Menuju konten utama

Mengembalikan Danau Toba, Mengerem Perusahaan Besar & Keramba

Agar jadi daerah wisata yang cantik, status Danau Toba mesti jadi oligotrofik.

Mengembalikan Danau Toba, Mengerem Perusahaan Besar & Keramba
Ilustrasi: problem ekosistem Danau Toba. tirto.id/Lugas

tirto.id - Dua tahun lalu fotografer Binsar Bakkara membuat esai foto tentang polusi air di Danau Toba. Ia memotret lebih dari 1.500 ton ikan yang tiba-tiba mati di danau terbesar di Indonesia itu pada awal 2016 silam. Penyebabnya tingkat polusi air di Danau Toba yang semakin tinggi.

Kini, danau yang luasnya hampir sama dengan Singapura itu diklasifikasikan sebagai perairan eutrofik—artinya, memiliki materi-materi organik dan endapan berlebihan yang dapat menciptakan zona mati dengan kadar oksigen rendah.

Ciri-cirinya, air danau jadi lebih keruh. Bisa disebabkan ledakan populasi ganggang, yang akhirnya bikin air berwarna. Atau, aktivitas manusia, misalnya dari sisa-sisa pupuk buatan pertanian, pakan ikan, atau timbunan sampah yang biasa disebut detritus.

Produksi detritus yang berlebihan akhirnya menghabiskan suplai oksigen di perairan danau, dan membuat air jadi bau.

Padahal dulu, “tingkat kejernihan air di danau itu sangat bagus,” kata Bakkara, yang menghabiskan masa kecilnya di Toba.

Sebagian daerah tertentu bahkan tergolong hipertrofik, menurut temuan terbaru Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

“Yang paling merah (status eurotrofik/ hipertrofik) contohnya daerah Haranggaol,” kata Fauzan Ali, Kepala Pusat Penelitian Limnologi LIPI.

Daerah lain yang dicap merah adalah Parapat dan Silalahi. Dari penelitian LIPI sejak 2009 hingga tahun lalu, jumlah keramba jaring apung di Danau Toba harus bisa dikurangi untuk memperbaiki kualitas air menjadi oligotrofik—sebutan untuk danau yang perairannya terlihat lebih jernih karena lebih sedikit organisme dan tak tercemar endapan.

Mengurangi Jumlah Keramba?

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2016, terdapat 11.781 unit keramba yang dikelola PT Aquafarm, PT Sari Tani Pemuka, dan masyarakat.

Di antara ketiganya, jumlah keramba masyarakat lebih banyak. Namun, limbah yang dihasilkan ketiga pengelola tersebut hampir berimbang. Hal ini karena perusahaan lebih intensif dalam pemberian pakan ikan.

“Beberapa perusahaan di sekitar DTA Toba yang berpotensi merusak lingkungan—PT Toba Pulp Lestari, PT Allegrindo Nusantara, PT Inalum, PT Aqua Farm Nusantara, PT Suritani Pemuka. Peternakan babi, perhotelan, restoran, dan limbah domestik turut menyumbang pencemaran Danau Toba,” tulis penelitian dari KLHK tersebut.

Temuan LIPI tak terlalu berbeda. Data citra satelit Spot VII pada 2016 menyebut ada sekitar 11.282 keramba di Danau Toba. Jumlah ini tersebar pada tujuh kabupaten, dan 80 persennya di Haranggaol, Simalungun. Atau, sebanyak 7.700 unit dengan kepadatan tinggi sekitar 1.000 keramba per 300×300 meter. Air di sana bahkan sudah tak dapat dikonsumsi.

Pada 2016, KLHK sempat merekomendasi pengurangan produksi ikan: dari 65.300 ton keramba menjadi 30.764 ton keramba. KLHK menilai beban pencemaran dari pemukiman, hotel, dan kegiatan lain di darat harus diturunkan sebesar 212.295 ton per tahun atau sebesar 43 persen. Alasannya, 262 ton sampah per hari mengalir ke Danau Toba.

Menurut penelitian LIPI, pengurangan keramba sampai kadar tertentu cukup membuat kondisi Danau Toba berubah jadi oligotrofik. Hitungannya, 11.282 unit keramba yang memproduksi lebih dari 65 ribu ton ikan per tahun menjadi 543 keramba yang memproduksi maksimal 1.430 ton ikan per tahun.

