tirto.id - “Sebetulnya keinginan untuk [bangkai kapal] diangkat kalau bisa ya diangkat. Tapi karena dibilang alatnya enggak ada, ini lah, itu lah, ya macam mana?”
Sri Wahyuni berucap pasrah saat ditanya ihwal keputusan pemerintah menghentikan proses pencarian korban KM Sinar Bangun sejak, Selasa (3/7) atau berlangsung sekitar dua pekan. Anggota keluarga Sri salah satu dari ratusan keluarga korban KM Sinar yang belum ditemukan sejak tenggelam di Danau Toba, Senin (18/6). Ada 164 korban yang belum ditemukan, 21 ditemukan selamat, dan tiga orang dalam kondisi meninggal.
Awalnya harapan Sri agar jenazah dua keponakan, satu sepupu, dan seorang kerabat membuncah setelah tim Basarnas mengumumkan penemuan bangkai kapal KM Sinar Bangun di kedalaman 450-490 meter perairan di Danau Toba. Namun, beberapa hari berselang, proses pencarian korban dihentikan.
Saat tim tim SAR gabungan memperlihatkan gambar bangkai kapal KM Sinar Bangun dan korban yang terjebak di dalamnya Sri merasa senang. Sebab meski tak bisa memastikan apakah korban di gambar itu adalah keluarganya namun setidaknya setitik harapan sudah mulai ada.
“Ada nampak gambar kapal dan orangnya tampak masih utuh, ya kami berharap sangat berharap,” ujarnya kepada Tirto.
Sri sempat membayangkan usaha sungguh-sungguh pemerintah menggunakan kapal selam atau kapal tankker untuk mengangkat bangkai kapal. Namun, segala alasan pemerintah tentang sulitnya medan memaksa Sri untuk mengikhlaskan harapan.
“Ya mungkin sudah maksimal mencari. Kan sudah diupayakan juga,” ujar warga Kecamatan Tebing Syahbandar, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara ini.
Selain Sri sejumlah keluarga korban KM Sinar Bangun seperti Sidauruk Maria dan Aida Manik pada akhirnya hanya bisa pasrah dan mengikhlaskan keluarga mereka yang tenggelam tanpa bisa dimakamkan.
"Keluarga korban sudah pasrahlah. Tim SAR juga sudah tidak bisa lagi katanya. Penyelam juga tidak mampu," kata Maria.
"Mereka tidak berpangku tangan (pemerintah) memang sudah takdir anak-anak kami tinggal di dalam itu," ujar Aida.
Aktivis kemanusiaan Ratna Sarumpaet mengkritik keputusan pemerintah menghentikan proses evakuasi bangkai kapal KM Sinar Bangun sebagai wujud pengabaian terhadap nilai-nilai HAM. Ratna mengatakan penghormatan terhadap hak asasi manusia tidak hanya berlaku bagi mereka yang hidup tapi juga untuk yang telah tiada. Apalagi, dalam kacamata Ratna, kecelakaan di Danau Toba tidak terutama sekali disebabkan oleh faktor alam. Namun, dianggap pemerintah gagal mengelola sekaligus mengawasi urusan transportasi air di daerah.
“Jadi ini yang mestinya membuat pemerintah punya tanggung jawab lebih [untuk mengevakuasi]. Kalau ini bencana alam barangkali beda,” ujar Ratna.
Ratna menilai tim SAR gabungan tidak serius mengupayakan evakuasi korban tenggelamnya KM Sinar Bangun, termasuk usaha mengangkat bangkai kapal. Menurutnya pemerintah bisa meminta bantuan negara-negara yang memiliki hubungan bilateral dengan Indonesia jika memang mengalami hambatan teknologi dan peralatan.
“Kita ini kayak tidak punya nurani. Masa cuma dua minggu untuk [mencari] 164 orang [yang hilang],” katanya.
Ratna juga mengkritik usaha pemerintah yang terkesan terburu-buru menjanjikan berbagai kompensasi demi menutupi duka keluarga korban. Ia menilai kompensasi berupa uang atau pembangunan monumen peringatan lebih baik dibicarakan setelah berbagai usaha ditempuh secara maksimal.
“Ini cara berpikir mengerikan. Jangan tawar menawar dengan kehormatan mana ada hubungan antara kemanusiaan dengan uang kompensasi? Uang Rp69 juta kayak gede ajah,” katanya.
“Mestinya monumen dibangun setelah korban ditemukan.”
Keputusan pemerintah menghentikan pencarian korban KM Sinar Bangun juga menuai kritik anggota Komisi V DPR Anton Sihombing. Menurutnya keputusan cukup ganjil karena diambil usai tim SAR gabungan mengumumkan keberhasilan penemuan bangkai kapal.
“Saya rasa enggak wajar itu [pencarian korban] diberhentikan. Karena viralnya [gambar] kondisi kapal dan kondisi korban di bawah [danau], sudah dilihat keluarga,” kata Politikus Golkar ini kepada Tirto.
Menurut Anton gambar kapal dan kondisi korban yang terjebak di dalamnya tidak perlu diumumkan kepada pihak keluarga. Sebab sejak awal awal tim SAR gabungan sudah menyadari berbagai kesulitan yang dihadapi untuk melakukan evakuasi.
