Menuju konten utama

Ada Ternate di Filipina, Dibangun Saat Akan Mengadang Lanun

Orang-orang Ternate yang dibawa Spanyol ke Filipina untuk melawan bajak laut tak kembali ke Maluku. Mereka menetap dan berasimilasi dengan penduduk lokal.

Ada Ternate di Filipina, Dibangun Saat Akan Mengadang Lanun
Header Mozaik Ternate di Filipina. tirto.id/Tino

tirto.id - Octavia Velasco dan Inspektur Polisi Felipe Enero tengah makan siang di sekitar balai kota. Tiba-tiba empat pria bersenjata yang mengendarai mobil memberondong keduanya dengan senjata. Mereka ambruk beserta dua orang pengawal yang tidak siap menyambut serangan.

Peristiwa nahas yang terjadi pada 3 Maret 1992 itu ditengarai dilatari masalah politik.

Seturut laporan surat kabar The Nation edisi 4 Maret 1992, Octavia Velasco merupakan wali kota terpilih kota Ternate yang sempat bersitegang dengan lawan politiknya, Jorge Nunez. Ia mengetahui kecurangan pemilihan umum saat menangkap dua orang pemilih ganda di sebuah tempat pemungutan suara.

Nunez kemudian turut campur, sementara Velasco bersikukuh menahan mereka. Sejak itulah, Velasco mulai menerima ancaman dan teror, termasuk upaya pembunuhan.

Insiden tersebut menjadi catatan buruk dalam sejarah kota Ternate yang sebelumnya dikenal cukup damai selama berabad-abad.

Kota Ternate di Filipina memiliki sejarah panjang yang erat kaitannya dengan Ternate di Maluku Utara. Kota ini didirikan oleh orang-orang Mardica atau Mardika atau Mardiker, sebagian kaum Kristen di Ternate dan Tidore yang dibawa oleh Spanyol.

Kesultanan Ternate di Maluku

Sebagai salah satu dari empat kesultanan yang terkenal di Maluku Utara, Kesultanan Ternate berperan penting dalam sejarah Nusantara.

Kesultanan Ternate berdiri pada abad ke-13 Masehi, di Pulau Ternate yang terletak di sebelah barat Halmahera.

Pada awalnya, Ternate merupakan sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang raja yang disebut Kolano. Namun, pada abad ke-15, Ternate mulai berkembang menjadi sebuah kesultanan yang kuat dan makmur di bawah pimpinan Sultan Zainal Abidin.

Pada masa kejayaannya di abad ke-16 dan ke-17, wilayahnya meliputi sebagian besar Maluku dan Papua. Kesultanan Ternate menjadi pusat perdagangan rempah-rempah yang sangat penting di Nusantara, karena pulau ini memiliki rempah-rempah yang melimpah, terutama cengkih dan pala.

Kesultanan Ternate juga memiliki hubungan perdagangan yang luas dengan wilayah lain di Asia Tenggara dan Asia Timur, termasuk dengan bangsa-bangsa Eropa, seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda.

Para pedagang Eropa berlomba-lomba untuk memperoleh rempah-rempah dari Ternate, sehingga kesultanan ini menjadi salah satu pusat perdagangan rempah-rempah terbesar di dunia.

Pada abad ke-16, Kesultanan Ternate mencapai puncak kejayaannya di bawah pimpinan Sultan Baabullah. Pada tahun 1521, Portugis tiba di Ternate dan menjalin hubungan dengan sultan. Portugis kemudian membangun benteng di pulau tersebut dan mulai melakukan misi Kristen yang akhirnya melahirkan kaum Mardica.

Pada masa ini, Ternate tidak hanya menjadi pusat perdagangan rempah-rempah, tetapi juga pusat penyebaran agama Islam di Nusantara.

Namun, kejayaan Kesultanan Ternate tidak berlangsung selamanya. Pada abad ke-17, Belanda mulai mengambil alih kendali atas perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Mereka menggunakan kekuatan militer untuk menaklukkan kesultanan-kesultanan di Maluku Utara, termasuk Ternate.

Sejak saat itu, Kesultanan Ternate kehilangan kedaulatannya dan hanya menjadi sebuah kerajaan bawahan di bawah pemerintahan Belanda. Meski demikian, kesultanan ini tetap mempertahankan keberadaannya dan terus berperan dalam sejarah Nusantara.

Kedatangan Orang Ternate ke Filipina

Sekitar akhir tahun 1662, Garnisun Spanyol membawa setidaknya 200 orang relawan Mardica dari Pulau Ternate di Maluku. Mereka bakal dilibatkan untuk membantu melawan bajak laut Koxinga dari China di Manila.

