tirto.id - Komnas HAM mendukung rencana pemerintah untuk merevisi undang-undang pemberantasan terorisme. Namun, Komnas HAM memberi catatan agar revisi Undang-Undang Pemberantasan Terorisme harus melindungi hak asasi manusia kepada para terduga pelaku teror.
"Komnas HAM RI secara prinsip setuju terhadap revisi Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sepanjang dilakukan sesuai prinsip, norma dan instrumen hak asasi manusia," kata Komisioner Komnas HAM Chairul Anam dalam Keterangan tertulis yang diterima Tirto, Senin (14/5/2018).
Komnas HAM mendorong pengaturan dan perlindungan agar diatur dalam RUU Terorisme. Ia menilai, pengaturan berlaku untuk korban terorisme langsung maupun tidak langsung. Kedua, RUU Terorisme harus mengatur bersifat komprehensif mulai dari upaya pencegahan, penindakan, pemulihan hak korban, dan upaya deradikalisasi dalam koordinasi sebuah badan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui BNPT.
Menurut Anam, ada empat poin penting yang perlu direvisi. Pertama, Komnas HAM ingin agar revisi UU Teroris dalam rangka penguatan paradigma criminal justice system atau sistem peradilan pidana (SPP) dalam penanganan tindak pidana terorisme.
Kedua, perlu harmonisasi ketentuan dalam revisi RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan berbagai peraturan perundang-undangan, terutama KUHP dan putusan Mahkamah Konstitusi, terutama menyangkut tindakan perencanaan, percobaan, turut serta, dan penghasutan.
Ketiga, Komnas HAM meminta agar ada pengaturan penyadapan dalam upaya penegakan hukum. Menurut Komnas HAM, wacana jangka waktu 1 (satu) tahun dan diperpanjang 1 (satu) tahun kembali sangat tidak rasional dan bertentangan dengan asas hukum cepat, sederhana dan biaya ringan.
Terakhir adalah proses penangkapan dan penahanan. Aturan penangkapan dan penahanan, yakni penangkapan 14 hari ditambah 7 hari dikhawatirkan rawan pelanggaran ham. Oleh sebab itu, Komnas HAM merekomendasikan waktu penangkapan tetap berjalan 7 hari sesuai UU Nomor 15 Tahun 2003. Selain itu, Komnas HAM meminta agar kepolisian terbuka untuk memberitahukan lokasi penahanan.
"Hal itu untuk menghindari potensi pelanggaran HAM dan memastikan akuntabilitas dan pengawasan serta akses keluarga/kuasa hukumnya," kata Anam.
Meskipun mendukung revisi UU Terorisme, Anam tidak sepakat pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Mereka menilai, UU Terorisme menggunakan paradigma criminal justice system. Pengaturan pun sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang TNI.
"Keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme dilakukan dalam kerangka UU Nomor UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional indonesia yang mengatur operasi militer selain perang, dengan memperhatikan objek vital, skala ancaman, dan waktu," kata Anam.
DPR terus didesak untuk segera menuntaskan revisi UU Pemberantasan Terorisme. Desakan makin menguat, menyusul sejumlah aksi teror dalam sepekan terakhir.
Editor: Andrian Pratama Taher