tirto.id - Sudarto, aktivis kebebasan beragama dari Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA) Padang, Sumatera Barat, ditangkap oleh pihak Polda Sumatera Barat di kediamannya, pada Selasa (7/1/2020) pukul 13.00 WIB.
Menurut polisi, ia harus diperiksa karena diduga melakukan hasutan kebencian lewat akun Facebooknya. Sudarto diduga melanggar UU ITE tahun 2008.
Redaksi Tirto memperoleh foto surat penangkapan Sudarto nomor SP.Kap/01/I/RES.2.5/2020/Ditreskrimum yang ditandatangani Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumbar, Kombes Juda Nusa Putra per 7 Januari 2020.
Di dalam surat itu, tertuang pasal yang disangkakan ke Sudarto yakni 45 A ayat 2 jo Pasal 28 ayat 2 UU 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 14 ayat 1 dan 2 dan/atau Pasal 15 UU 1/1946 tentang Hukum Pidana. Sedangkan dasar penangkapan yakni adanya laporan polisi nomor LP/77/K/XII/2019/Polsek pada 29 Desember 2019.
Sudarto lewat akun Facebooknya 'Sudarto Toto' dituding menyebarkan kabar bohong dan berisi isu SARA, kebencian, dan diskriminasi kepada orang lain.
Pada Desember 2019, Sudarto memang dikenal telah mengadvokasi umat Kristen dan Katolik di Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, yang dilarang merayakan Natal bersama dan hanya diizinkan merayakan Natal di rumah masing-masing oleh pemerintah setempat dengan dalih “kesepakatan bersama".
Kabid Humas Polda Sumatera Barat Kombes Pol, Stefanus Satake Bayu Setianto mengatakan penangkapan aktivis Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA) Padang, Sudarto mengacu laporan dari masyarakat Dharmasraya. Saksi pelapor atas nama Harry Permana.
Sembilan saksi telah dimintai keterangan terkait kasus ini. Enam saksi lainnya merupakan warga Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.
"Semua sembilan [saksi], salah satu yakni saksi pelapor dan dua saksi ahli bahasa dan ITE," kata Stefanus.
Sejak pemeriksaan dimulai pada Selasa (7/1/2020) siang pukul 13.30 WIB, Sudarto baru menyelesaikan pemeriksaan dan dilepas pada Rabu (8/1/2020) pukul 21.30 WIB. Namun, status masih sebagai tersangka dan proses hukum masih akan terus berjalan.
Pemeriksaan Sudarto Alot
Kuasa hukum Sudarto dari LBH Padang, Wendra Rona Putra, membenarkan bahwa Sudarto telah menyelesaikan pemeriksaan pada Rabu malam.
Salah satu alasan pemeriksaan Sudarto cukup lama, hingga dua hari, adalah karena banyaknya penjelasan argumen yang diutarakan oleh Sudarto saat pihak penyidik meminta klarifikasi.
Kata Wendra, setidaknya ada belasan postingan Sudarto di Facebook yang coba pihak penyidik minta klarifikasi.
"Nah, kenapa proses ini menjadi cukup panjang? Karena memang Pak Darto dalam setiap menjelaskan postingan tersebut memiliki dasar-dasar dan rujukan surat atau dokumen pengaduan yang itu membuat prosesnya lebih panjang. Satu postingan dia menjelaskan cukup panjang," kata Wendra saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis (9/1/2020) pagi.
Sudarto dan Wendra berencana akan mengundang beberapa saksi ahli untuk bisa dihadirkan ke penyidik agar bisa membantu menjelaskan kesalahpahaman masalah postingan-postingan Sudarto di Facebook.
"Kita sekarang sedang menyiapkan juga saksi ahli. Yang mungkin nanti kita hadirkan ke penyidik untuk nanti membantu meng-clear-kan dan men-support penjelasan yang disampaikan oleh Pak Darto," katanya.
Polisi Harus SP3 Kasus Sudarto
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, mengatakan bahwa UU ITE tahun 2008 memang memiliki implikasi yang buruk bagi kehidupan demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
"UU ITE ini melanggar kebebasan berpendapat dan dalam prakteknya ada deviasi lagi dari norma yang sudah buruk sehingga penerapannya lebih buruk lagi," kata Asfin saat dihubungi, Kamis pagi.
Oleh karena itu, ia mendesak agar pihak Polda Sumatera Utara untuk menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) alias menghentikan kasus yang menjerat Sudarto.
"Iya, dihentikan kasusnya. Penyidik harus tidak melanjutkan kasus ini. Penyidik bisa mengundang ahli untuk memperjelas kalau kasus ini bukan pidana," kata Asfin.
"Jalur menuju SP3 itu bisa langsung menerbitkan SP3 atau kalau polisi ragu, ya undang ahli," lanjutnya.
Wendra sendiri selaku kuasa hukum Sudarto menjelaskan hal serupa. Menurutnya, sekelumit kasus yang menimpa Sudarto seharusnya mengedepankan keadilan restoratif, bukan pemidanaan.
"Iya pendekatan menjadi pendekatan restorative justice, bahwa pemidanaan akan tidak menjadi efektif karena itu seolah melupakan akar persoalan yang coba diangkat oleh Pak Darto sendiri. Tapi kalau pendekatan dialogis yang dikedepankan, akar persoalan itu juga akan ikut tersentuh. Mudah-mudahan itu jadi titik awal," kata Wendra.
Utamakan Mediasi dan Dialog
Selain berharap pihak kepolisian akan menghentikan kasus Sudarto, Wendra sendiri mengaku yakin bahwa seharusnya kasus kesalahpahaman mengenai intoleransi yang tersistematisasi seperti ini harus mengedepankan jalur mediasi dan dialog antara pelapor dan terlapor.
"Kita sebenarnya masih meyakini bahwa pendekatan yuridis dan legal-formal dirasa tidak begitu penting untuk kasus ini karena pendekatan pemidanaan justru akan mempertegas bahwa ada yang salah dalam konteks intoleransi yang ada di Sumatera Barat," kata Wendra.
"Bagaimana mungkin orang yang ingin menyampaikan bahwa ada persoalan terkait kelompok agama minoritas yang dihalangi-halangi untuk melaksanakan ibadah Natal, justru menjadi sasaran untuk dikriminalisasi?" lanjutnya.
Apalagi, kata Wendra, Kapolri pernah menerbitkan Surat Edaran Nomor 6 tahun 2015 mengenai penanganan ujaran kebencian (hate speech), yang isinya pihak kepolisian bisa menjembatani mediasi kedua belah pihak.
"Jadi di situ peran Polri sebenarnya lebih kepada menjembatani, mediasi antara pihak pelapor dengan terlapor bahwa sebenarnya Pak Darto tidak ada keinginan untuk menyasar kepada kelompok agama atau etnis tertentu untuk meng-highlight persoalan ini. Yang dia sasar adalah sikap pemerintah daerah yang tidak tegas untuk menyelesaikan persoalan ini," kata Wendra.
Apalagi, kata Wendra, kasus pelarangan ibadah Natal di daerah-daerah di Sumatera Barat memang jarang terekspos media dan disoroti oleh pemerintah.
"Bahwa mereka sulit mendapat hak beribadah. Memang diizinkan beribadah, tapi di rumah masing-masing. Tapi kan tidak semua ibadah di umat Kristiani itu yang bisa dilakukan sendiri-sendiri di rumah. Ada kalanya mereka membutuhkan ibadah yang berjamaah atau bersama-sama," kata Wendra.
"Konteks itu yang disampaikan Pak Darto di postingan-postingannya," tambahnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri