inilah yang menggambarkan mengapa sebuah kapal penumpang seperti KM Sinar Bangun, yang seharusnya hanya muat untuk 40 orang, menghilangkan nyawa ratusan orang.
Laporan grafis Reuters menyebut bahwa Indonesia, sebuah negara kepulauan dengan pengelolaan pelayaran yang masih buruk, menyumbang jumlah tertinggi kecelakaan kapal berpenumpang dibandingkan negara lain di seluruh dunia, sejak 2000. Dan mayoritas kecelakaan ini disebabkan kelebihan muatan yang mengakibatkan kapal tenggelam dan berujung maut.
Peristiwa pada Senin sore, 2 bulan 18 hari lalu, adalah klise buram: otoritas setempat melazimkan kapal yang hilir mudik melayani jalur Danau Toba tanpa manifes; otoritas melazimkan kapal penumpang tanpa dilengkapi rompi keselamatan yang memadai; otoritas juga mengabaikan praktik bisnis pelayaran tanpa biaya retribusi tiket atau karcis; otoritas membiarkan bisnis pelayaran tanpa jadwal yang jelas.
Pada saat cuaca buruk, di tengah musim liburan sekolah, dermaga dipenuhi para penumpang bersama sepeda motornya yang diangkut ke geladak tiga lantai KM Sinar Bangun, sekitar 30 menit di tengah danau menuju Tigaras, kapal itu perlahan tenggelam.
Saat saya mendatangi dermaga Tigaras, akhir Juli lalu, terlihat ada perbaikan. Para penumpang diminta mengisi data diri sebelum naik kapal. Ada meja kecil di tepi dermaga, persis di depan kapal yang sedang berlabuh. Seorang anak buah kapal memperlihatkan beberapa lembar kertas yang distaples. Saya harus mengisi nama, alamat, umur, dan asal di tabel kertas itu.
Sayangnya, masih tak ada karcis.
“Masih belum ada,” ujar si ABK itu, tersenyum. "Yang penting, kan, sudah ada catatannya di sini,” katanya menunjukkan kertas tersebut.
Kapal wisata yang saya naiki hanya punya dua lantai, lebih kecil dari KM Sinar Bangun. Para penumpang yang naik saat itu tak lebih dari dua puluh orang. Penumpang langsung diminta memakai pelampung ketika naik. Perbedaan paling jelas: tak ada sepeda motor yang turut diangkut di atas kapal yang terbuat dari kayu tersebut.
Saya juga sempat menaiki kapal feri KMP Sumut I—yang menyelamatkan dua penumpang KM Sinar Bangun yang hampir tenggelam. Menurut salah seorang ABK, para peminat jalur pelayaran memang sudah berkurang usai tragedi Juni lalu. Orang-orang Simanindo dan Tigaras lebih memilih jalur darat, meski memakan waktu jauh lebih lama.
“Mungkin karena kejadiannya masih baru, jadi masih trauma,” katanya. Ia juga menambahkan kini warga lebih sering memilih menyeberangkan sepeda motor lewat kapal feri ketimbang kapal wisata.
“Padahal dulu pemilik kapal kayu biasanya marah sama kami kalau ada kereta [sepeda motor] yang mau naik sama kami. Tapi, setelah kejadian kemarin, enggak bisa marah lagi mereka. Kan, penumpang juga mikir pasti lebih aman menaikkan kemari [kapal feri],” tambahnya.
KMP Sumut I memang punya muatan yang lebih besar ketimbang kapal kayu—setidaknya enam puluh orang dan berat hingga 200 ton.
Sebelum naik ke KMP Sumut I pun saya ditanyai nama, alamat, umur, dan asal, lalu saya menerima selembar karcis sebagai pegangan. Di loket sudah ada daftar harga karcis dan jadwal tetap keberangkatan.
“Kalau dulu kan kami cuma punya catatan jumlah orang yang naik—misalnya kalau naik mobil pun, ya kami catat jumlah orang dalam mobil itu berapa. Kalau sekarang sudah ditanya nama dan asalnya. Supaya lebih lengkap manifesnya,” ia berkata.
Meski perlu diuji lagi seiring waktu, tragedi KM Sinar Bangun telah membawa perbaikan pada sistem administrasi jalur pelayaran Danau Toba.
Di atas kapal feri KMP Sumut I itu, di tengah perjalanan menuju Pelabuhan Simanindo, saya mengingat perkataan salah seorang keluarga korban, tiga hari setelah tragedi tersebut: “Kalau berharap anak kami masih hidup, kami sudah pasrah. Yang penting, tolonglah jasadnya bisa pulang sama kami. Biar bisa kami makamkan...”
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam