Menuju konten utama

Pemerintah dan DPR Punya Opsi Selesaikan Polemik Definisi Terorisme

Perdebatan antara pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR terjadi karena berbeda pandangan terkait definisi terorisme.

Pemerintah dan DPR Punya Opsi Selesaikan Polemik Definisi Terorisme
Petugas memadamkan api yang membakar sejumlah sepeda sesaat setelah terjadi ledakan di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018). ANTARA FOTO/HO/HUMAS PEMKOT-Andy Pinaria/MA

tirto.id - Anggota Pansus RUU Terorisme, Arsul Sani, menyatakan pemerintah dan DPR telah memiliki opsi alternatif untuk menyelesaikan perbedaan pandangan terkait definisi terorisme dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Terorisme.

"Alternatif yang ada itu tidak dimasukkan ke dalam batang tubuh tapi itu diberi penjelasan dalam uraikan yang jelas soal motif dan ancaman keamanan negara itu di penjelasan umum di UU. Itu menunjukan agar peristiwa teroris itu ya pasti ada persoalan ideologi dan motif politik," kata Arsul di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (15/5/2018).

Opsi ini, kata Arsul, telah disepakati saat pembicaraan antara fraksi partai pemerintah dengan Menkopolhukam, Wiranto, Senin (14/5/2018) dan akan diambil sebagai kesepakatan dalam pembahasan lanjutan di DPR pada masa sidang mendatang.

Arsul menjelaskan, selama ini perdebatan antara pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR terjadi karena keduanya memiliki pandangan berbeda terkait definisi terorisme. DPR berpandangan definisi terorisme harus memasukkan frasa "tujuan politik, motif politik atau ideologi".

Menurut Arsul, DPR menilai frasa tersebut penting guna membedakan antara tindak pidana terorisme yang merupakan kejahatan luar biasa dengan tindak pidana umum.

Sebaliknya, pemerintah berpandangan tambahan tersebut tidak diperlukan dan cukup mengacu kepada poin-poin dalam Pasal 6 dan 7 RUU Terorisme tentang ruang lingkup dan unsur-unsur tindak pidana terorisme. Seperti mengakibatkan kerusakan dan korban yang massif dan menyasar objek vital.

"Padahal kesepakatannya memang persoalan perlunya ada definisi itu dari awal sudah jadi awareness dari pemerintah maupun DPR karena ini aspirasi dari masyarakat, perlu ada definisi dan itu disepakati," kata Arsul.

Dalam perdebatan tersebut, kata Arsul, yang paling ngotot menolak frasa tersebut adalah Polri. Bukan TNI dan pemerintah yang diwakili Kemenkumham. Menurutnya, Polri menilai definisi tersebut tidak perlu karena dalam penyidikan sudah pasti motif tersebut akan didalami.

"Ini kemudian dianggap sebagai titipan untuk membuka ruang yang lebih luas terhadap peran TNI," kata Arsul.

Pembahasan RUU Terorisme saat ini sudah hampir rampung. Dari 112 Daftar Inventarisir Masalah (DIM) yang ada, tinggal menyisakan pembahasan definisi.

Mengenai hal ini, Tim Ahli Pansus RUU Terorisme, Prof. Partogi Poltak Nainggolan menyatakan perkara definisi ini tidak terlalu penting untuk diributkan berlarut-larut dan lebih baik ditinggalkan saja.

"Kalau memang udah jelas itu enggak usah muncul lagi," kata Partogi, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat.

Baca juga artikel terkait REVISI UU TERORISME atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Alexander Haryanto