tirto.id - Sebuah serangan teror menimpa Markas Polda Riau, Rabu pagi (16/5/2108). Seorang polisi gugur dan seorang jurnalis luka-luka karena ditabrak mobil peneror. Seorang polisi lainnya terluka akibat sabetan benda tajam. Sementara itu, empat pelaku ditembak mati dan satu ditangkap dalam kondisi hidup.
Model serangan ini mirip dengan yang biasa dilakukan kelompok ISIS, yakni jarak dekat dan sporadis. Ini diakui Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto. Setyo mengatakan kelompok ini terafiliasi dengan ISIS, tapi bukan sel Jamaah Anshar Daulah melainkan gerakan Negara Islam Indonesia (NII).
Keterlibatan sel NII ini menjadi menarik. Gerakan yang diproklamirkan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 ini hanya punya fokus menjadikan negeri ini sebagai negara Islam, bukan membentuk khilafah dunia seperti yang dicita-citakan Pendiri ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi.
NII juga sudah lama tidak terdengar gaungnya dalam pentas gerakan jihad di Indonesia. Terakhir, gerakan ini dipimpin seorang bernama Panji Gumilang dan belum pernah terbukti melakukan teror.
Lantas, bagaimana (bekas) anggota NII bisa berbaiat ke ISIS?
Direktur Indonesia Muslim Crisis Centre (IMCC), Robi Sugara mengatakan fenomena bergabungnya anggota NII ke ISIS bukan hal baru. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan lembaganya, banyak anggota NII berbaiat ke ISIS sejak beberapa tahun ke belakang. Perpindahan ini umumnya dilakukan anggota NII yang lebih dulu bergabung ke JAD pimpinan Aman Abdurrahman.
“Seperti JAD Bandung itu banyak anggotanya direkrut dari NII,” kata Robi kepada Tirto, Kamis (17/5/2018).
Selain menjadi anggota JAD, kata Robi, banyak pentolan NII secara diam-diam menjadi donor untuk gerakan organisasi-organisasi dan individu pro-ISIS. Menurut Robi, hal itu disebabkan dua hal.
Pertama, kedekatan ideologi antara NII dan ISIS. Menurutnya, keduanya sama-sama mengenal doktrin iman, hijrah, dan jihad. “Maka kalau melihat esensi gerakan mereka sebenarnya mirip,” kata Robi.
Kedua, kata Robi, kepindahan anggota NII ke ISIS dipengaruhi faktor kekecewaan terhadap arah gerakan yang tidak lagi fokus mendirikan negara Islam di Indonesia. Gerakan ini semakin membatasi diri setelah mendapat pelbagai serangan dari sosial media.
“Di ISIS mereka [anggota NII] bisa melakukan jihad. Jadi ketika ada orang yang konversi dari NII ke JAD mereka sedang mencari titik puncak dari gerakannya,” kata Robi.
Analisis Robi diakui Koordinator Eksekutif Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib. Ridlwan bahkan menyebut penyerang Mapolda Riau diduga dilakukan salah satu faksi NII yang pernah mengikuti pelatihan militer di bukti Jantho pada 2010.
Saat itu, sekitar 30 anggota muda NII mengikuti pelatihan militer yang dikomandoi Abu Tholut. Pelatihan ini akhirnya terendus Densus 88 Antiteror, sehingga masing-masing anggota dijebloskan ke tahanan dengan hukuman rata-rata selama 7 tahun penjara.
“Artinya memang bulan-bulan ini mereka bebas. Ini yang harus dijelaskan sebenarnya oleh polisi apakah anak-anak NII yang main di Riau itu ada kaitan dengan pelatihan tersebut,” kata Ridlwan kepada Tirto.
Dalam pelatihan militer tersebut pula, kata Ridlwan, sangat dimungkinkan mereka akhirnya berjejaring dengan pihak-pihak yang nantinya berbaiat juga dengan ISIS. Seperti para anggota JAD yang merupakan pecahan dari Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Ba’asyir.
“JAD itu sebagian besar anggotanya berasal dari jamaah tauhid wal jihad pimpinan Aman Abdurahman,” kata Ridlwan.
Potensi Gerakan Teroris Gaya Baru
Bergabungnya NII ke ISIS dianggap Ridlwan sebagai ancaman serius. Ia menduga akan ada gerakan teroris baru yang lebih kompleks dan berbahaya.
“NII punya kemampuan membuat bom berskala besar bisa bergabung dengan JAD yang bisa melakukan serangan jarak dekat dan sporadis. Ini bahaya,” kata Ridlwan.
Ridlwan meminta kepolisian lebih meningkatkan upaya deteksi dini terhadap sel-sel teroris sebelum menjadi sebuah gerakan yang besar dan berbahaya. Salah satunya dengan lebih menggiatkan penangkapan terhadap terduga teroris.
“Meskipun kalau dalam penyidikan mereka tidak terbukti melakukan teror harus dilepas kembali, tapi sudah ditangkap dan terdata,” kata Ridlwan.
Ridlwan juga menyarankan kepada pemerintah meningkatkan kewewangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Menurutnya, sebagai leading sector penanggulangan terorisme, BNPT selama ini belum diberi kewenangan untuk memberi perintah, hubungan dengan lembaga lain sebatas koordinasi.
“Kalau diberi kewenangan itu, dia bisa memberi perintah yang sifatnya mengikat kepada kementerian terkait untuk melakukan pencegahan terorisme,” kata Ridlwan.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih & Maulida Sri Handayani