Menuju konten utama

Ahli Bantah Dalil Serikat Pekerja PLN di Sidang Uji Materi UU BUMN

Guru Besar Fakultas Hukum UGM Nindyo Pramono menilai proses pembentukan Holding BUMN tidak mengarah pada privatisasi.

Ahli Bantah Dalil Serikat Pekerja PLN di Sidang Uji Materi UU BUMN
(Ilustrasi) Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) saat pembacaan putusan perkara uji materi UU UU MD3 di Ruang Sidang Gedung MK, Jakarta, Kamis (14/12/2017). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar.

tirto.id - Guru Besar Fakultas Hukum UGM Nindyo Pramono menilai proses restrukturisasi pada perusahaan milik negara tidak memiliki risiko yang perlu dikhawatirkan. Pakar hukum bisnis tersebut berpendapat restrukturisasi BUMN tidak seharusnya dikaitkan dengan isu privatisasi.

“Yang dilakukan pemerintah saat ini adalah restrukturisasi atau holding-isasi. Itu bukan privatisasi [….] Pemerintah tetap memegang kontrol pengurusan dan pengelolaan saham negara pada BUMN,” ujar Nindyo di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, pada Senin (9/4/2018).

Nindyo menyampaikan pendapat itu saat menjadi ahli dari pihak pemerintah dalam sidang uji materi Pasal 14 ayat 2 dan ayat 3 UU BUMN. Uji Materi itu diajukan oleh lima pemohon yang mewakili Serikat Pekerja PT PLN (Persero).

Pasal 14 ayat (2) itu berbunyi, “Menteri dapat memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS.”

Sedangkan Pasal 14 ayat (3) menyatakan “Pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud ayat (2) wajib mendapatkan persetujuan menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai: perubahan jumlah modal, perubahan anggaran dasar, rencana penggunaan laba, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta pembubaran persero, investasi, dan pembiayaan jangka panjang, kerja sama persero, pembentukan anak perusahaan atau penyertaan, dan pengalihan aktiva.”

Menurut pemohon, pasal itu membuka peluang peralihan BUMN menjadi swasta tanpa pengawasan DPR. Ketentuan itu pada akhirnya bisa berimbas pada pemutusan hubungan kerja terhadap pegawai BUMN ketika ada perubahan kepemilikan perseroan.

Pemohon melihat indikasi itu pada penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016. PP itu selama ini menjadi dasar pemerintah melebur sejumlah BUMN atau pembentukan holding BUMN. Tapi, pemohon menuding PP tersebut menjadi salah satu perangkat untuk mendorong privatisasi BUMN tanpa pengawasan DPR.

Akan tetapi, menurut Nindyo, kontrol DPR masih berjalan melalui mekanisme pengawasan kepada pemerintah selaku pemegang saham pada setiap BUMN dan anak perusahaan hasil pembentukan holding.

“Pemerintah tetap memegang kendali pada perusahaan anak melalui hak-hak istimewa dan saham dwi warna,” kata Nindyo. “Dengan holding-isasi, hanya perubahan tempat saja, enggak ada jual-beli saham di sini.”

Apabila terjadi privatisasi, Nindyo mengatakan pemerintah tetap harus mendapat persetujuan dari DPR seperti diatur UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Dalam privatisasi, Nindyo menilai pemerintah juga tidak bisa semena-mena. Sebab, berdasar UU BUMN, pemerintah wajib melakukan kajian menyeluruh sebelum memutuskan privatisasi. Kajian itu harus memastikan privatisasi membawa nilai tambah bagi negara dan masyarakat.

"Mekanisme yang diatur dalam UU BUMN untuk privatisasi itu tahapannya tidak main-main," ujar dia.

Nindyo juga mengingatkan privatisasi bukan suatu yang selalu buruk. Ia mencatat banyak negara maju dan berkembang melakukan privatisasi sejak 1980-an. Privatisasi, menurut dia, bertujuan mengurangi defisit fiskal dan mendorong kinerja maupun efisiensi ekonomi makro.

Dalam agenda sidang itu, seharusnya ada juga agenda mendengar keterangan dari DPR RI. Akan tetapi, hal itu urung dilakukan karena perwakilan DPR berhalangan hadir.

Baca juga artikel terkait HOLDING BUMN atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Addi M Idhom