Menuju konten utama

Aktivis: HAM Bukan Ganjalan Pemberantasan Terorisme

Penanggulangan terorisme dengan menafikan HAM akan berakibat buruk. Salah satu sebabnya: sangat mungkin informasi didapat dari pelaku yang takut dengan metode penyidikan.

Aktivis: HAM Bukan Ganjalan Pemberantasan Terorisme
Terdakwa kasus dugaan teror bom Thamrin Aman Abdurrahman alias Oman digiring petugas seusai menjalani sidang perdana kasus terorisme dengan agenda pembacaan dakwaan di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis (15/2/2018). ANTARA FOTO/Reno Esnir

tirto.id - “Jangan sampai HAM dijadikan kambing hitam sebagai hambatan dalam memberantas terorisme.”

Demikian pernyataan Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani saat memberikan pernyataan sikap bersama sejumlah koalisi masyarakat sipil terkait desakan pemerintah agar Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme segera diselesaikan DPR.

Yati meminta pemerintah dan DPR tidak mengkambinghitamkan Hak Asasi Manusia (HAM) atas terjadinya terorisme beberapa hari belakangan. Lembaga eksekutif dan legislatif juga diharap tak hanya mencari solusi instan untuk memberantas terorisme di Indonesia.

Menurut Yati, penanggulangan terorisme yang mengesampingkan pendekatan hak asasi manusia bisa berakibat buruk.

“Kami khawatir ini bisa melemahkan langkah-langkah deradikalisasi terhadap benih ekstremisme yang bisa jadi akan memperbesar polarisasi di masyarakat,” kata Yati di Kantor KontraS, Jakarta Pusat, Kamis (17/5/2018).

KontraS dan koalisi masyarakat sipil dari Elsam, Imparsial, ICJR, Setara Institute, Amnesty Internasional, Perludem, dan YLBHI sempat menyinggung pernyataan sejumlah pejabat negara ihwal pengesampingan HAM dalam memberantas terorisme. Salah satu pejabat yang dimaksud adalah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

Menteri dari PDI Perjuangan itu sempat menyebut stabilitas dan keamanan lebih penting dibanding HAM. Ia berkata agar masyarakat tidak mudah dihantui HAM.

Pendapat senada juga sempat diutarakan Ketua DPR Bambang Soesatyo. Ia mengaku lebih memilih keselamatan masyarakat, bangsa, dan negara dibanding HAM.

“Kami tak ingin pernyataan ini direproduksi terus menerus. Ini akan membuat perpecahan dan bangsa kita seperti kembali pada situasi kepanikan. Pada akhirnya memilih jalan pintas yang akhirnya justru menimbulkan kembali pelanggaran HAM atau mengentalkan tindakan ekstremis di masyarakat,” kata Yati.

Syarat Keberhasilan Menanggulangi Terorisme

Koalisi ini menganggap sikap pemerintah dan DPR yang mencoba menafikan HAM dalam penanganan terorisme adalah tindakan reaktif, tidak proporsional, dan tak memiliki justifikasi.

Menurut mereka, penerapan HAM dalam memberantas terorisme justru menekan risiko kembali munculnya paham-paham ekstrem. Yati berkata, penggunaan nilai-nilai HAM akan menguji kemampuan aparat memberantas terorisme dengan cara bermartabat dan akuntabel.

Koordinator Peneliti Imparsial Ardi Manto Adiputra yang juga hadir dalam acara itu mengatakan revisi terhadap UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu bukan satu-satunya jalan untuk memberantas radikalisasi dan aksi teror. Masalah sebenarnya terletak pada masifnya sikap intoleran dan menipisnya nilai kekeluargaan di masyarakat.

“Revisi UU hanya salah satu jalan dalam upaya menanggulangi terorisme di Indonesia,” ujar Ardi Manto Adiputra.

Sikap kritis ini bukan berarti koalisi tak mendukung revisi. Ardi mengatakan koalisi tetap mendukung revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, namun mereka ingin pemerintah dan aparat keamanan juga melakukan evaluasi atas program deradikalisasi dan pemberantasan terorisme selama ini.

Evaluasi ini, kata Ardi, menjadi penting untuk pembelajaran. Ia memprediksi revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak efektif menekan perbuatan teror jika evaluasi belum dilakukan.

“Akan sangat sulit berharap revisi bisa berkontribusi secara besar dalam menyelesaikan tindak pidana terorisme [jika tidak ada evaluasi],” ucap Ardi.

Salah satu poin yang perlu dievaluasi dalam pemberantasan terorisme menyangkut koordinasi antar-lembaga pemerintahan terkait deradikalisasi. Soal ini, peneliti bidang tata kelola internet dan kebebasan berekspresi dari Elsam, Blandina Lintang Setianti berpendapat belum ada aturan komprehensif ihwal koordinasi antar-lembaga dalam draf Revisi UU Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme.

Perempuan yang akrab disapa Lintang ini menyebut definisi dan konsep deradikalisasi di draf revisi beleid itu belum sesuai prinsip hukum internasional. Ini membuat konsep penanggulangan terorisme di Indonesia tidak jelas.

“Sehingga membuat arah penanganan mau seperti apa belum jelas, apakah criminal justice [penegakan hukum] atau war of terorisme [perang terhadap terorisme],” ujar Lintang.

Infografik CI Komnas ham Revisi UU teroris

Menyoroti Kegagalan Deradikalisasi

Aktivis Jurnal Perempuan Atnike Nova Sigiro punya pandangan lain menanggapi cara deradikalisasi di Indonesia. Menurutnya, teror bom di Surabaya dan Sidoarjo beberapa hari lalu harusnya menjadi peringatan bagi pemerintah.

Atnike mengatakan pemerintah dan aparat keamanan harus menganggap serius serangan tersebut karena teror tersebut melibatkan keluarga. Ia mengatakan perubahan pola teror dari individu menjadi keluarga adalah bentuk kegagalan program deradikalisasi.

“Dengan sekian tahun pemerintah berusaha melakukan upaya pemberantasan [terorisme], radikalisasi justru semakin mengakar dalam institusi keluarga,” ujar Atnike.

Atnike juga menyoroti maraknya diskriminasi yang dilakukan langsung maupun tidak langsung terhadap penganut agama tertentu pasca-teror bom. Diskriminasi yang ia maksud spesifik ditunjukkan pada perempuan pemakai cadar dan lelaki berjenggot serta bercelana khusus.

Menurut Atnike, negara harus hadir dalam membendung meluasnya diskriminasi. Jika hal itu tidak diantisipasi, dampak ke depannya diperkirakan lebih berbahaya dibanding efek dari ledakan bom.

“Efek dari segregasi yang muncul merupakan PR yang tak bisa dijawab oleh sebuah UU. Ini merupakan satu kritik terhadap lembaga seperti BNPT, LPSK, dalam menangani saksi dan korban,” ujar Atnike.

Sorotan dalam bidang lain diberikan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid. Menurutnya, argumentasi penyiksaan wajar dilakukan terhadap teroris tak selamanya benar.

Usman meragukan akurasi informasi yang diberikan teroris jika ia diperiksa dengan metode penyiksaan. Alih-alih terang, informasi dari teroris terkait justru dikhawatirkan kabur karena besar kemungkinan pelaku hanya asal memberi keterangan pada penegak hukum karena tak tahan dengan siksaan yang diberikan.

“Praktiknya, itu menimbulkan efek dendam di kalangan keluarga dan orang yang mendukung teror,” kata Usman.

Baca juga artikel terkait REVISI UU TERORISME atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih