tirto.id - Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafii menyatakan pasal Guantanamo dalam RUU tersebut tidak dapat dimunculkan kembali lagi, meskipun pemerintah dan kepolisian memintanya.
"Itu kan sudah disepakati secara aklamasi dihapus. Tidak mungkin dihidupkan lagi," kata Syafii kepada Tirto, Rabu (16/5/2018).
Lagi pula, kata Syafii, kalau pasal tersebut harus dihidupkan lagi akan membuat pembahasan RUU Terorisme menjadi molor karena harus merombak pasal-pasal yang lain juga.
"Semua yang sudah disepakati tidak bisa diubah kecuali merombak lainnya. Sekarang tinggal perkara definisi. Kalau tetap mau dihidupkan, mau pembahasan jadi molor dua tahun ke depan?" kata Syafii.
Pernyataan Syafii ini merupakan tanggapan atas keinginan pemerintah dan Polri untuk menghidupkan kembali pasal tersebut. Ini dimaksudkan agar tindak pidana terorisme bisa dilakukan dengan cepat tanpa menunggu alat bukti yang cukup. Sebuah hal, yang menurut Kapolri Tito Karnavian, membuat kinerja kepolisian tidak efektif dan menjadi lambat.
Pasal Guantanamo merupakan julukan untuk Pasal 28 dalam draf RUU Terorisme usulan pemerintah yang berbunyi, "penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindakan terorisme dalam waktu paling lama 30 hari."
Usulan tersebut sempat menjadi kontroversi pada awal pembahasan RUU Terorisme pada 2016 lalu dan menjadi perdebatan pelik di antara fraksi-fraksi DPR dan pemerintah. Karena, pasal tersebut menghapus frasa "berdasar bukti permulaan yang cukup" dalam pasal yang sama di UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Syafii menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mewajibkan terdapat bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penyidikan sebuah perkara. Pasal itu, kata dia, juga rentan menyalahi Hak Asasi Manusia (HAM) karena penyidik akan semena-mena melakukan penangkapan.
Berdasar hal itu, kata Syafii, maka DPR akhirnya bersepakat menolak pasal tersebut secara aklamasi, meskipun sempat mengalami perdebatan yang alot dan lama sampai tiga bulan.
Pasal 28 yang akhirnya disepakati bersama antara DPR dan pemerintah seperti dalam draf RUU Terorisme per 15 Maret 2018 pun tetap memasukkan frasa "berdasar bukti permulaan yang cukup" dan mengurangi masa tahanan dari 30 hari menjadi 14 hari. Bahkan, dalam ayat (3) dikatakan penyidikan harus sesuai dengan prinsip-prinsip HAM yang mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang HAM.
"Inilah saya bilang janganlah pemerintah itu terpengaruh dengan usulan yang salah dari polisi dan malah melanggar KUHAP," kata Syafii.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yuliana Ratnasari