Jumlah 65 ribu ton ikan per tahun sudah mencapai enam kali lipat dari rekomendasi KLHK kepada Gubernur Sumatera Utara, sebagaimana dibuat regulasinya pada 2017. Maksimum kapasitas produksi ikan budidaya itu harusnya 10 ribu ton per tahun.

LIPI, menurut Fauzan Ali, hanya melakukan penelitian tentang bagaimana mengubah status eutrofik Danau Toba menjadi oligotrofik seperti kehendak pemerintah pusat. Dalam penelitian mereka, Limnologi LIP coba menghitung limbah lain yang mengalir ke Danau Toba.

“Kami sempat menghitung jumlah limbah dari sungai, limbah pariwisata, seperti hotel dan limbah domestik. Dan diukur dengan limbah karena keramba jaring apung. Hasilnya, Danau Toba tetap bisa digunakan sebagai tempat pengelolaan ikan dengan keramba, tapi produksinya harus dikurangi supaya danau bisa jadi oligotrofik,” jelas Fauzan.

Status oligotrofik ini penting. Sebab, berdasarkan Surat Sekretariat Kabinet Nomor B652/Seskab/Maritim/2015 tanggal 6 November, Danau Toba ditetapkan sebagai salah satu dari 10 destinasi pariwisata prioritas. Maka, status oligotrofik menjadi penting menurut kacamata pemerintah jika ingin menjadikan Danau Toba tetap lestari.

Rekomendasi mengurangi jumlah keramba itu memang cukup drastis. Namun, menurut Fauzan, LIPI hanya melakukan riset yang bisa membuat kualitas air Danau Toba pulih dalam waktu cepat. Jika keramba tak dikurangi, capaian oligotrofik bisa saja lebih lama.

Menurut Fauzan, dengan menghitung ada 19 aliran sungai yang terhubung ke Danau Toba sementara saluran keluarnya cuma di Sungai Asahan, Danau Toba perlu waktu sampai 78 tahun untuk memulihkan diri.

"Setiap ekosistem itu mampu memulihkan diri sebenarnya, tapi lama kalau sudah terpapar aktivitas manusia,” tambah Fauzan.

Infografik HL Indepth Danau Toba

Dilema Keramba atau Pariwisata?

Pengurangan keramba tentu berdampak pada ekonomi masyarakat sekitar Danau Toba. Sebab, mata pencarian masyarakat amat tergantung pada perikanan danau. Ketika pemerintah menawarkan Danau Toba menjadi tujuan wisata skala internasional, ada sekian puluhan ribu keluarga yang terancam hilang pekerjaannya jika aktivitas ekonomi mereka di danau dilenyapkan, kecuali pemerintah setempat sudah menyiapkan antisipasi.

Meski begitu, pilihan itu agaknya sudah jelas. Dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian Pariwisata 2017, keseriusan pemerintahan Jokowi memfokuskan haluan Danau Toba jadi daerah pariwisata sudah bulat. Sejumlah infrasrtuktur besar telah dibangun sejak Danau Toba resmi ditetapkan sebagai "10 Destinasi Pariwisata Prioritas."

Sejak itu, pertumbuhan investasi asing di Danau Toba terkerek. Investasi pariwisata Danau Toba dari 3,9 juta dolar AS (2016) menjadi 25,59 juta dolar AS (2017). Bandara Silangit dibangun di Tapanuli Utara. Dermaga-dermaga di pinggiran Danau Toba dan Pulau Samosir diperbarui. Jalan tol baru rute Medan-Tebingtinggi—yang mempercepat akses jalan dari Bandara Kualanamu ke Danau Toba—diresmikan. Trayek baru Damri dari Silangit-Pematangsiantar pun diresmikan.

Semua pembangunan ini sudah rampung dalam waktu setahun.

Soal besar masih menunggu: mengatasi pencemaran lingkungan agar ekosistem Danau Toba kembali pulih, airnya jernih. Sebagaimanya dikatakan Binsar Bakkara saat mengenang Toba yang dulu: “Benda-benda di kedalaman 5–7 meter masih bisa terlihat jelas. Tetapi sekarang hampir tak mungkin melihat objek apa pun di kedalaman dua meter saja karena air keruh."

Baca juga artikel terkait PARIWISATA DANAU TOBA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam