tirto.id - Bareskrim Mabes Polri akhirnya menetapkan Gubernur DKI Jakarta non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama (16/11). Kabareskrim Polri Komjen Ari Dono Sukmanto mengatakan ucapan Ahok di Kepulauan Seribu yang mengutip Surat Al Maidah 51 dianggap lebih condong ke arah penistaan agama.
"Kasus ini akan ditingkatkan ke proses penyidikan dan menetapkan Ahok sebagai sebagai tersangka," kata Ari saat konferensi pers di Mabes Polri.
Kendati berstatus tersangka, Ahok tetap bisa maju dalam pertarungan Pilgub DKI 2017 mendatang.
"Yang bersangkutan (Ahok) tidak dinyatakan gugur, tetap saja beliau bisa mengikuti seluruh proses tahapan yang ada. Jadi yang mengubah statusnya kalau sudah jadi terpidana. Kalau statusnya terpidana akan mempengaruhi statusnya berupa pembatalan sebagai calon," kata Sumarno selaku Ketua KPU Jakarta kepada tirto.id, Rabu (16/11).
Bahkan ketika berkas kasus Ahok sudah P21 dalam proses pengadilan sebagai terdakwa pun, yang akan membuat Ahok duduk di meja pesakitan, ia masih berhak menyandang status sebagai calon gubernur. Namun jika status Ahok sudah menjadi terpidana, dan putusan pengadilan sudah bersifat inkracht, maka partai pengusungnya politik harus segera mencari pengganti, demikian Sumarno menjelaskan.
Ahok Bukan Satu-satunya
Ahok bukan satu-satunya calon kepala daerah yang tersandung hukum menjelang Pilkada serentak yang akan digelar pada Februari 2017 mendatang. Setidaknya ada empat calon kepala daerah, baik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, yang terantuk masalah serupa. Mereka di antaranya:
Ahmad Marzuki, petahana calon Bupati Jepara, Jawa Tengah. Marzuki telah ditetapkan sebagai tersangka Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah karena diduga melakukan penyelewengan dana bantuan partai politik Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 2011-2012. Selama periode itu, PPP Jepara disebut menerima bantuan dana Rp149 juta per tahun. Akibat penyelewengan itu, negara diduga dirugikan sebesar Rp79 juta.
Kendati ditetapkan tersangka Marzuki tetap maju dalam Pilkada Jepara. Ia berpasangan dengan Dian Kristiandi, Ketua DPRD Jepara yang juga kader PDI Perjuangan.
Di Buton, Sulawesi Tenggara, Samsu Umar Samiun juga terganjal kasus hukum. Ia diduga melakukan suap dalam kasus sengketa Pilkada Buton 2011 silam.
Dalam kasus itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Samsu sebagai tersangka pemberi suap senilai Rp1 Miliar kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar untuk pengurusan sengketa Pilkada Buton.
Selama kasusnya diproses, Samsu tetap maju dalam Pilkada diusung Partai Amanat Nasional (PAN).
Masih di Sulawesi, Burhanuddin Baharuddin, calon petahana Bupati Takalar, Sulawesi Selatan, juga terjerat kasus korupsi. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan menetapkan Burhanuddin sebagai tersangka dalam kasus dugaan penjualan aset daerah berupa lahan di Desa Laikang. Pada kasus itu Burhanudin disebut telah menyetujui penjualan lahan seluas 150 hektare itu kepada pihak swasta senilai Rp16 miliar pada 2015 silam.
Burhanuddin maju kembali dalam Pilkada Takalar bersama pasangannya, Natsir Ibrahim. Pasangan ini diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Demokrat, Partai Golkar, Hanura, Gerindra, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Bergeser ke Gorontalo, Rusli Habibi, calon petahana Gubernur Gorontalo terganjal kasus kasus pencemaran nama baik Komjen Budi Waseso. Ia tetap mengikuti Pilkada Serentak pada Februari 2017 mendatang dengan menyandang status sebagai terpidana hukuman percobaan.
Bersama calon wakil gubernur petahana Idris Rahim, Rusli maju dalam Pilgub Gorontalo dan mendapat dukungan penuh dari Partai Demokrat.
Kasus Rusli bermula pada 2013 saat dirinya melaporkan kinerja mantan Kapolda Gorontalo, Komjen (pol) Budi Waseso kepada Kapolri. Dalam laporan itu Rusli menyebut Budi Waseso tidak netral dalam pemilihan gubernur dan wali kota di Gorontalo. Selain itu Budi disebut sering “mbolos” dalam rapat Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida).
Sebaliknya Budi menilai laporan Rusli tersebut merupakan bentuk dari upaya menyingkirkan dirinya karena tengah mengusut sejumlah kasus korupsi di Gorontalo. Budi Waseso yang kini menjadi Kepala BNN lantas melaporkan Rusli dengan tudingan pencemaran nama baik ke Polda Gorontalo.
Politik Jakarta
Berbeda dengan kasus-kasus korupsi dan pencemaran nama baik yang mengganjal sejumlah petahana, gaung kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok di Jakarta jauh lebih kencang. Persoalan agama lebih sensitif ketimbang dua kasus tersebut, dengan dibuktikan adanya demonstrasi 4 November lalu yang menuntut proses hukum atas dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama.
Gara-gara kasus tersebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunda kunjunganya ke Australia pada 5-8 November. Presiden menimbang situasi dan kondisi di Tanah Air yang memerlukan keberadaan Presiden.
Sejak Senin pekan lalu Presiden melakukan sejumlah kunjungan berturut-turut ke titik-titik strategis di militer maupun ormas Islam. Di simpul-simpul militer Presiden Jokowi mengunjungi Mabes AD (7/11), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (8/11), Markas Besar Kopassus (10/11), Markas Korps Brimob Depok (11/11), Korps Marinir (11/11), dan terakhir sehari lalu ke Kopaskhas Bandung (15/11).
Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan safari Presiden Joko Widodo ke markas Kopassus, Marinir dan Brimob Polri sebagai panglima tertinggi untuk menginspeksi pasukan bukan sebagai kekhawatiran terhadap kondisi negara.
"Saya kira kekhawatiran tidak ada, beliau panglima tertinggi, itu menginspeksi pasukan, kesiapan pasukan ya tentu bahwa presiden ingin melihat itu," kata Wapres JK seperti diwartakan Antara.
Tapi presiden tidak hanya ke simpul militer Indonesia. Presiden Jokowi juga mengunjungi simpul-simpul penting ormas Islam, seperti menemuai Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (7/11), membahas ruang politik umat Islam bersama Muhammadiyah (8/11), menghadiri musyawarah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (9/11), bertemu dengan sejumlah habib (9/11).
Dengan partai politik bernafas Islam, Presiden mengikuti doa “Doa bersama untuk Keselamatan Bangsa yang disponsori PKB (12/11), menghadiri Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Rapat Pemimpin Nasional Partai Persatuan Pembangunan (13/11).
Pekan lalu menjadi hari-hari yang sibuk bagi presiden untuk memastikan bahwa di tengah situasi politik Jakarta yang sensitive itu, negara dalam keadaan aman.
"Kita ingin mengingatkan bahwa bangsa ini beragam suku, agama, ras, dan bahasa daerah. Kalau tidak kita persatukan mau jadi apa bangsa ini. Dan TNI-Polri menjadi salah satu perekat persatuan dan kesatuan kita," kata Presiden di Kopaskhas sehari lalu (15/11).
Tapi tampaknya “pekerjaan rumah” itu belum selesai.
Penulis: Agung DH
Editor: Zen RS