Melalui sebuah perjanjian yang dicetus Gubernur Jenderal Spanyol, Manrique de Lara, para Mardica ditempatkan di Barra de Maragondon. Karena serangan Koxinga tidak terjadi, Mardica mendapat amanat untuk menangkis serangan Moro yang kerap menyerang wilayah itu.

Orang-orang Mardica ini tidak kembali ke Maluku. Mereka memilih menetap dan berasimilasi dengan penduduk lokal.

Pada masa itu, Ternate di Maluku mengalami gejolak dan peperangan yang melibatkan Portugis, Spanyol, dan Kesultanan Ternate yang akhirnya memasuki masa kehancuran karena intervensi Belanda pada abad ke-19.

Dalam perkembangannya, para Mardica menamakan Ternate sebagai identitas perkumpulan mereka untuk menghormati tanah kelahiran mereka di Maluku. Dialek keseharian, selain dengan Tagalog, mereka menggunakan varietas bahasa Spanyol yang dikenal dengan Chabacano.

Ternate kiwari merupakan sebuah kotamadya kelas 4 di Provinsi Cavite, Filipina. Kota ini terletak di tepi timur Semenanjung Cavite, menghadap Teluk Manila atau sekitar 19 km dari ibu kota provinsi dan 56 km dari Metro Manila. Kota ini mencakup 4,7 persen atau 5.993 hektare luas daratan provinsi, dengan medan terjal dan sebagian besar tutupan vegetasi berupa hutan.

Wilayah ini sebelumnya dikenal dengan Barra de Maragondon, merujuk pada letaknya di sekitar muara Sungai Maragondon.

Topografi Ternate secara umum berbukit-bukit. Medannya sebagian besar bergunung-gunung dengan 70 persen wilayahnya memiliki kemiringan 18-30 persen. Kemiringan wilayah secara umum berbukit-bukit hingga agak landai, dan pada sebagian wilayah curam hingga umumnya curam. Tutupan vegetasi di kawasan ini sebagian besar berupa hutan.

Seiring waktu, Mardica mampu mengumpulkan dana dan membangun permukiman, gereja, sekolah, dan balai penghakiman pada 1850.

Warsa 1863, Ternate menjadi kotamadya independen dan memisahkan diri dari Maragondon.

Infografik Mozaik Ternate di Filipina

Infografik Mozaik Ternate di Filipina. tirto.id/Tino

Perkembangan Ternate Filipina

Saat ini, Ternate adalah kota yang berkembang pesat dengan ekonomi yang beragam. Pada sensus 2010, Ternate berpenduduk 19.297 jiwa dengan jumlah rumah tangga 4.044 jiwa, jumlah penduduk perkotaan 4.373 jiwa, dan jumlah penduduk perdesaan 14.924 jiwa.

Kotamadya memiliki kepadatan yang rendah, dan pada sensus 2020 jumlah penduduk Ternate sebesar 24.653 jiwa pada tahun 2020.

Setiap wilayah di Ternate dibagi kembali secara politis menjadi 10 Barangay (desa, distrik) dan setiap Barangay terdiri dari terdiri beberapa Purok (zona).

Kota Ternate kini terkenal dengan industri perikanan, pertanian, dan pariwisata. Ternate juga rumah bagi beberapa situs bersejarah seperti Benteng San Agustin dan Gereja Santo Niño.

Ternate juga terkenal dengan sarana dan prasarana pariwisata serta memiliki delapan pantai/resor, termasuk landmark bersejarah, Pulau Batu yang dikenal dengan nama El Fraile atau Benteng Drum.

Pada 28 November 1975, Ternate termasuk dalam deklarasi Zona Wisata Pertama di Filipina sehingga kota ini cukup diandalkan sebagai pemasok devisa negara.

Beberapa lokasi wisata andal termasuk pantai, resor, dan bangunan bersejarah. Kota ini adalah bagian dari kawasan Metro Tagaytay dan dianggap sebagai kawasan wisata unggulan di Cavite, khususnya untuk wisata ekologi.

Selain itu, Ternate memiliki rencana pengembangan pesisir dan lokasi ekowisata. Garis pantainya yang membentang sepanjang 23 juta meter menjadi potensi untuk menyambut liburan musim panas.

Belum lagi luas hutan alaminya yang terkonsentrasi di seluruh barat daya kota seluas 4.000 hektare. Pemerintah melarang kegiatan apapun yang sifatnya komersil di kawasan ini.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi