tirto.id - Alwi Shahab bukan hanya seorang wartawan, tapi juga saksi atas berkembangnya Jakarta sebagai kota modern yang terus berubah. Jakarta beruntung punya Alwi Shahab yang menulis banyak kisah menarik tentang kota ini. Tidak semua kota di Indonesia punya sejarawan yang bisa membumikan sejarah pada orang-orang awam.
Dalam salah satu bukunya, Saudagar Baghdad dari Betawi (2004), terdapat cerita tentang Bung Hatta yang punya pendapat bahwa Masjid Istiqlal sebaiknya dibangun di tempat yang sekarang menjadi Hotel Indonesia. Namun ternyata masjid itu justru dibangun di tempat yang dulunya adalah benteng pada zaman kolonial Belanda.
Di buku itu pula, Alwi Shahab menyinggung sejarah Lapangan Banteng. ”Shalat Idul Fitri pertama di Jakarta yang menggunakan lapangan dilakukan di Lapangan Banteng. Sebelumnya, Shalat Idul Fitri dan Idul Adha selalu dipusatkan di masjid-masjid atau mushalla,” tulisnya.
Sejarah kawasan Tanah Abang juga ditulis dalam buku tersebut.
Buku karya Alwi Shahab lainnya adalah Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2001). Dari judulnya kita bisa menebak bahwa kisah tentang Pitung tersaji di dalamnya.
”Menurut orang-orang tua, yang menjadi korban Pitung hanya pihak kompeni dan orang-orang kaya yang memeras rakyat. Ia lantas membagikan hasil-hasil kejahatannya kepada orang-orang yang melarat,” tulisnya. Selain Pitung, jagoan-jagoan lain dari tanah Betawi juga ikut diceritakan.
Lain itu, tulisan-tulisan ringan Alwi Shahab tentang sejarah Jakarta juga terdapat dalam buku Betawi: Queen of the East (2002), Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006), Ciliwung, Venesia dari Timur (2007), Hukum Pancung di Batavia (2007), Kasino Bernama Kepulauan Seribu (2007), Oey Tambahsia, Playboy Betawi (2007), dan Batavia Kota Banjir (2009).
Sebagai sumber tulisannya, Alwi Shahab tak hanya membaca buku-buku sejarah, tapi juga dari cerita orang-orang tua dulu ketika ia masih remaja. Kemudian karena ia bekerja sebagai wartawan, tulisan-tulisan itu diperkaya oleh sejumlah informasi yang ia dapat setelah mengunjungi banyak tempat.
Alwi Shahab lahir di Kwitang pada 31 Agustus 1936. Tanggal kelahirannya sama dengan tanggal kelahiran Ratu Wilhelmina (31 Agustus 1880). Maka setiap kali tanggal tersebut tiba, di Hindia Belanda selalu ramai memperingati hari kelahiran Sang Ratu sampai akhirnya terhenti ketika Jepang datang.
Rentetan zaman dari sejak Perang Pasifik dan Perang Kemerdekaan ia lalui semasa masih bocah. Pada zaman demokrasi liberal, Alwi Shahab menghabiskan masa remajanya. Lahir dan besar di sekitar Senen, ia banyak berkenalan dengan para seniman. Hal ini kemudian memengaruhinya sehingga ia tertarik dengan dunia tulis-menulis.
Alwi Shahab banyak mengingat nama-nama besar yang pernah tinggal di Kwitang. Tidak hanya seniman dan budayawan, tapi juga politikus dan jago silat. Soal tulis menulis, Alwi Shahab tidak bisa lepas dari tema Betawi tempo dulu.
Pada awal 1960-an, ia mulai bekerja sebagai wartawan di kantor berita Arabian Press Board, Jakarta, yang diasuh pamannya sendiri, Asad Shahab. Lalu pada 1963 Alwi Shahab bekerja di kantor berita Antara yang berdiri pada 1937, atau setahun setelah Alwi Shahab lahir. Ia pernah bertugas di bidang ekonomi, politik, dan kriminal.
Antara 1969 hingga 1978, ia menjadi wartawan yang ditugaskan di istana. Pada 1983, Alwi Shahab pernah bertugas di perbatasan Malaysia dan Thailand untuk meliput operasi penumpasan komunis oleh tentara Malaysia. Setelah puluhan tahun bekerja di Antara yang didirikan oleh Adam Malik dan kawan-kawan, pada 1993 Alwi Shahab pensiun.
Namun ketika harian Republika munculsetelah berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada awal 1990-an, Alwi Shahab ikut meramaikan koran tersebut dengan banyak menulis artikel-artikel tentang sejarah Jakarta. Tulisannya biasa muncul di kanal kebudayaan maupun dalam rubrik "Sketsa Jakarta" dan "Nostalgia". Meski usianya semakin tua, tapi semangat menulisnya tetap tinggi.
Beberapa tahun terakhir, Alwi Shahab masih menghasilkan sejumlah tulisan. Salah satunya adalah tentang gedung Bappenas yang pernah digunakan untuk tempat persidangan para pelaku G30S dan tokoh-tokoh PKI setelah 1965.
Pada tulisannya yang lain, ia mengisahkan tentang dirinya saat masih menjadi wartawan Antara, yang melihat Bung Karno jelang malam 30 September 1965.
”Saat itu, sebagai wartawan pemula di Kantor Berita Antara, saya ditugaskan meliput pidato Presiden Sukarno pada Rapat Teknisi di Istora Senayan,” tulisnya.
Hari ini, Kamis (17/09/2020) pukul 03.00 dini hari, Alwi Shahab wafat di rumahnya di daerah Condet, Jakarta Timur. Ia telah melewati rupa-rupa zaman dan meninggalkan sejumlah tulisan tentang Jakarta yang dicintainya.
Editor: Irfan Teguh Pribadi