Menuju konten utama

Ajinomoto Gelar School Lunch Project untuk Tingkatkan Gizi Anak

Ajinomoto menggelar program School Lunch Project (SLP) dengan melibatkan sebanyak 434 santri, untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktik gizi seimbang serta perilaku hidup bersih dan sehat.

Ajinomoto Gelar School Lunch Project untuk Tingkatkan Gizi Anak
Suasana acara School Lunch Project (SLP) sebuah kegiatan Ajinomoto Shared Value (ASV) yang diselenggarakan oleh PT Ajinomoto Indonesia . FOTO/Rilis Ajinomoto

tirto.id - PT Ajinomoto Indonesia melalui aktivitas Ajinomoto Shared Value (ASV) ingin berkontribusi bagi permasalahan sosial yang ada di Indonesia seperti kasus anemia pada siswa sekolah.

Berkolaborasi dengan tim ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), PT Ajinomoto Indonesia menyelenggarakan School Lunch Project (SLP).

SLP dilaksanakan di Pondok Pesantren Darrussalam yang berada di Desa Padasuka, Kecamatan Ciomas, Kota Bogor. Sebanyak 434 santri mengikuti program ini selama 18 bulan, yang meliputi perancangan, pengambilan data baseline, midline dan endline, pelaksanaan program, dan pelaporan kegiatan.

"Secara umum School Lunch Project (SLP) bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktik gizi seimbang serta perilaku hidup bersih dan sehat, melalui pendidikan gizi dan penyediaan makan siang bagi para santri untuk mendukung mewujudkan anak sekolah yang sehat dan berprestasi," kata Ahli Gizi dari Institut Pertanian Bogor, Dr. Rimbawan, seperti dalam rilis yang diterima Tirto Kamis (1/11/2018).

Rimbawan mengatakan, pelaksanaan pendidikan gizi dan PHBS serta penyediaan makan siang santri dilakukan selama 2 semester (10 bulan efektif hari sekolah) mulai awal bulan Februari sampai akhir bulan Desember 2018.

"Penyediaan makanan akan dilakukan dalam 2 periode yaitu semester ganjil dan genap sebanyak 6 hari makan per minggu, sehingga total hari makan anak akan disesuaikan dengan jadwal akademik sekolah," katanya.

Dari hasil School Lunch Project ini, Rimbawan berharap akan terjadi peningkatan pengetahuan, sikap, dan praktik gizi yang yang terkait gizi dan kesehatan santri, peningkatan berat badan serta perbaikan status gizi dan status anemia santri.

"Kami juga berharap program ini dapat diadopsi di pesantren lain atau di sekolah dengan menerapkan kedua program SLP ataupun pendidikan gizi saja," pungkasnya.

Hasil Riskesdas pada 2005 menunjukan bahwa prevalensi anemia pada kelompok umur 5 sampai 24 tahun masih cukup tinggi yaitu 26,4 persen.

Penderita anemia pada kelompok usia 5 sampai 14 tahun tercatat 18,4 persen. Berdasarkan data tersebut, prevalensi anemia paling besar terjadi pada kelompok remaja putri sebesar 28 persen.

Dr. Rimbawan mengatakan, permasalahan anemia yang diderita oleh para remaja ini disebabkan oleh asupan gizi yang kurang baik. Kebanyakan dari mereka kekurangan zat gizi mikro seperti mineral dan vitamin.

Akibatnya, mereka jadi mudah lelah, menurunkan konsentrasi belajar sehingga prestasi belajar menjadi rendah dan dapat menurunkan produktivitas, selain itu anemia juga dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga lebih mudah terkena infeksi.

"Anemia yang terjadi pada remaja putri juga meningkatkan risiko terjadinya gangguan pada fungsi fisik dan mental, serta dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan pada saat kehamilan," ujarnya.

Selain di rumah, perbaikan gizi anak juga perlu dilakukan di sekolah. Sudah banyak pula program yang dilakukan di sekolah-sekolah negeri maupun swasta untuk memperbaiki gizi para siswanya.

Baca juga artikel terkait PT AJINOMOTO INDONESIA atau tulisan lainnya dari Yandri Daniel Damaledo

tirto.id - Bisnis
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Yandri Daniel Damaledo