“Kalau memang tidak bisa [dievakuasi] kenapa tidak diberitahu dari awal? Ini kan jadi kayak pembohongan publik,” ujarnya.
“Harusnya waktu bangkai kapal ditemukan tidak usah diviralkan.”
Anton bukan bermaksud tak bisa menerima alasan tim SAR gabungan soal evakuasi kapal dan korban sukar dilakukan. Ia melihat tim SAR gabungan dan pemerintah belum melakukan usaha yang optimal untuk mengatasi berbagai kendala di lapangan. Anton kemudian membandingkan soal pencarian korban KM Sinar Bangun dengan pencarian korban jatuhnya pesawat Air Asia dan Adam Air.
Menurutnya pemerintah tampak sungguh-sungguh mencari para korban Air Asia dan Adam Air yang terlihat dari lamanya waktu pencarian serta usaha melibatkan negara-negara di luar negeri. Pada 28 Desember 2014, pesawat Air Asia QZ 8501 jatuh yang mengangkut 154 penumpang. Basarnas baru menghentikan pencarian setelah kurang lebih dua bulan pasca kejadian di Selat Karimata tersebut. Catatan Basarnas ada 103 jenazah yang berhasil ditemukan.
“Ini 164 penumpang dan bisa saja lebih kok disepelekan begitu saja,” ujarnya.
“Sudah tahu [pakai] jala tidak nyangkut kok tidak ada inisiatif lain? Kenapa tidak sewa [alat] dari Singapura atau Australia? Basarnas tidak profesional kerjanya.”
Anton menilai kecelakaan KM Sinar Bangun mencerminkan buruknya pengelolaan dan pengawasan transportasi air yang dilakukan kementerian perhubungan. Hal ini menurutnya terjadi karena orang-orang yang bertanggung jawab terhadap urusan transportasi air tidak memiliki kapabilitas di bidangnya.
“Direkturnya tidak ada yang berkas orang kapal. Syahbandarnya sarjana hukum dan doktorandus tidak pernah berlayar,” ujarnya.
Anton juga memberikan catatan soal minimnya jumlah pelampung dan jumlah penumpang di KM Sinar Bangun yang melebihi ketentuan. Ia menilai hal itu bukti pemerintah tidak serius memastikan keselamatan penumpang kapal di daerah.
“Direktur Keselamatan itu tiap tahun bagi pelampung kok yang dibagi Jakarta? Danau Toba enggak pernah dibagi. Itu kan penyepelean,” katanya.
Anton mengingatkan pemerintah pusat sebaiknya tidak menyalahkan pemerintah daerah terhadap kecelakaan KM Sinar Bangun. Sebab menurutnya dermaga yang digunakan KM Sinar Bangun bersandar juga dibangun Kementerian Perhubungan menggunakan dana. “Kalau dari APBN berarti pusat ikut bertanggungjawab," ujar politikus asal Sumatera Utara ini.
Pria kelahiran Tapanuli Sumatera Utara ini mengklaim mendapat aspirasi dari keluarga korban yang masih ingin pemerintah mengupayakan evakuasi korban dan kapal KM Sinar Bangun ke permukaan. "Banyak keluhan ke saya. Di sana itu kan dapil saya," katanya.
Anton juga menolak dalih kecelakaan kapal disebabkan gelombang setinggi tiga meter. Menurutnya pernyataan itu bukan saja menyesatkan tapi juga berpotensi mengurangi kedatangan turis luar negeri ke Danau Toba. “Selama ada Danau Toba tidak akan pernah gelombang 3 meter. Kalau luar negeri tau ada gelombang tiga meter mana turis mau datang. Paling tinggi 1,5 meter,” ujarnya.
Anton meminta menteri perhubungan bersikap tegas terhadap anak buahnya. “Kalau saya menteri, direktur keselamatan, direktur sarana prasarana saya ganti," katanya.
Arahan Luhut
Tim SAR gabungan mulai 3 Juli 2018 menghentikan proses pencarian penumpang korban tenggelamnya KM Sinar Bangun di perairan Danau Toba. Direktur Operasi Basarnas Brigjen Mar Bambang Suryo mengatakan penghentian dilakukan usai mendapat arahan dari Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan yang telah berkomunikasi langsung dengan keluarga korban usai tabur bunga pada Senin (2/7).
"Setelah dialog dua arah, sepakat dihentikan pada 3 Juli. Intinya besok (Selasa, 3/7) kita tutup," kata Bambang seperti dilansir dari Antara.
Bambang mengatakan tim SAR gabungan telah melakukan pencarian di Pelabuhan Tigaras, Kabupaten Simalungun hingga Senin (2/7) sore. Sehingga total waktu pencarian sejak kapal itu tenggelam pada 15 juni 2018 selama 15 hari. Ia juga mengatakan tim SAR gabungan juga telah berdialog tatap muka dengan keluarga korban yang difasilitasi Bupati Simalungun JR Saragih.
Bambang mengatakan Basarnas Medan, khususnya personel SAR Posko Parapat tetap akan melakukan pemantauan dari posko di Pelabuhan Tigaras. Jika ada informasi dari penduduk atau tanda-tanda munculnya jenazah penumpang ke permukaan, penanganan akan segera dilakukan.
"Kalau ada informasi, sampaikan ke posko, nanti akan ditindaklanjuti," ujar Bambang.
Editor: Muhammad Akbar Wijaya