tirto.id - Presiden Joko Widodo resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 lalu. Penerbitan Perppu Nomor 2/2022 tersebut berpedoman pada peraturan perundangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU7/2009.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, I Gde Pantja Astawa, menilai setidaknya ada tiga hal utama yang memaksa presiden menerbitkan Perppu dalam hal ihwal kegentingan.
Pertama, Presiden saat menerbitkan Perppu tanpa atau tidak melibatkan dan tidak pula memerlukan persetujuan DPR. Alasannya, yaitu agar presiden dalam kegentingan yang memaksa dapat bertindak cepat dan tepat untuk segera memulihkan keadaan mendesak menjadi normal kembali.
"Kedua, Hak Istimewa presiden itu sekaligus menunjukkan kekuasaan presiden yang dijamin oleh UUD 1945," tegas I Gde Pantja Astawa di Jakarta, Rabu (4/1/2023).
Alasan ketiga, lanjut dia, berkenaan dengan pertimbangan, pilihan, dan cara yang digunakan presiden menerbitkan Perppu. Artinya, pertimbangan apa yang akan diberikan, pilihan apa yang akan diambil, dan cara apa yang akan digunakan oleh presiden menerbitkan Perppu untuk menjawab dan mengatasi keadaan mendesak itu, sepenuhnya ada pada presiden, sehingga bersifat subyektif.
"Karena bersifat subyektif, maka kekhawatiran akan adanya potensi yang dapat menyentuh dasar-dasar negara konstitusional dan negara hukum saat presiden menerbitkan Perppu, menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari," imbuhnya.
Dia menegaskan, hak istimewa presiden dalam menerbitkan Perppu ini tidak perlu menimbulkan kekhawatiran berlarut-larut. Pasalnya, tidak akan lepas dari pengawasan DPR.
"Perppu yang diterbitkan presiden segera disampaikan kepada DPR. Bila DPR menyetujuinya, maka Perppu akan menjadi Undang-Undang. Sebaliknya, bila tidak disetujui DPR, Perppu harus dicabut,” ujarnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, sebelumnya mengungkapkan bahwa penerbitan Perppu tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak. Ada sejumlah kondisi dan tantangan yang perlu antisipasi secepatnya.
“Pemerintah perlu mengantisipasi tantangan kondisi global, baik yang terkait dengan ekonomi, dimana kita akan menghadapi situasi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi. Di sisi geopolitik, dunia dihadapkan pada perang Ukraina-Rusia dan konflik lainnya yang juga belum selesai,” ujar Airlangga.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang